Hasil riset The Fund for Peace bekerja sama dengan
Majalah Foreign Policy tentang failed state index atau indeks negara gagal
menempatkan Indonesia di posisi ke 63, yakni posisi “dalam peringatan”
(warning). Riset atas 178 negara itu di publikasikan di Washington DC, Amerika
Serikat, pada Senin 18 Juni 2012. (Media Indonesia hal 1). Bila dilihat dari
display map yang terdapat pada website Foreign Policy. Keadaan negara
dikategorikan berdasarkan warnanya, bila merah, berarti kritis, oranye dalam
bahaya, kuning berada diambang batas, hijau muda berarti stabil dan hijau tua
berarti sangat stabil. Warna apa yang diberikan untuk Indonesia dalam peta
dunia tersebut? Ternyata berwarna oranye yang berarti negara dalam keadaan
bahaya.
Apa yang menjadi
indikator penilaian negara gagal? Indikator untuk negara gagal antara lain
negara yang pertumbuhan penduduk dan arus buruh migrannya tinggi, kesejangan
ekonomi semakin melebar, cadangan pangan menipis serta kemiskinan dan
pengangguran yang masih tinggi. Kalau dibandingkan negara tetangga seperti
Timor Leste, Papua Neugini, Filipina, Myamar, Laos dan Kamboja, memang posisi
Indonesia lebih baik peringkatnya. Tapi apalah artinya peringkat lebih baik
itu, kalau ternyata negara tetangga kita lainnya, seperti Malaysia, Brunai
Darussalam dan bahkan Vietnam peringkatnya jauh lebih baik dibandingkan
Indonesia.
Peringkat negara gagal
yang diumumkan beberapa waktu lalu tersebut, merupakan gambaran tampilan
buruknya suatu negara. Ibarat kita bercermin, tentu ada yang tampak dikaca
berpenampilan gagah, cantik, biasa, bahkan ada yang berpenampilan buruk. Bila
ada pepatah, “buruk rupa cermin dibelah”. Apakah kita lantas harus menyalahkan
cerminnya karena penampilan buruknya wajah negara kita? Apakah kita harus
menyalahkan hasil surveynya? Apakah salah negara lain yang menilai? Jadi, salah
siapa? Tentu diri kita yang bisa menjawab, bagaimana mungkin negara yang kaya
akan sumber daya alamnya tetapi rakyatnya miskin? Kemana larinya kekayaan kita?
Tanah, air dan semua yang terkandung didalamnya seharusnya digunakan untuk
kesejahteraan rakyat. Tapi apakah rakyat Indonesia sejahtera? Ternyata jurang
yang kaya dan yang miskin semakin melebar. Bila ada pengacara terkenal yang
membelikan mobil seharga miliaran rupiah sebagai hadiah ulang tahun anaknya
(lalu di ekspos di televisi), lalu ternyata dilain pihak ada anak yang harus
mengais rejeki di jalanan untuk membantu orangtuanya bahkan untuk menghidupi
dirinya sendirinya. Ini yang dimaksud cermin kegagalan suatu negara. Terdapat jurang
yang lebar antara si kaya dan si miskin.
“The Looking-glass Self”
karya Charles H Cooley (1922), mengembangkan konsep diri seorang individu
berdasarkan bagaimana dia membayangkan mengenai citra diri yang diperoleh dari
orang lain, terutama significant others. Bila diri dianalaogikan
sebagai negara, maka rakyat melihat negaranya
sebagaimana orang lain melihat negara kita. Maka kita dianggap
sebagai negara gagal, maka memang seperti itulah keadaan diri (negara) kita.
Cooley's
term "looking glass self" means that people see themselves as others
see them, as if reflected in a mirror. According to this concept, in order to
develop and shape behavior, interactions with others must exist. People gain
their identity and form their habits by looking at themselves through the
perception of society and other people they interact with. This concept of
self, created by others, is unique to human beings. It begins at an early age and continues throughout
the entirety of a person's lifespan. A person will never stop modifying their
"self" unless they become removed from society and cease social
interactions
Bagaimana negara meraih identitas
dirinya dapat dilihat berdasarkan perilaku, kebiasaan, interaksi yang membentuk
citra dirinya. Tentu dalam scope negara para pelaku dan
penyelenggara negara mempunyai peranan penting dalam membentuk citra negara.
Rakyat sebagai bagian dari komponen negara “hanya” mengikuti aturan dan
kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara. Tentunya rakyat juga harus
membantu membentuk citra dirinya sebagai rakyat yang baik dan bertanggungjawab
dalam membangun harkat diri sebagai bangsa (tidak tawuran, pertikaian, amuk masa atau konflik lainnya). Namun hal ini sulit terwujud jika
ketimpangan semakin menjadi. Karena yang mempunyai kuasa adalah pemegang
kekuasaan, maka rakyat disini hanya bisa nrimo.
Pengelola negara yang mengatur dan mengendalikan negara yang bisa berbuat
banyak. Jadi, bila negara kita dibilang gagal, mungkin dapat diambil sebagai
masukan hasil dari feedback orang
lain (hasil survey). Bila ingin maju dan menghilangkan citra tersebut, tentunya
kita harus menerima umpan balik tersebut dan membuat perbaikan. Negara harus dikelola lebih baik. Seperti kata
Cooley, “seseorang tidak akan pernah berhenti memperbaiki dirinya sendiri kecuali mereka dipindahkan dari masyarakatnya dan berhenti berinteraksi sosial..” Berarti
perbaikan agar menjadi negara yang berhasil memang harus dan perlu, kecuali
harus pindah ke planet yang lain..
Jakarta, 21 Juni 2012
Meita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar