Kamis, 21 Juni 2012

Melihat Negara Gagal dari "the Looking-glass Self".


 

Hasil riset  The Fund for Peace bekerja sama dengan Majalah Foreign Policy tentang failed state index atau indeks negara gagal menempatkan Indonesia di posisi ke 63, yakni posisi “dalam peringatan” (warning). Riset atas 178 negara itu di publikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, pada Senin 18 Juni 2012. (Media Indonesia hal 1). Bila dilihat dari display map yang terdapat pada website Foreign Policy. Keadaan negara dikategorikan berdasarkan warnanya, bila merah, berarti kritis, oranye dalam bahaya, kuning berada diambang batas, hijau muda berarti stabil dan hijau tua berarti sangat stabil. Warna apa yang diberikan untuk Indonesia dalam peta dunia tersebut? Ternyata berwarna oranye yang berarti negara dalam keadaan bahaya.

Apa yang menjadi indikator penilaian negara gagal? Indikator untuk negara gagal antara lain negara yang pertumbuhan penduduk dan arus buruh migrannya tinggi, kesejangan ekonomi semakin melebar, cadangan pangan menipis serta kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi. Kalau dibandingkan negara tetangga seperti Timor Leste, Papua Neugini, Filipina, Myamar, Laos dan Kamboja, memang posisi Indonesia lebih baik peringkatnya. Tapi apalah artinya peringkat lebih baik itu, kalau ternyata negara tetangga kita lainnya, seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan bahkan Vietnam peringkatnya jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.

Peringkat negara gagal yang diumumkan beberapa waktu lalu tersebut, merupakan gambaran tampilan buruknya suatu negara. Ibarat kita bercermin, tentu ada yang tampak dikaca berpenampilan gagah, cantik, biasa, bahkan ada yang berpenampilan buruk. Bila ada pepatah, “buruk rupa cermin dibelah”. Apakah kita lantas harus menyalahkan cerminnya karena penampilan buruknya wajah negara kita? Apakah kita harus menyalahkan hasil surveynya? Apakah salah negara lain yang menilai? Jadi, salah siapa? Tentu diri kita yang bisa menjawab, bagaimana mungkin negara yang kaya akan sumber daya alamnya tetapi rakyatnya miskin? Kemana larinya kekayaan kita? Tanah, air dan semua yang terkandung didalamnya seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi apakah rakyat Indonesia sejahtera? Ternyata jurang yang kaya dan yang miskin semakin melebar. Bila ada pengacara terkenal yang membelikan mobil seharga miliaran rupiah sebagai hadiah ulang tahun anaknya (lalu di ekspos di televisi), lalu ternyata dilain pihak ada anak yang harus mengais rejeki di jalanan untuk membantu orangtuanya bahkan untuk menghidupi dirinya sendirinya. Ini yang dimaksud cermin kegagalan suatu negara. Terdapat jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin.

“The Looking-glass Self” karya Charles H Cooley (1922), mengembangkan konsep diri seorang individu berdasarkan bagaimana dia membayangkan mengenai citra diri yang diperoleh dari orang lain, terutama significant others. Bila diri dianalaogikan sebagai negara, maka rakyat melihat negaranya  sebagaimana orang lain melihat  negara kita.  Maka kita dianggap sebagai negara gagal, maka memang seperti itulah keadaan diri (negara) kita.
       Cooley's term "looking glass self" means that people see themselves as others see  them, as if reflected in a mirror. According to this concept, in order to develop and shape behavior, interactions with others must exist. People gain their identity and form their habits by looking at themselves through the perception of society and other people they interact with. This concept of self, created by others, is unique to human beings. It begins at an early age and continues throughout the entirety of a person's lifespan. A person will never stop modifying their "self" unless they become removed from society and cease social interactions
       Bagaimana negara meraih identitas dirinya dapat dilihat berdasarkan perilaku, kebiasaan, interaksi yang membentuk citra dirinya.  Tentu dalam scope negara para pelaku dan penyelenggara negara mempunyai peranan penting dalam membentuk citra negara. Rakyat sebagai bagian dari komponen negara “hanya” mengikuti aturan dan kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara. Tentunya rakyat juga harus membantu membentuk citra dirinya sebagai rakyat yang baik dan bertanggungjawab dalam membangun harkat diri sebagai bangsa (tidak tawuran, pertikaian, amuk masa atau konflik lainnya). Namun hal ini sulit terwujud jika ketimpangan semakin menjadi. Karena yang mempunyai kuasa adalah pemegang kekuasaan, maka rakyat disini hanya bisa nrimo. Pengelola negara yang mengatur dan mengendalikan negara yang bisa berbuat banyak. Jadi, bila negara kita dibilang gagal, mungkin dapat diambil sebagai masukan hasil dari feedback orang lain (hasil survey). Bila ingin maju dan menghilangkan citra tersebut, tentunya kita harus menerima umpan balik tersebut dan membuat perbaikan. Negara harus dikelola lebih baik.  Seperti kata Cooley, “seseorang tidak akan pernah berhenti memperbaiki dirinya sendiri  kecuali mereka dipindahkan dari masyarakatnya dan berhenti berinteraksi sosial..” Berarti perbaikan agar menjadi negara yang  berhasil memang harus dan perlu, kecuali harus pindah ke planet yang lain..


Jakarta, 21 Juni 2012
Meita 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar