Paper UAS Eksklusi Sosial
1. Jakarta, Mega City:[1]
Jakarta dihuni lebih dari 24 juta orang, menghadapi banjir, kemacetan
dan lautan manusia. Setiap dekade jutaan orang pindah ke Jakarta. Dengan jumlah
penduduk yang besar, Jakarta menghadapi 3 tantangan besar : kemacetan, banjir
dan sampah. Jakarta adalah korban dari kesukesannya sendiri. Bangunan pencakar
langit, pusat perbelanjaan mewah, dan kemegahan lainnya yang menarik orang
berduyun-duyun dari desa pindah ke Jakarta.
Jakarta banyak menjanjikan harapan. Sehingga kota ini seperti menanggung beban
besar.
Tahun 2007, terjadi banjir besar melanda Jakarta, 60% kota tenggelam, 57
orang meninggal, dan 420.000 orang meninggalkan rumah mereka. Kuncinya adalah manajemen air agar dapat
mengendalikan limpahan air ke Jakarta. Jakarta memiliki 13 sungai berliku-liku,
18 kanal utama dan 500 kanal yang lebih kecil. Semuanya bersilangan di kota.
Untuk mengatasi banjir, harus dibangun infrastruktur disekeliling Jakarta. Yang
baru selesai dikerjakan Kanal Banjir Timur, yang memotong 5 sungai, kanal timur
menyediakan saluran menuju laut. Di ujung kota juga terdapat stasiun pompa, bendungan
dan waduk baru. Semua jaringan besar ini didisain untuk menyelamatkan Jakarta
dari banjir.
Banjir Kanal Timur yang selesai tahun 2010 mengalihkan air dari 5 sungai
besar dan mampu menampung 390 meter kubik air per detik dengan panjang 23 km
dan lebar 200meter yang didisain untuk menangani banjir 100 tahun. Dengan Kanal
Banjir Timur ini, 30% banjir di kota telah dihilangkan, 2017 km persegi Jakarta
Utara dan Jakarta Timur bebas banjir.
Dalam 4 dekade terakhir, populasi meningkat 4 kali lipat yang mnyebabkan
kemcetan. Jalanan Jakarta memiliki kapasitas 1 juta kendaraan, tetapi diisi
setiap harinya dengan 1,5 juta kendaraan. Setiap 24 jam, lebih dari 280 mobil
dan hampir 2000 sepeda motor terdaftar di Jakarta. Tapi ada satu jalur di
Jakarta yang melaju dengan cepat, yakni Jakarta Trans Jakarta Busway. Bus Trans
Jakarta memiliku 281 bus, 120 halte dan 97 km jalur khusus. Trans Jakarta telah
berhasil sejak 2004 mengangkut 40.000 sampai lebih dari 200.000 penumpang.
Jakarta sebagai 10 kota terpadat di dunia dengan 13.000 orang per kilometer
persegi. Jumlah jalan bertambah 0% sedangkan jumlah mobil bertambah hampir 10%.
Dengan kondisi ini, Jakarta akan macet total tahun 2014.
Solusinya adalah membangun jalan layang dari atas. Dan pada tahun 2011
fase pertama MRT akan dimulai. Dirancang berdasarkan sistem yang sudah ada di
Asia. MRT akan memilih satu jalur, memanjang dari utara ke selatan. Terpasang
jalur sepanjang 22km dengan 21 stasiun. Jalur Layang terdiri dari 7 jalur dan
14 dibawah tanah.
Masalah lainnya adalah sampah. Sebanyak 91 juta meter kubik sedimen
sampah membuat kanal dan sungai tersumbah. Sampah-sampah tersebut dibuang di
Bantar Gebangdan akan dijadikan kompos. Dari sampah yang membusuk akan
menghasilkan gas metana yang dijadikan daya untuk listrik.
2. Banjir di
Jakarta:
Pemerintah DKI Jakarta memberikan solusi untuk mengatasi banjir, salah satunya
adalah dengan pembangunan Banjir Kanal Timur yang sejak tahun 2011 sudah tembus
ke laut.
Berdasarkan Perda Provinsi DKI
Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta, pasal 21 tentang pengendalian banjir. Merupakan
bagian dari upaya Pengendalian Banjir Wilayah Timur Jakarta. Direncanakan untuk
menampung aliran dari hulu terdiri dari Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali
Buaran, Kali Jati, Kramat dan Kali Cakung.
Tujuan Pembangunan Kanal Banjir Timur:
(1). Menunjang penanganan pengendalian banjir dengan mengendalikan 5 aliran kali dari 13
(1). Menunjang penanganan pengendalian banjir dengan mengendalikan 5 aliran kali dari 13
aliran kali yang melewati wilayah DKI
Jakarta.
(2). Mengurangi 13 Kawasan Genangan Banjir yaitu AMI ASMI Perintis, Kebon Nanas,
(2). Mengurangi 13 Kawasan Genangan Banjir yaitu AMI ASMI Perintis, Kebon Nanas,
Rawa Bunga, Cipinang Jaya, Cipinang Indah,
Cipinang Muara, Pulo Mas, Bulu Perindu,
Malaka
Selatan/ PondokKelapa Ujung Menteng, Kelapa Gading, Komplek Walikota
Jakarta
Utara, Babek TNI Rorotan.
(3). Melindungi Kawasan Industri, pergudangan dan pemukiman yang terletak di Provinsi
(3). Melindungi Kawasan Industri, pergudangan dan pemukiman yang terletak di Provinsi
DKI Jakarta
bagian Timur dan Utara seluas ± 15.401 ha
(4). Prasarana Konservasi Air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku
(4). Prasarana Konservasi Air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku
Prasarana
Tranportasi Air dan Rekreasi
(5). Sebagai Motor Pertumbuhan wilayah Timur dan Utara dengan Konsep Water Front City
(5). Sebagai Motor Pertumbuhan wilayah Timur dan Utara dengan Konsep Water Front City
b. Realisasi Banjir Kanal
Timur : Pembebasan Lahan.
Untuk
merealisasikan proyek Banjir Kanal Timur (BKT), melalui Pemerintah Kota
Administrasi Jakarta Timur diadakan pembebasan lahan BKT, sebanyak 182 bidang tanah. Melalui Panitia
Pengadaan Tanah (P2T) Jaktim, anggaran yang disediakan sebesar Rp67 miliar. Dari 182 bidang lahan yang belum dibebaskan mencapai 36 ribu
meter persegi. Semua lahan itu tersebar mulai dari wilayah Kecamatan Jatinegara
sampai Cakung. Anggaran tersebut bukanlah hanya diperuntukkan mengganti
bangunan yang ada, melainkan pepohonan yang tumbuh di sekitar trase kering BKT.
Hingga kini lahan trase kering BKT yang dibebaskan baru 26 bidang atau seluas
5.247 meter persegi. [3]
Berdasarkan
catatan Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI, pada tahun 2011 telah dilaksanakan
pembebasan lahan untuk pembangunan KBT seluas 44,64 ribu meter persegi (m2). Dengan demikian, total tanah yang telah dibebaskan
sampai akhir tahun 2011 mencapai 2,79 juta m2, yang terdiri dari profil basah
seluas 2,14 juta m2 dan koridor kering 652,89 ribu. Berdasarkan data tersebut, dari 123 kawasan langganan banjir sejak
puluhan tahun lalu, sudah berkurang menjadi 62 kawasan. Dari 62 kawasan
itu, potensinya juga sudah sangat jauh berkurang karena 21 kawasan diantaranya
baru berpotensi mengalami banjir jika sungai-sungai yang mengalir di kawasan tersebut
sudah sampai siaga II.
Untuk jangka pendek ke-62 titik rawan banjir menjadi fokus utama penanganan.[4]
Untuk jangka pendek ke-62 titik rawan banjir menjadi fokus utama penanganan.[4]
c. Hasil Pembangunan Banjir Kanal Timur :
Sejak
beroperasinya Kanal Banjir Timur (KBT) tembus ke laut pada akhir 2009, Pemprov
DKI mempercepat pembebasan lahan trase basah sehingga bisa dituntaskan tahun
ini. Jika pembebasan tanah KBT tuntas akhir 2012, maka seluruh warga Jakarta
Timur terbebas dari banjir.[5]
Banjir yang biasa melanda penduduk
di wilyah Kelapa Gading, Pulo Mas, Cipinang dan Duren Sawit kini sudah tidak
dialami lagi. Hantu banjir yang selama ini ditakuti warga Jakarta sudah mulai
dilupakan. Seorang warga yang sudah tinggal 20 tahun di wilayah Kelapa Gading
mengatakan bahwa banjir terakhir kali tahun 2009, namun tidak sehebat tahun
2007, kini tidak lagi khawatir dengan isu banjir 5 tahunan yang akan jatuh
tahun 2012 ini. Karena Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) sudah selesai dengan
terhubungnya BKT dengan muara laut di Marunda. Hal yang sama diungkapkan beberapa warga di daerah
Pulo Mas yang daerahnya sering menjadi langganan banjir setiap tahunnya. Dan
sejak BKT selesai dibangun, daerah Pulo Mas sudah tidak pernah banjir lagi.[6]
d. Wilayah
lain di DKI yang masih rawan banjir :
Titik
rawan banjir yang masih ada di antaranya yakni di Jakarta Pusat seperti di
Karet Tengsin, Petamburan, dan sekitar Kwitang. Di Jakarta Utara di antaranya
yakni di Sinar Budi, Pademangan Barat, Pademangan Utara, dan Sunter Jaya. Di
Jakarta Barat di antaranya di Kembangan Utara, Cengkareng Elok, dan sekitar
Kelurahan Duri Kosambi.
Kemudian di Jakarta Selatan di antaranya di sepanjang sisi Kali Mampang, sepanjang sisi Kali Pesanggrahan, dan sekitar Kelurahan Pasarminggu. Serta di Jakarta Timur di antaranya di Pasar Rebo, Kampung Rambutan, dan Cawang.[7]
Kemudian di Jakarta Selatan di antaranya di sepanjang sisi Kali Mampang, sepanjang sisi Kali Pesanggrahan, dan sekitar Kelurahan Pasarminggu. Serta di Jakarta Timur di antaranya di Pasar Rebo, Kampung Rambutan, dan Cawang.[7]
3. Masalah Banjir
dan Ekslusi Sosial.
Pemerintah
telah berupaya untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta, antara lain melalui
Pembangunan Banjir Kanal Timur yang direncanakan mengurangi titik banjir dari 123 titik menjadi 62 titik. Titik wilayah
banjir akan berkurang sekitar 30%. Namun pada Hari Sabtu, 22 Desember Jakarta
mengalami banjir, bahkan kawasan Sudirman-Thamrin yang tidak termasuk dalam
titik wilayah banjir terkena banjir hingga kendaraan tidak bisa berjalan yang
mengakibatkan macet teramat parah. Dan “puncaknya’ adalah tanggal 24 Desember
2012, banjir menggenai beberapa wilayah di Jakarta, ketika diumumkan melalui
beberapa media televisi bahwa Bendungan Katulampa Bogor, ketinggian Sungai
Ciliwung sudah mencapai 180 sentimeter, itu artinya Siaga II, dan tentunya air
dari Ciliwung itu akan sampai di Jakarta
pagi hari 24 Desember 2012. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terkena banjir,
antara lain wilayah Pekayon Jakata Timur, Kampung Pulo Jakarta Timur, Kampung
Melayu Jakarta Timur, Kebon baru Tebet Jakarta Selatan.
Banjir
Kanal Timur belum dapat menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Bila “hanya”
berhasil mengatasi 15 titik lokasi rawan banjir antara lain wilayah elit Kelapa
Gading dan Puo Mas serta beberapa lokasi di Jakarta Timur. Pembangunannya pun
sangat lambat, dibangun tahun 2003
terkendala dengan pembebasan lahan. Di wilayah Ujung Menteng, Jakarta Timur ada
120 pemilik lahan yang bertahan tak mau melepas tanahnya. Mereka menuntut uang
ganti Rp 2juta per meter persegi. Berdasarkan kesepakatan warga, uang ganti yan ditetapkan pemerintah berdasarkan
nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp 500.000 per meter persegi, tidaklah
cukup. [8]
Penduduk yang tidak berhasil mendapatkan tuntutannya mengalami eksklusi sosial terkena
proyek pembangunan Banjir Kanal Timur. Setelah jadi, beberapa titik rawan banjir
dapat teratasi. Lalu bagaimana dengan
daerah rawan banjir lainnya?
Berdasarkan
Informasi yang dihimpun dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI
Jakarta, bahwa banjir hari ini akan meredam kawasan bantaran Kali Ciliwung
hingga Kanal Banjir Barat, meliputi Kampung Melayu, Bidaracina, Bukitduri,
Cawang, Pengadegan, Kebon Baru, Jti Pulo, Petamburan, Cikini dan Rawa Depok.[9]
Banjir terjadi karena luapan air yang tercurah melalaui hujan. Derasnya hujan
tidak mampu ditampung oleh sungai yang hampir disepangjang alirannya berdiri
rumah-rumah penduduk. Diperparah lagi dengan tumpukan sampah yang “menggunung”.
Di pintu air Manggarai aneka sampah diangkat sebanyak 20 truk. Sampah berasal
dari kawasan hulu, Puncak Bogor, hingga ke Depok dan di Jakarta Gundukan sampah
beraneka ragam, mulai dari kayu gelondongan dari kawasan Puncak hingga sampah
rumah tangga. Bahkan ternyata ada beberapa lokasi pembuangan sampah liar di DAS
Ciliwung. “Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo memerintahkan jajarannya di Dinas
Kesehatan, agar memetakan 63 lokasi pembuangan sampah liar. Jokowi pun
berinsiatif menata bantaran kali dengan program relokasi yang dinamainya
Kampung Deret”.[10]
Jadi,
Ciliwung kotor bukan karena orang Jakarta saja yang membuang sampah kesana,
tetapi sejak di Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok sudah banyak warga
yang membuang sampah ke sungai. Sampah dan
Penduduk yang tinggal di bantaran aliran sungai, hanya satu rangkaian masalah dari berbagai
masalah lainnya yang menyangkut meluapnya aliran Sungai Ciliwung. Satu hal lagi
adalah bahwa Ciliwung juga rusak karena ruang terbuka hijau di Puncak, Bogor
tidak terkelola. Ratusan villa besar dan kecil dibangun dikawasan puncak yang
menutup resapan tanah, sehingga aliran hujan langsung mengalir ke selokan dan
ke Sungai Ciliwung. Sebagian besar villa-vila itu adalah milik orang-orang kaya
di Jakarta, bahkan pejabat pemerintah juga banyak yang memiliki villa di
kawasan Puncak. Sehingga dapat dikatakan masalah banjir, mulai dari hulu hingga
hilir.
Berangkat dari permasalahan tersebut, yakni
sampah dan tata kelola ruang hijau di Puncak, ditambah dengan rumah-rumah
penduduk yang berdiri di bantaran sungai sehingga mempersempit dan mencemari
sungai dengan sampah limbah rumah tangga dan ratusan villa milik orang kaya Jakarta
yang menutupi lahan hijau kawasan Puncak menimpa berdampak pada kehidupan orang (miskin) di
Jakarta terutama yang tinggal di daerah aliran sungai. Maka persoalannya bukan
hanya di DKI Jakarta
Penduduk
yang tinggal di DAS Sungai Ciliwung, tentunya bukan orang-orang kaya. Mereka
terpaksa tinggal dibantaran sungai karena ketidakmampuannya membangun rumah
yang layak. Seharusnya bantaran kali tidak boleh ada bangunan. Tanah sempadan
sungai adalah milik negara, diatur oleh menteri. Ada peraturan pemerintah yang
mengatur tentang hal ini. Presiden Republik Indonesia Nomor: 35 tahun 1991
(35/1991) Tentang: Sungai. Penduduk yang tinggal di lahan pinggir kali adalah
penduduk ilegal. Namun mereka tetap
bertahan tinggal disana, meski tiap tahun harus menanggung resiko banjir.
Karena Jakarta memberikan lahan penghidupan untuk mereka. Para penduduk yang
tinggal dipinggir kali atau sungai, sebagian besar adalah orang-orang yang
berasal dari daerah. Jakarta seperti magnet, sehingga mereka yang tinggal di
desa mengadu nasib di kota untuk mendapatkan hidup yang layak.
Urbanisasi
berdampak pada kepadatan penduduk. Dan yang kalah bersaing atau tercampakkan
akhirnya menempati ruang-ruang lahan dipinggir kali. Sebagian besar mereka
bekerja sebagai pedagang kaki lima, pengamen atau buruh kasar. Mereka
sebenarnya harus direlokasi. Namun hal ini menambah persoalan yang menjadi PR
besar bagi Gubernur DKI Joko Widodo. Meski diawal terpilihnya langsung menuju ke
lokasi DAS Ciliwung dan diskusi dengan penduduk yang tinggal di bantaran
sungai.
Eksklusi
penduduk bantaran kali, dimulai dari desa mereka yang pembangunannya mengalami
ketimpangan. Sarana dan fasilitas di desa yang kurang ditambah dengan taraf
hidup yang sulit menyebabkan penduduk desa pindah ke kota. Sementara itu kota
besar seperti Jakarta dengan pusat bisnisnya membuat daya tarik penduduk desa
untuk memperbaiki taraf kehidupannya. Mereka membuat padat Jakarta dengan
tinggal didaerah-daerah kumuh, termasuk di bantaran kali. Dengan datangnya
banjir, bagi mereka bukan suatu persoalan besar, asalkan tidak di relokasi.
Karena kehidupannya kini lebih baik dibandingkan saat tinggal di desa. Mereka
tetap bertahan, dan banjir tahunan tampaknya sudah biasa bagi mereka. Dengan
banjir setiap tahun dan apalagi bila pemerintah harus merelokasi, maka mereka
termasuk kelompok yang terekslusi. Eksklusi karena kesenjangan ekonomi,
kesenjangan pembangunan desa dan kota dan eksklusi karena orang-orang kaya yang
membangun villa-villa di Puncak. Lahan terbuka di Jakarta banyak dibangun untuk
mall dan jalan tol yang merupakan kebutuhan orang-orang kaya.
Eksklusi
Sosial menurut Byrne adalah “a
multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined;
participation in decision making and political process, access to employment
and material resources, and material resources, and integration into common
cultural process”.[11]
Yakni suatu proses multidimensi dari
berbagai bentuk eksklusi yang dipadukan: proses partisipasi dalam pengambilan keputusan
dan berpolitik, akses bagi pekerja dan sumber daya material, serta integrasi
kedalam proses kultur yang ada.
Eksklusi
sosial dalam permasalahan banjir di Jakarta merupakan suatu proses multi
dimensi, dimana berbagai bentuk eksklusi dipadukan, mulai dari migrasi penduduk
dari desa ke kota, tinggal di bantaran kali yang acap kali banjir, pembebasan lahan untuk pembuatan Banjir Kanal
Timur, dan status ilegal tempat tinggal yang sewaktu-waktu direlokasi. Mereka
tidak ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan atau terlibat dalam
proses politik. Pekerjaan dan sumber daya yang minim serta sulit menyatu dengan
budaya kehidupan orang-orang Jakarta. Mereka terpinggirkan, termarjinalisasi
karena kondisi ekonomi dan ketimpangan pembangunan.
Kebijakan
pembangunan seharusnya bersifat inklusif dengan tujuan untuk kesejahteraan yang
adil dan merata. Perlu adanya pendistribusian ulang sumber daya. Masalah lahan
bagi penduduk merupakan hal yang sangat penting. Proses negosiasi harga penggusuran lahan diberikan dengan mengubahnya dari ganti-rugi
menjadi ganti-untung. Hal ini yang membut proyek banjir kanal timur tersendat
pembangunannya, sejak tahun 2003 baru mendekati selesai tahun 2012. Namun
itupun belum menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Lahan di Jakarta.
Berkenaan
dengan lahan, perlu adanya kebijakan Land-Reform untuk wilayah pedesaan
terutama di Pulau Jawa, agar kepemilikan lahan tidak hanya dimiliki oleh sekelompok
pemilik tanah (baik pemerintah maupun swasta). Sehingga petani penggarap dapat
menggarap lahan miliknya sendiri. Undang-undang Agraria tahun 1966 harus
diperbaharui dengan aturan yang memberi keberpihakan kepada rakyat, karena hal
ini secara tidak langsung berkaitan
dengan arus urbanisasi yang membuat kepadatan kota Jakarta kian tahun semakin
bertambah.
http://www.beritasatu.com/megapolitan/47588-akhir-2012-warga-jakarta-timur-bebas-banjir.html
[5] Ibid.
[9] Kompas, 24 Desember 2012 hal 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar