Orientalisme, dikemukakan oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalism: Western Conception of The
Orient yang berupaya menggugat hegemoni barat dan mendudukkan timur sebagai
subjek. Said Lahir di Yerussalem, Palestina tahun 1935 dan besar di Mesir dan
Amerika. Hidup di lingkungan Palestina yang nyaris berpenduduk muslim, dengan
nama depan (Edward) berasal dari Inggris dan nama belakang (Said) dari Arab,
serta nama tengah (Wadie) dari nama sang ayah yang berbisnis di Kairo.
Sebagai seorang Palestina, ia merasa kalah dan terusir dari negerinya,
lalu lari ke Kairo. Dia tidak menganggap dirinya sebagai “ahli” poskolonial
meski banyak mengungkapkan ide mengenai poskolonial. Sebutan tersebut diberikan
oleh para poskolonialis yang melihat
bahwa bukunya merupakan karya pemikiran tentang poskolonialisme. Sebagai orang
yang pernah dijajah, masa lalunya bersifat traumatik, diaspora. Said mengatakan
bahwa kehidupannya tidak lepas dari
sejarah masa lalunya. Ada masalah yang menyangkut ingatan kolektif dimasa lalu,
dia juga merasa terasing ditanah airnya sendiri
Berkenaan dengan kehidupannya di Kairo Mesir, Said mengungkapkan bahwa
ada masalah besar di barat, terutama tentang timur, bahwa penggambaran mengenai
Arab dan Islam begitu rendahnya. Didalam bukunya, digambarkan suatu bidang
kajian ketimuran atau orientalisme, yang bersumber dari Inggris dan Prancis.
Sejak awal abad XIX hingga akhir Perang Dunia II, Prancis dan Inggris
mendominasi dunia timur dan orientalisme, sedangkan sesudah Perang Dunia II
dominasi tersebut diambil alih Amerika yang melakukan pendekatan pada dunia
timur seperti yang ditempuh Inggris dan Prancis sebelumnya. Dari kedekatan ini,
muncul berbagai teks yang disebut sebagai ‘teks-teks orientalis’.
Dengan demikian, orentalisme bukan semata-mata pokok bahasan atau bidang
kajian politis yang dicerminkan secara pasif oleh kebudayaan, kesarjanaan atau
intuisi. Bukan pula merepresentasikan dan mengungkapkan rencana keji
imperialisme barat untuk menjatuhkan dunia timur. Lebih jauh, orientalisme merupakan kajian yang berusaha
menyebarkan kesadaran-kesadaran geopolotis kedalam teks-teks estetika,
keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi.[1] Studi
tentang orientalisme bukan saja berupa buku-buku akademik, tetapi juga laporan,
novel, film teks drama dll.
Timur dan Barat merupakan dua kata biner yang dikaji oleh Edward Said
yang melihat bahwa keduanya memiliki sejarah, pemikiran, kosa kata dan citranya
sendiri, Bagi Timur, proses tersebut telah membuatnya “hadir secara eksotik’
baik bagi Timur sendiri maupun Barat. Begitu pula bagi barat, proses ini
berhasil membuatnya “ada secara dominan” di Timur dan bagi Timur. Timur merupakan
bagian integral dari peradaban material dan budaya Eropa. The Orient is an integral part of European material civilization and
culture.[2]
Pengaruh
Pemikiran Gramsci dan Foucoult
Orient atau timur sebagai subjek akademik
yang diciptakan oleh orientalis sebagai sistem ilmu pengetahuan tentang timur.
Seperti yang diungkapkan oleh Gramsci, bahwa ada intelektual organik yang dimiliki oleh barat.
Bila tidak ada sayap intelektual, maka tidak ada orientalisme. Siapapun yang
mengajar, menulis, meneliti Timur, apakah dia Antropolog, Sosiolog, Sejarawan
apakah mereka menelaahnya secara spesifik atau umum, mereka dinamakan
Orientalis. Berdasarkan tradisi akademik ada aspek ontologis dan epistemologis
yang mendasarinya. “Orientalism is a
style of though based upon an ontological and epistemological distinction made
between ‘the orient’ and (most of the time) ‘the occident’.” [3] Orientalisme sebagai suatu gaya berpikir yang
didasari atas perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara The Orient (timur) dan The Occeident (barat).
Orientalisme sebagai suatu bahasan yang membenarkan bahwa barat
mendominasi, merestruktur, dan memiliki otoritas atas timur. Hubungan antara
barat dan timur lebih sebagai hubungan kekuasaan, dominasi dari beragam
tingkatan hegemoni. Bagi Gramsci, power terdiri dari dominasi dan hegemoni. Bahwa hegemoni tidak
akan terjadi tanpa adanya dominasi. Hal ini merupakan sumbangan pemikiran
Gramsci terhadap Said ketika melakukan pembedaan masyarakat secara analitis.
Gramsci membedakan masyarakat menjadi dua kelas, yakni masyarakat sipil
dan masyarakat politis, Masyarakat sipil yang dimaksud Gramsci terbentuk dari
kelompok masyarakat “suka-rela” (atau sekurang-kurangnya yang bersifat rasional
dan tidak memaksa), seperti sekolah, keluarga, dan serikat. Sedangakan
masyarakat politis terbentuk dari badan-badan negara seperti angkatan
bersenjata, kepolisian dan birokrasi
yang secara politis berperan sebagai penguasa dominan. Suatu kebudayaan tentu
saja beroperasi dalam masyarakat sipil, karena dalam masyarakat inilah
sekelompok gagasan, institusi dan manusia didalamnya tidak memberikan pengaruh
melalui bentuk dominasi, melainkan melalui apa yang dinamakan gramsci
“kesepatakan”. [4]
Dalam
masyarakat yang bersifat tidak totaliter, bentuk-bentuk kebudayaan tertentu
seringkali nampak lebih dominan dibandingkan kebudayaan lainnya. Demikian juga
dengan gagasan. Ada gagasan yang lebih berpengruh dibandingkan dengan gagasan
lainnya. Bentuk kepemimpinan budaya ini yang diidentifikasikan oleh Gramsci
sebagai hegemoni, sebuah konsep mutlak bagi setiap upaya untuk memahami
kehidupan kultural didalam masyarakat barat. [5]
Berkaitan dengan hegemonisme ini, ada pandangan yang sudah demikian mengakar
bahwa orang Eropa atau orang kulit putih lebih memiliki tingkat kebudayaan yang
lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan oang-orang kulit berwarna.
Bila Gramsci melihat adanya peran negara dalam hegemoni budaya, maka
Foucoult mengungkapkan bahwa yang menjadi kekuasaan adalah pengetahuan, atau
dikatakan “knowledge/power”. Dalam Geneologi kekuasaan, Foucoult membahas
bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi
pengetahuan, Diantaranya ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan
mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan
pengetahuan.[6]
Pertukaran
antara “makna akademis” dengan “makna orientalisme” merupakan pertukaran yang
nyaris dapat berlangsung secara terus menerus. Dengan menjadikan Abad XVIII
sebagai titik tolak, orientalisme dapat kita lihat dalam kapasitasnya sebagai
“institusi resmi” yang mengurusi dunia timur yang membuat pelbagai pernyataan
dan deskripsi tentang Timur, serta melegitimasi beragam asumsi tentang Timur.
Bahwa orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata ulang dan
menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia timur.[7]
Kekuasaan disini menurut Foucoult adalah dalam bentuk pengetahuan, disiplin
keilmuan yang dengannya kebudayaan Eropa mampu menangani bahkan menciptakan
dunia Timur secara politis, sosiologis, ideologis dan ilmiah. Melalui pengetahuan, Eropa
mendefinisikan dirinya unggul dan mencintrakan dirinya superior dan sebaliknya
orang-orang yang berada dibelahan dunia lain dianggap sebagai inferior.
White
Supremacy
Gagasan yang memandang kebudayaan Eropa merasa lebih hebat sedangakan
kebudayaan timur dianggap lebih terbelakang atau lebih rendah, membuatl Barat
atau Eropa dapat melakukan hegemoninya terhadap kebudayaan lain diluar Eropa,
khususnya Timur. Hal ini yang menganggap adanya supremasi kulit putih (White
Supremacy) yang bersifat rasis.
Gagasan yang memandang identitas Eropa lebih unggul dibandingkan dengan
identitas semua bangsa dan kebudayaan non Eropa dikemukakan oleh Edward Said,
yang pernah tinggal di Mesir dan mempelajari sejarah Mesir yang pernah dijajah
Inggris. Bahwa Orang Eropa sering menganggap kedudukan Orang Arab dan muslim
lebih rendah dibandingkan kedudukan orang Eropa. Stereotip dunia Timur seringkali
muncul dalam media massa, televisi, film
yang memberikan kesan memaksa informasi untuk mengambil bentuk yang baku
tentang timur. Kalau kita menyaksikan film-film barat, memberikan kesan bahwa
Orang Arab itu pasti kalah kalau berperang, mereka lemah dan bahkan bodoh.
Namun seringkali dipandang sebagai kaum pemberontak bahkan teroris.
Sebagian
besar kajian orientalisme Said berasal dari kesadarannya sebagai orang Timur,
yakni seorang anak yang tinggal di dua koloni Inggris, Palestina dan Mesir.
Memperoleh sebagian pendidikannya di Amerika Serikat. Namun kesadaran Said
sebagai orang Timur tetap hidup dalam dirinya.
Hal ini merupakan sisi-sisi pribadinya. Said mengutip kata-kata Gramsci
mengenai inventaris, In the “Prison
Notebooks Gramsci says : “The
starting point of critical elaboration is the consciusness of what one really
is, and is ‘knowing thyself’ as a produt of the historical process to date,
which has deposited in you in infinity of process to date which has deposited
in you an infinity of traces, without leaving an inventory”.[8] Bahwa titik tolak sebenarnya dari kerja
kritik adalah jati diri, sedangkan mengenalkan diri sendiri merupakan hasil
akhir dari proses sejara yang mengisyaratkan tentang ketidakterbatasan jejak
dalam diri kita, tana pemnyisakan sedikitpun daftar-daftar inventaris. Sebagai
seorang yang pernah mengenyam pendidikan di barat, Said tidak pernah melupakan
asal usulnya sebagai orang timur, ini yang membuat ia berjuang untuk mendudukkan timur sebagai subjek dan
menggugat hegemoni barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar