Senin, 18 Juni 2012

Orientalisme


         
 
Orientalisme, dikemukakan oleh Edward W. Said dalam bukunya Orientalism: Western Conception of The Orient yang berupaya menggugat hegemoni barat dan mendudukkan timur sebagai subjek. Said Lahir di Yerussalem, Palestina tahun 1935 dan besar di Mesir dan Amerika. Hidup di lingkungan Palestina yang nyaris berpenduduk muslim, dengan nama depan (Edward) berasal dari Inggris dan nama belakang (Said) dari Arab, serta nama tengah (Wadie) dari nama sang ayah yang berbisnis di Kairo.
          Sebagai seorang Palestina, ia merasa kalah dan terusir dari negerinya, lalu lari ke Kairo. Dia tidak menganggap dirinya sebagai “ahli” poskolonial meski banyak mengungkapkan ide mengenai poskolonial. Sebutan tersebut diberikan oleh para  poskolonialis yang melihat bahwa bukunya merupakan karya pemikiran tentang poskolonialisme. Sebagai orang yang pernah dijajah, masa lalunya bersifat traumatik, diaspora. Said mengatakan bahwa  kehidupannya tidak lepas dari sejarah masa lalunya. Ada masalah yang menyangkut ingatan kolektif dimasa lalu, dia juga merasa terasing ditanah airnya sendiri
          Berkenaan dengan kehidupannya di Kairo Mesir, Said mengungkapkan bahwa ada masalah besar di barat, terutama tentang timur, bahwa penggambaran mengenai Arab dan Islam begitu rendahnya. Didalam bukunya, digambarkan suatu bidang kajian ketimuran atau orientalisme, yang bersumber dari Inggris dan Prancis. Sejak awal abad XIX hingga akhir Perang Dunia II, Prancis dan Inggris mendominasi dunia timur dan orientalisme, sedangkan sesudah Perang Dunia II dominasi tersebut diambil alih Amerika yang melakukan pendekatan pada dunia timur seperti yang ditempuh Inggris dan Prancis sebelumnya. Dari kedekatan ini, muncul berbagai teks yang disebut sebagai ‘teks-teks orientalis’.
          Dengan demikian, orentalisme bukan semata-mata pokok bahasan atau bidang kajian politis yang dicerminkan secara pasif oleh kebudayaan, kesarjanaan atau intuisi. Bukan pula merepresentasikan dan mengungkapkan rencana keji imperialisme barat untuk menjatuhkan dunia timur. Lebih jauh, orientalisme merupakan kajian yang berusaha menyebarkan kesadaran-kesadaran geopolotis kedalam teks-teks estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah dan filologi.[1] Studi tentang orientalisme bukan saja berupa buku-buku akademik, tetapi juga laporan, novel, film teks drama dll.
          Timur dan Barat merupakan dua kata biner yang dikaji oleh Edward Said yang melihat bahwa keduanya memiliki sejarah, pemikiran, kosa kata dan citranya sendiri, Bagi Timur, proses tersebut telah membuatnya “hadir secara eksotik’ baik bagi Timur sendiri maupun Barat. Begitu pula bagi barat, proses ini berhasil membuatnya “ada secara dominan” di Timur dan bagi Timur. Timur merupakan bagian integral dari peradaban material dan budaya Eropa. The Orient is an integral part of European material civilization and culture.[2]

Pengaruh Pemikiran Gramsci dan Foucoult                    
          Orient atau timur sebagai subjek akademik yang diciptakan oleh orientalis sebagai sistem ilmu pengetahuan tentang timur. Seperti yang diungkapkan oleh Gramsci, bahwa ada  intelektual organik yang dimiliki oleh barat. Bila tidak ada sayap intelektual, maka tidak ada orientalisme. Siapapun yang mengajar, menulis, meneliti Timur, apakah dia Antropolog, Sosiolog, Sejarawan apakah mereka menelaahnya secara spesifik atau umum, mereka dinamakan Orientalis. Berdasarkan tradisi akademik ada aspek ontologis dan epistemologis yang mendasarinya. “Orientalism is a style of though based upon an ontological and epistemological distinction made between ‘the orient’ and (most of the time) ‘the occident’.” [3]  Orientalisme sebagai suatu gaya berpikir yang didasari atas perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara The Orient (timur) dan The Occeident (barat).
          Orientalisme sebagai suatu bahasan yang membenarkan bahwa barat mendominasi, merestruktur, dan memiliki otoritas atas timur. Hubungan antara barat dan timur lebih sebagai hubungan kekuasaan, dominasi dari beragam tingkatan hegemoni. Bagi Gramsci, power terdiri dari  dominasi dan hegemoni. Bahwa hegemoni tidak akan terjadi tanpa adanya dominasi. Hal ini merupakan sumbangan pemikiran Gramsci terhadap Said ketika melakukan pembedaan masyarakat secara analitis.
         Gramsci membedakan masyarakat menjadi dua kelas, yakni masyarakat sipil dan masyarakat politis, Masyarakat sipil yang dimaksud Gramsci terbentuk dari kelompok masyarakat “suka-rela” (atau sekurang-kurangnya yang bersifat rasional dan tidak memaksa), seperti sekolah, keluarga, dan serikat. Sedangakan masyarakat politis terbentuk dari badan-badan negara seperti angkatan bersenjata, kepolisian dan  birokrasi yang secara politis berperan sebagai penguasa dominan. Suatu kebudayaan tentu saja beroperasi dalam masyarakat sipil, karena dalam masyarakat inilah sekelompok gagasan, institusi dan manusia didalamnya tidak memberikan pengaruh melalui bentuk dominasi, melainkan melalui apa yang dinamakan gramsci “kesepatakan”. [4]
          Dalam masyarakat yang bersifat tidak totaliter, bentuk-bentuk kebudayaan tertentu seringkali nampak lebih dominan dibandingkan kebudayaan lainnya. Demikian juga dengan gagasan. Ada gagasan yang lebih berpengruh dibandingkan dengan gagasan lainnya. Bentuk kepemimpinan budaya ini yang diidentifikasikan oleh Gramsci sebagai hegemoni, sebuah konsep mutlak bagi setiap upaya untuk memahami kehidupan kultural didalam masyarakat barat. [5] Berkaitan dengan hegemonisme ini, ada pandangan yang sudah demikian mengakar bahwa orang Eropa atau orang kulit putih lebih memiliki tingkat kebudayaan yang lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan oang-orang kulit berwarna.
          Bila Gramsci melihat adanya peran negara dalam hegemoni budaya, maka Foucoult mengungkapkan bahwa yang menjadi kekuasaan adalah pengetahuan, atau dikatakan “knowledge/power”. Dalam Geneologi kekuasaan, Foucoult membahas bagaimana orang mengatur diri sendiri dan orang lain melalui produksi pengetahuan, Diantaranya ia melihat pengetahuan menghasilkan kekuasaan dengan mengangkat orang menjadi subjek dan kemudian memerintah subjek dengan pengetahuan.[6]
          Pertukaran antara “makna akademis” dengan “makna orientalisme” merupakan pertukaran yang nyaris dapat berlangsung secara terus menerus. Dengan menjadikan Abad XVIII sebagai titik tolak, orientalisme dapat kita lihat dalam kapasitasnya sebagai “institusi resmi” yang mengurusi dunia timur yang membuat pelbagai pernyataan dan deskripsi tentang Timur, serta melegitimasi beragam asumsi tentang Timur. Bahwa orientalisme sebagai gaya barat untuk mendominasi, menata ulang dan menetapkan kekuasaan mereka terhadap dunia timur.[7] Kekuasaan disini menurut Foucoult adalah dalam bentuk pengetahuan, disiplin keilmuan yang dengannya kebudayaan Eropa mampu menangani bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, ideologis dan  ilmiah. Melalui pengetahuan, Eropa mendefinisikan dirinya unggul dan mencintrakan dirinya superior dan sebaliknya orang-orang yang berada dibelahan dunia lain dianggap sebagai inferior.

White Supremacy
          Gagasan yang memandang kebudayaan Eropa merasa lebih hebat sedangakan kebudayaan timur dianggap lebih terbelakang atau lebih rendah, membuatl Barat atau Eropa dapat melakukan hegemoninya terhadap kebudayaan lain diluar Eropa, khususnya Timur. Hal ini yang menganggap adanya supremasi kulit putih (White Supremacy) yang bersifat rasis.    
          Gagasan yang memandang identitas Eropa lebih unggul dibandingkan dengan identitas semua bangsa dan kebudayaan non Eropa dikemukakan oleh Edward Said, yang pernah tinggal di Mesir dan mempelajari sejarah Mesir yang pernah dijajah Inggris. Bahwa Orang Eropa sering menganggap kedudukan Orang Arab dan muslim lebih rendah dibandingkan kedudukan orang Eropa. Stereotip dunia Timur seringkali muncul dalam media massa, televisi, film  yang memberikan kesan memaksa informasi untuk mengambil bentuk yang baku tentang timur. Kalau kita menyaksikan film-film barat, memberikan kesan bahwa Orang Arab itu pasti kalah kalau berperang, mereka lemah dan bahkan bodoh. Namun seringkali dipandang sebagai kaum pemberontak bahkan teroris.
         Sebagian besar kajian orientalisme Said berasal dari kesadarannya sebagai orang Timur, yakni seorang anak yang tinggal di dua koloni Inggris, Palestina dan Mesir. Memperoleh sebagian pendidikannya di Amerika Serikat. Namun kesadaran Said sebagai orang Timur tetap hidup dalam dirinya.  Hal ini merupakan sisi-sisi pribadinya. Said mengutip kata-kata Gramsci mengenai inventaris, In the “Prison Notebooks Gramsci says : “The starting point of critical elaboration is the consciusness of what one really is, and is ‘knowing thyself’ as a produt of the historical process to date, which has deposited in you in infinity of process to date which has deposited in you an infinity of traces, without leaving an inventory”.[8]  Bahwa titik tolak sebenarnya dari kerja kritik adalah jati diri, sedangkan mengenalkan diri sendiri merupakan hasil akhir dari proses sejara yang mengisyaratkan tentang ketidakterbatasan jejak dalam diri kita, tana pemnyisakan sedikitpun daftar-daftar inventaris. Sebagai seorang yang pernah mengenyam pendidikan di barat, Said tidak pernah melupakan asal usulnya sebagai orang timur, ini yang membuat ia berjuang  untuk mendudukkan timur sebagai subjek dan menggugat hegemoni barat.


[1] Edward W. Said. Orientalisme. Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan Timur sebagai Subjek.  Pustaka Pelajar 2011. Hal 17

[2] Edward W. Said. Orientalism. Western Conception of The Orient, Third Edition. Harmondsworth Penguin, 1991. Hal 2
[3] Ibid.
[4] Edward W Said. Orientalisme. Op cit. Hal 9
[5] Ibid.
[6] Georgr Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004. Hal 216
[7] Ibid hal 4
[8] Edward W. Said. Orientalism. Western Conception of The Orient. Op cit. Hal 25-26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar