Poskolonial Homi K Bhaba.[1]
Dalam essainya, Bhaba menggali
keterkaitan antara posmodern dan poskolonial melalui cara bahasa dari teori
seorang pos-struktrualis. Stukturalis klasik dibedakan antara langue (bahasa sebagai suatu sistem) dan
parole (tindakan percakapan individu)
yang diinterpretasikan sebagai keterlambatan temporal antara pemikiran dan
ekspresi antara impian dan tulisan antara intensi untuk mengekspresikan
pemaknaan dan penampilan verbal dalam makna yang diartikulasikan. ”..is interprated as a temporal lag between
thought and expression, between daydreaming and writing, between the intention
to express meaning and the verbal performance in which meaning is articulated”
(Bhaba, hal 189).
Bhaba mengatakan bahwa setiap momen
harus sebagai rangkaian sebuah revisi dimana ada keterbukaan dan kontingensi dalam
keyakinannya untuk mendapatkan kebebasan. Bagi korban kolonialisme, strategi
budaya sebagai cara dari kebertahanan (survival)
yang lebih banyak diperoleh dari warisan. Ada jarak antara warisan dan
pemahaman ofisial (ideologi) dan penyediaan ruang tampilan individu untuk
pertahanan dan individualitas.
- Konsep-konsep
Agency.
Bagi Bhabha bila dilihat
dari sudut pandang poskolonial, ada 2
kutub biner yang berbeda, yakni colonized
(dijajah) dan colonizer (penjajah).
Keduanya harus dilihat sebagai konteks historis yang tidak selalu linear satu
arah. Bila colonized bersikap
resisten, maka colonizer bersikap anxiety
atau cemas. Namun sikap perlawanan dan cemas dapat saja terjadi dikedua belah
pihak, seperti perlawanan dan resistensi dari colonizer yang khawatir akan ancaman terhadap daerah jajahannya
oleh penjajah lainnya. Sedangkan dari pihak yang dijajah, tidak selalu
resisten, melainkan terkadang bisa menerima kehadiran penjajah, meski tidak
sepenuhnya. Berdasarkan hal ini, Bhaba melihat pentingnya penyelamatan kondisi yang
tidak menentu (resist dan anxiety) yang
dilakukan oleh para agen melalui budaya.
Dengan kata lain, budaya sebagai
strategi pertahanan yang dilakukan oleh agen : pihak penjajah maupun yang
dijajah.
Dalam pandangan Bhabha, bahwa pihak
penjajah dapat menggunakan budaya lokal sedangkan pihak yang dijajah juga dapat
menggunakan budaya penjajah dalam rangka mengatasi rasa cemas dan resisten pada
diri mereka. Bhaba juga menyarankan perhitungannya atas semiotik yang
memberikan teori dasar bagi masyarakat multikultur yang dapat memasukkan budaya
“incommensurability” (yakni budaya
internal yang dibagi). Hal ini juga mencakup apa yang dikategorikan masyarakat
posmodern. Teori Bhaba pada akhirnya adalah keduanya, yakni anti rasis dan
kaunter-historis. Budaya yang mereka maksud adalah menolak tekanan pengauasa
berdasarkan etnis dan ras, namun budaya dengan muatan tradisi dapat masuk dalam sejarah diri mereka. Hal ini
merupakan kisah budaya subaltern yang berdasarkan postmodern yang bermakna
signifikan.
Dari dua biner, colonized dan colonizer
tidak saja dapat dilihat berdasarkan kondisi psikis atau keadaan yang mereka
alami, namun bila dilihat berdasarkan kekuasaan, maka pihak penjajah bersifat
dominan dan superior sedangkan yang dijajah berada dalam posisi minoritas dan
inferior. Yang terpenting disini adalah bagaimana budaya lokal memaknai
budayanya sendiri, apakah sebagai colonized memberi ruang bagi dirinya sebagai
objek ataukah sebagai subjek sehingga dapat memainkan perannya untuk perlawanan
(resis).
Kritik terhadap postkolonial dari
saksi sejarah terbatas pada ketidakadilan dan ketidakkuatan representasi budaya
terlibat dalam kontes otoritas politik dan sosial dalam tatanan dunia baru.
Perspektif poskolonial muncul dari kesaksian kolonial negara dunia ketiga dan
pembahasan dari ‘minoritas’ dalam pembagian berdasarkan geopolitis di timur dan
barat, utara dan selatan. Mereka campur tangan dalam bahasan ideologis mengenai
modernitas yang pada kenyatannya memberikan ‘normalitas’ hegemoni berupa
ketidakmerataan pembangunan dan perbedaan yang tidak menguntungkan bagi sejarah
bangsa, ras, komunitas dan rakyat. Mereka memformulasikan revisi kritis seputar
isu perbedaan budaya, otoritas sosial dan diskriminasi politik dalam upaya
mengungkapkan antagonistik dan momen yang ambivalen dalam ‘rasionalisasi’
modernitas.
Jarak teori kritis kontemporer
merupakan bentuk yang dideritakan oleh orang yang mengalami sejarah.
Penaklukan, dominasi, diaspora, displacement
(tidak memiliki tempat). Ada pelajaran yang dapat diambil tentang kehidupan dan
pemikiran. Ada orang-orang yang memiliki
pengalaman yang dirasakan sebagai marginalitas sosial, yang timbul dari bentuk
budaya non-canonical. Hal ini
merupakan transformasi dari strategi kritis untuk melawan konsep budaya luar untuk
mengikat budaya estetis. Hasil yang tidak lengkap dari makna dan nilai,
seringkali dibuat berdasarkan ketidakseimbangan tuntutan dan praktis yang
dihasilkan dari tindakan pertahanan sosial (the
act of social survival). Budaya menjangkau pencipataan sebuah tekstual
simbolik untuk memberikan rasa pengasingan, suatu aura selfhood yang menjanjikan kesenangan.
- Posisi budaya dalam konteks relasi
‘colonizer’ dan ‘colonized’
Budaya sebagai pertahanan
kelangsungan hidup (survival) berada diantara keduanya, transnational dan translational.
Transnational, karena poskolonial
kontemporer membahas akar historis penempatan budaya, apakah mereka bagian dari
perbudakan dan perjanjian, perjalanan jauh dari misi peradaban, kekhawawatiran
akomodasi migrasi dunia ketiga menuju barat setelah perang dunia kedua, atau
lalu lintas ekonomi dan politik dari para pengungsi didalam dan diluar dunia
ketiga. Budaya sebagai translational
karena berkaitan dengan daerah dan penempatan yang bersamaan dengan ambisi
‘global’ teknologi media. Pertanyaan
tentang arti budaya atau apa yang diartikan oleh budaya, membuatnya sebagai
suatu isu kompleks.
Merupakan hal yang krusial dalam membedakan antara kemiripan dan
kiasan simbol-simbol melalui jarak lintas
berdasarkan pengalaman budaya-literatur, seni, musik, ritual, kehidupan,
kematian-dan sosial. Setiap produksi pemaknaan ini sebagai sirkulasi seperti
tanda-tanda kontekstual yang spesifik
dari lokasi dan sistem sosial. Transformasi budaya dari dimensi transnational –migrasi, diaspora,
penempatan, relokasi membuat proses translansi budaya sebagai suatu bentuk
kompleks yang signifikan. Naturalisasi, mempersatukan wacana kebangsaan,
rakyat, atau otentik tradisi bangsa (folk),
yang mereka lekatkan pada mitos partikular budaya yang tidak ada referensinya. Kebaikan
dari posisi ini adalah membuat peningkatan kesadaran akan konstruki budaya dan
penciptaan budaya.
Sebagai pihak yang berkuasa,
colonizer memiliki kemampuan untuk mendominasi sehingga bagi pihak colonized harus ada upaya untuk
mendekontruksi pemikiran-pemikiran barat yang terlalu mendominasi. Hal ini
tergantung bagaimana peran agen dalam mendekontruksi nilai-nilai barat. Harus
ada transformasi yang merupakan proses bagaimana budaya diproduksi dan di
reproduksi
Perspektif poskolonial berangkat dari
tradisi sosiologi dibawah perkembangan atau ketergantungan teori. Sebagai suatu
mode analisa, mengharuskannya untuk revisi mereka sebagai pendidik yang
nasionalis atau nativis (penduduk asli) yang membentuk serangkaian hubungan
dunia ketiga dan dunia pertama dalam suatu struktut binar yang saling
beroposisi. Perspektif postkolonial berada pada bentuk holistik dari eksplanasi
sosial. Hal itu mendukung suatu rekognisi dari lingkup budaya dan poltik yang
lebih kompleks yang berada pada titik puncak dari political sphere .
Fungsi pengawasan dari segi budaya,
melibatkan kedua belah pihak, colonizer
dan colonized, untuk melihat apakah kedudukannya masih mendominasi sehingga
membuat posisinya nyaman. Budaya bekerja begitu kompleks, ada
simbol-simbol lokal yang digunakan colonizer sebaliknya ada penggunaan
simbol colonizer. Terdapat interaksi
diantara keduanya, sehingga muncul yang diistilahkan oleh Bhabha, yakni mimikri.
Sebagai contoh, ketika Snouck Hurgronje berada di Aceh dimasa penjajahan, maka
dia menggunakan simbol-simbol Islam agar dapat diterima oleh masyarakat Aceh.
Hal ini tentu saja untuk menghilangkan rasa kecemasan yang ada pada dirinya
sebagai pihak colonizer.
Mimikri tidak hanya dilakukan oleh para elit.
Tetapi bagai kelas bawah, ketika mereka mencoba untuk diterima yang digunakan
adalah simbol kelas atas. Bila terdapat dominasi budaya, maka hal itu
disebabkan adanya power yang bekerja, sehingga budaya yang dipakai adalah yang
dominan.
Berkaitan dengan penempatan hibriditas budaya, the transnational as the translational –
bahwa intelektual postkolonial mengharuskan untuk mengelaborasi projek historis
dan kesusasteraan. Dalam Postcolonial Theory: Context, practices, Politics karya
Moore-Gilbert, konsep “hibird” digunakan untuk menggambarkan bergabungnya dua
bentuk yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bnetuk, dan
sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya.
Terminologi dunia ketiga dan dunia pertama juga menjadi dua kata kunci dalam
teori Bhabha. Bhabha menemukan “mimikri” sebagai bukti bahwa yang terjajah
tidak melulu diam, karena memiliki kuasa untuk melawan. Konsep “mimikri”
digunakan untuk mengggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbagai elemen
kebudayaan. Fenomena “mimikri” tidaklah menunjukkan ketergantungan sang
terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan
ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Dengan demikian,
mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti
penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegaskan
dominasinya. Mimikri ini menjadi dasar sebuah identitas hibrida.[2]
Dalam konteks di Indonesia:
Selama kurang lebih 3,5 abad Indonesia
mengalami masa kolonialisasi, dimana
Pemerintah Belanda melalukan penjajahan di Indonesia. (Ditambah penjajahan oleh
Jepang selama 3,5 tahun). Belanda masuk ke nusantara melalui VOC, perusahaan
Belanda yang berkonsentrasi pada perdagangan rempah-rempah. Mereka memberi nama
Hindia Belanda untuk Indonesia. Orang-orang Belanda sebagai penjajah atau colonizer dan orang-orang pribumi
sebagai yang dijajah atau colonized.
Kedua pihak merupakan agen yang menurut memiliki rasa ketidakmenentuan. Sebagai
Colonizer, meski berasal dari kelas yang dominan dan memiliki superioritas,
namun ada kecemasan dalam diri mereka akan negara jajahannnya. Kecemasan itu
dapat berupa ancaman pemberontakan dari orang-orang pribumi, maupun ancaman
dari negara penjajah lainnya yang ingin menguasai Hindia Belanda. Sedangkan di
pihak orang-orang pribumi berusaha untuk resisten atau memberikan perlawanan.
Salah satu strategi untuk kondisi
tersebut, maka digunakan strategi budaya sebagai alat bagi kedua pihak untuk survive. Belanda memanfaatkan budaya
lokal dan orang-orang-orang Pribumi menggunakan simbol budaya barat, dalam hal
ini Belanda. Contoh berikut adalah keadaan ketika masa penjajahan Belanda
dengan memanfaat budaya sebagai strategi untuk bertahan (survive).
Salah satu tokoh Belanda yang
memanfaatkan Budaya Indonesia adalah Snouck Hurgronje, seorang akademisi yang
mencuat namanya pada akhir abad ke-19. Ia merupakan pakar dalam Kajian Islam.
Dalam perjalanan kariernya, ia pernah ditunjuk untuk memegang berbagai macam
jabatan, termasuk pemerintah Belanda untuk urusan Islam dan pribumi. Namun
Hougronje lebih memanfaatkan agama lokal yakni Islam dalam rangka
pendekatakannya dengan kaum pribumi.
Hougronje mempelajari Islam dan
membuatnya bisa diterima di kalangan pribumi. Menurutnnya Islam sebagai
kekuatan politik memiliki potensi yang besar untuk dimobilisasi menjadi gerakan
perlawanan. Pandangannya ini bertujuan agar umat muslim mengalami depolitisasi,
sehingga potensi Islam mengkristal dan gerakan perlawanan terhadap negara
semakin mengecil. Dalam kerangka pandang Hougronje, orang-orang Jawa, khususnya
para priyayi atau aristokrat tradisional memiliki kedudukan penting. Mereka
merupakan target yang paling mungkin untuk dibentuk menjadi kelompok warga
Hindia yang termodernisasi dan terwesternisasi. [3]
Modernisasi dan westernisasi yang
dimaksud oleh Belanda adalah memperkenalkan pendidikan ala Barat, agar mereka
memiliki segelintir elite Hindia yang dibentuk sejak pertengahan abad ke-19.
Percepatan penyebaran pendidikan barat merupakan proyek politik barat. “Belanda
memiliki suatu panggilan moral untuk mengajar (kaum bangsawan Indonesia) dan
menjadikan meeka rekan kita (Belanda) dalam kehidupan sosial dan kebudayaan..
Hubungan yang demikian akan menutup jurang diantara yang menguasai dan
dikuasai”[4]
Bila dilihat dari pemaparan ini, maka
the survival of the culture dimiliki
oleh kedua belah pihak. Hougronje sebagai agen yang melakukan upaya untuk
mempertahankan penjajahan melalui agama, dan kaum elit prbumi sebagai agen yang
memanfaatkan pendidikan. Tentu saja inisiatif ini dtang dari pihak belanda
sebagai colonozer yang memiliki
kekuasaan saat itu, sedangkan orang-orang pribumi dalam hal ini para elit hanya
memanfaatkan kebijakan Belanda. Namun keduanya memiliki unsur kebertahanan
(survival) dalam rangka menutup jurang diantara yang menguasai dan dikuasai.
Dalam sisi kehidupan sosial,
perempuan pribumi (biasanya yang masih muda) sering dimanfaatkan oleh
orang-orang Belanda. Pada awalnya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga,
namun oleh kalangan penjajah acapkali dimanfaatkan sebagai gundik, bila
beruntung dapat meningkat posisinya menjadi nyai, yaitu pembantu rumah tangga
utama. Sebuah status yang membawa serta banyak hak istimewa baginya. Ia
berkuasa ketika sang tuan tidak ada. Ia yang menguasai kunci lemari dan kunci
kamar persediaan bahan makanan serta ditugasi untuk mengawasi dan mengeluarkan
biaya kebutuhan rumah tangga. Status barunya juga diperlihatkan oleh dirinya,
Pakaian gelap atau berwarna-warni digantinya dengan kebaya putih yang umumnya
dipasangi renda. Ia juga mengenakan perhiasan. Dikedua kakinya dipakaikan
terompah atau selop. Disamping itu tak jarang membawa sapu tangan putih sebagai
tanda kedudukannya yang baru.[5]
Perempuan pribumi dalam uraian diatas,
sebenarnya menyiratkan posisinya yang terjajah (colonized), bahkan dia terjajah dua kali, yakni sebagai orang
pribumi yang dijajah Belanda, juga sebagai perempuan yang dijajah laki-laki.
Namun biasanya keluarga perempuan pribumi bersikap ganda. Pada satu sisi,
perilaku samenleven didorong oleh
motif ekonomi, jika naik pangkat menjadi nyai, tentu akan menambah penghasilan
dan membantu perekonomian kelauraga. Namun pada sisi lain dia dikecam, dan
dianggap aib, karena kedudukan nyai dianggap hampir sama dengan pelacur.
Berdasarkan hal ini, terlepas dari kecaman keluarga dan masyarakat,
sesungguhnya kehidupannya sebagai nyai sebagai sarana untuk survive. Melalui statusnya dia dapat
memperoleh simbol budaya barat, baju (kebaya) berenda, selop, sapu tangan,
perhiasan dsb. Sebaliknya pihak penjajah dapat memanfaatkan nyai untuk menggali
informasi tentang kehidupan sosial dan budaya orang-orang pribumi.
Kolonisasi sebagai historical context tidak lepas dari
kisah perjuangan dan pertumpahan darah. Namun dalam sisi lainnya ada menyisakan
kisah yang saling
“menguntungkan”
kedua belah pihak, melalui budaya, agama, pendidikan dan sisi kehidupan sosial
lainnya
___
Sumber
:
- Diktat
Kuliah Teori Sosiologi Kontemporer. Homi K. Bhabha. The Postcolonial and
The Postmodern
- Syahyuti
dalam http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/moore-gilbert-tentang-homi-k-bhabha.html
- Kompas,
15 Mei 2012
- Hanneman
Samuel. Ilmu Sosial Indonesia. Genealogi kekuasaan. Kepik Ungu. 2010.
- Reggie
Baay. Nyai dan pergundikan di Hindia belanda. Komunitas Bambu 2010.
[1]
Homi K. Bhabha. The Post Colonial and
The Post Modern. The Question Agency. Diambil dari bahan ajar semester genap
tahun 2010/2011. Teori Sosiologi Kontemporer
[2]
Syahyuti dalam
http://kuliahsosiologi.blogspot.com/2011/05/moore-gilbert-tentang-homi-k-bhabha.html
[3]
Hanneman Samuel. Ilmu Sosial Indonesia. Genealogi kekuasaan. Kepik Ungu. 2010.
Hal 23-24
[4]
Ibid.hal 25
[5]
Reggie Baay. Nyai dan pergundikan di Hindia belanda. Komunitas Bambu 2010.
Hal 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar