Bagaimana merasakan masa kolonialisme? mengapa pengalaman masa lalu merupkan collective memory yang menimbulkan
trauma bagi orang-orang yang berada dalam posisi terjajah? bagaimana kondisi
mereka saat itu? Iklan berikut ini dapat mengetahui dan merasakan betapa pahit
dan menderitanya bangsa kita saat penjajahan berlangsung.
Iklan berikut ini benar-benar kutipan dari koran
bertahun 1889.[1]
|
[1] Perpusatakaan
Nasional Republik Indonesia. (diambil dari materi kuliah Teori Sosiologi
Kontemporer oleh Pak Ganda Upaya)
Pengalaman
Traumatik
Iklan mencari budak diatas
menunjukkan bahwa Hindia Belanda (Indonesia) dikuasai secara militer dan
politik serta didominasi secara ekonomi sosial dan budaya. Sangat rasis,
terlihat bagaimana Belanda sebagai colonizer
merupakan kalangan White Supremacy
yang sangat arogan sedangkan inlander
atau pribumi sebagai colonized kedudukannya hanya sebagai budak dan centeng
dengan upah yang dipotong 40 persen, makan 3 kali sehari dan istirahat 1
jam.
Pengalaman pahit
juga dirasakan oleh perempuan pribumi kala itu. Banyak perempuan dijadikan
gundik atau yang bernasib lebih baik, dijadikan nyai (pengurus rumah tangga).
Baik gundik maupun nyai tidak akan dinikahi. Mereka bekerja merangkap pemuas
nafsu, atau lebih dimanfaat seperti (maaf) pelacur. Seorang wartawan dan
penulis, Henri Baroel melihat kemerosotan moral para pemuda laki-laki lajang
yang datang ke Hindia Belanda pada tahun 1900 yaitu dengan mengambil pembantu
rumah tangga perempuan untuk dijadikan gundik. Hal ini ditemukan dalam salah
satu tulisannya Een Werkkring in Indie
: “..yang menjadi kebiasaan para pemuda. Mereka yang mampu kadang-kadang
membayar lebih dari seorang pembantu rumah tangga. Atau dua orang pemuda atau
lebih yang tidak mampu membayar sendiri-sendiri, mereka tinggal bersama untuk
memelihara seorang pembantu rumah tangga. Secara bergiliran mereka
menganggapnya sebagai femelle (perempuan)
mereka.” [1]
Yang menyedihkan, banyaknya laki-laki yang hidup dalam pergundikan, namun tidak
menghendaki lahirnya anak sama sekali yang dianggapnya sebagai hal yang
mencemaskan. Akibatnya terjadi pengguguran kandungan dalam jumlah besar.[2]
Para perempuan pribumi yang dijadikan gundik ini memikul beban ganda yaitu
dijajah oleh kekuasaan imperial dan disubordinasikan oleh laki-laki penjajah
Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Spanyol dsb menjajah secara jelas
negara-negara jajahannya berdasarkan aspek geografis. Indonesia mendapatkan
kemerdekaannya melalui perjuangan dan pertempuran yang sengit. Penjajahan 3,5
abad oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, membuat bangsa Indonesia bertempur
mati-matian. Konsep kemerdekaan dan persatuan tanah air, bangsa dan bahasa dirumuskan sedemikan rupa oleh
para pendiri bangsa yang tidak tahan melihat penderitan nasib sesama pribumi
yang terjajah.
Gayatri
Spivak: “Can the Subaltern Speak?”
Tidak
hanya Indonesia, India juga mengalami penjajahan oleh Inggris. Hal ini yang
membuat Gayatri Spivak berbicara di Forum International, tentang “Can Subaltern
Speak?” tulisan Spivak ini awalnya didasari oleh pengalaman traumatiknya,
ketika neneknya, melakukan bunuh diri pada tahun 1926. Sampai beberapa waktu
tidak diketahui apa alasannya. Baru kemudian diketahui, bahwa kala itu
Bhuvaneswari, nenek Spivak merupakan anggota kelompok yang terlibat dalam
perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusannya menggantung diri
diambil, karena tak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan
kelompoknya. Kajian Poskolonialisme Spivak ingin menunjukkan keberadaan Subaltern, yang merupakan kelompok yang opressed atau tertekan sehingga tidak dapat menyuarakan dirinya.
“Tidak ada orang tertindas yang bisa bicara. Diberbagai tempat didunia
disepanjang sejarah manusia, selalu ada orang-orang yang secara absolut tidak
punya suara dan tidak dapat berbicara”. [3]
Subaltern’ yang dimaksud Spivak sebagai subjek yang tertekan, yang pernah dikatakan oleh Antonio Gramsci
(1978) mengenai Subaltern Classes. Gambaran kelompok kajian Subaltern
memusatkan perhatian pada sejarah, politik, ekonomi dan sosiologi sebagai
subalternatif didasarkan sikap,
ideologi, dan sistem kepercayaan. Singkatnya kondisi informasi budaya. Konsep
subaltern Spivak adalah sebutan untuk keseluruhan subjek yang tertekan, lemah
dan bersifat marjinal. Berkaitan dengan
budaya, kolonialisme tidak saja terjadi penaklukan fisik, melainkan juga penaklukan
pikiran, jiwa dan budaya.[4]
Ketidakmampuan berbicara juga dialami oleh rakyat Mesir ketika dijajah
oleh Inggris. Hal ini dikemukakan oleh Edward W Said dalam bukunya
Orientalisme. Bagi Said, Orient (Timur) dan Occident (Barat) adalah Biner, atau
dua hal yang terdapat dalam
orientalisme. Ada barat dan timur, yang pertama menguasai sedang yang
kedua, dikuasai. Bagi Inggris saat itu, setiap orang Mesir yang akan berbicara
kemungkinan besar adalah seorang penghasut yang akan menimbulkan kesulitan-kesulitan
dan bukan seorang pribumi baik-baik yang mau memaafkan dan melupakan
“kesulitan-kesulitan” dari dominasi asing.[5]
Tergambarkan bahwa hegemoni terjadi di
Mesir. Dan hal ini tentu saja tidak akan terjadi bila tidak ada dominasi
kekuasaan.
Bagi Spivak, subaltern “tidak layak” mereprentasikan dirinya, kaum
terdididik yang dapat merepresentasikannya dengan menyuarakan subaltern sebagai kelompok yang tertindas. Atau para subaltern memerlukan pendidikan
yang layak agar dapat besikap kritis. Sejarah negara-negara terjajah harus
merepresentasi yang terjajah. Perlu ada remaking
history, sejarah ditulis kembali agar trauma bisa hilang.
Dimasa kini, kolonialisasi dapat saja terjadi dalam bentuk
“penjajahan” ekonomi, dimana yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, dan dapat terjadi subalternisasi
pada kalangan miskin. Perhatian harus diberikan kepada mereka agar tidak menjadi kelompok yang bungkam, tidak
dapat menyuarakan dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Hal ini yang
menjadi salah satu perhatian Spivak,
dalam artikelnya “Can Subaltern Speak?”. Tidak ada
posisi subjek didalam diskursus kolonialisme yang memungkinkan berbicara untuk
diri mereka sendiri. Bila kini setelah merdeka masih ada aura kolonialisme
dalam bentuk lain, maka seperti yang
dikatakan oleh Spivak, bahwa kaum
yang terdidik yang harus menyuarakan mereka yang tidak
mampu bersuara.
Franz
Fanon: Black Skin, White Mask.[6]
Frantz
Fanon adalah salah satu dari pemikir yang mendukung perjuangan dekolonisasi yang terjadi setelah Perang Dunia II. Hidupnya
singkat, dan hatinya dicurahkan dalam usaha
memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aljazair yang saat itu dijajah Perancis. Dia
memberi dorongan terhadap kebebasan manusia dalam konteks kolonial. Karya tulisnya telah menjadi teks
sentral dalam cara berpikir orang Africa, sebagian besar karena perhatiannya
terhadap hibriditas peran dan kreolisasi yang bersifat humanis, anti-kolonial
budaya. Hibriditas, khususnya, dipandang sebagai oposisi kontra-hegemonik
terhadap praktek kolonial.
Dalam karyanya Peau Noire, masques Blancs (Kulit Hitam, Topeng Putih) , Fanon yang berkulit hitam dan warga negara Prancis ini telah
menjadi figur inspirasional yang memberi imajinasi moral untuk keadilan sosial
bagi orang-orang memperjuangkan kaum yang terpinggirkan dan tertindas. Hasil
karyanya mengartikulasikan humanisme
anti-rasis radikal yang melekat baik untuk asimilasi ke arus utama supremasi
kulit putih ataupun filsafat reaksioner superioritas hitam.
Inti pemikirannya adalah bahwa tidak ada seorangpun yang memilih
dilahirkan dalam keadaan berkulit hitam atau berkulit putih. Namun ketika
seseorang dilahirkan dalam keadaan berkulit hitam, itu sudah suatu takdir, tetapi
bukan berarti dapat diperlakukan tidak
adil atau memiliki stereotip negatif hanya karena kulitnya hitam. Perlakuan ini
tidak saja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi pencitraan yang buruk juga
terdapat dalam kisah, cerita yang ada pada majalah dan media lainnya, bahwa negro
itu manusia buruk atau jahat. “In Europe,
the black man is the symbol of Evil” .
Fakta
bahwa orang kulit putih menganggap diri mereka lebih unggul dibandingkan orang
kulit hitam mengharuskan orang kulit hitam membuktikan dirinya agar dapat memiliki
kemampuan dalam hal kekeyaan, kemampuan berpikir dan intelektualitas. Hal ini
juga tidak lepas dari faktor psiokologis bahwa terdapat alienasi bila orang
kulit hitam tidak mendapatkan pengakuan langsung dari realitas sosial dan
ekonomi. Ada rasa rendah diri yang terinternalisasi dalam diri orang berkulit
hitam.
The black man wants to be like the white man. For
the black
man there is only one destiny. And it is white.
Long ago the black
man admitted the unarguable superiority of the
white man, and
all his efforts are aimed at achieving a white
existence.
Have I no other purpose on earth, then, but to
avenge the Negro
of the seventeenth century?
In this world, which is already trying to
disappear, do I have
to pose the problem of black truth?
Do I have to be limited to the justification of a
facial
conformation?
I as a man of color do not have the right to seek
to know in
what respect my race is superior or inferior to
another race.
I as a man of color do not have the right to hope
that in the
white man there will be a crystallization of guilt
toward the past
of my race.
I as a man of color do not have the right to seek
ways of
stamping down the pride of my former master.
I have neither the right nor the duty to claim
reparation for the
domestication of my ancestors.
There is no Negro mission; there is no white
burden.
I fi nd myself suddenly in a world in which things
do evil; a
world in which I am summoned into battle; a world
in which it
is always a question of annihilation or triumph.
I find myself—I, a man—in a world where words wrap
themselves in silence; in a world where the other
endlessly hardens
himself.
No, I do not have the right to go and cry out my
hatred at the
white man. I do not have the duty to murmur my
gratitude to
the white man.
My life is caught in the lasso of existence. My
freedom turns me
back on myself. No, I do not have the right to be a
Negro.
I do not have the duty to be this or that. . . .
If the white man challenges my humanity, I will
impose my
whole weight as a man on his life and show him that
I am not
that “sho’ good eatin’” that he persists in
imagining.
BY WAY OF CONCLUSION
I fi nd myself suddenly in the world and I
recognize that I have
one right alone: That of demanding human behavior
from the
other. One
Perspektif Poskolonial Spivak dan
Fanon
Baik Spivak maupun Fanon
dalam kajian Poskolonial melihat adanya dua kelas yang dibedakan atas status,
kedudukan dan kekuasaan. Spivak melihat
bahwa kelas subaltern merupakan orang-orang yang tertindas, inferior yang
mendapat perlakuan tidak adil dari orang-orang yang menjajah (kolonisasi). Ada
trauma yang dialami oleh orang-orang yang terjajah. Spivak memberi istilah
subaltern sebagai kelas yang tertekan, dimana dia tidak dapat menyuarakan apa
yang dirasakan dan apa yang diinginkannya. Harus ada orang yang
merepresentasikan suara mereka. Namun siapa? Karena representasi itu hanya ada
pada diri mereka sendiri, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bersuara
Oleh karena itu, perlu ada orang yang dapat membantu “mengeluarkan’ suara mereka dengan jalan
meningkatkan kehidupan mereka dengan memberikan pendidikan dan pengetahuan akan
hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.
Dimasa kini, poskolonialisasi dapat saja terjadi dalam bentuk
“penjajahan” ekonomi, dimana yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, dan dapat terjadi subalternisasi
pada kalangan miskin. Perhatian harus diberikan kepada mereka agar tidak menjadi kelompok yang bungkam, tidak
dapat menyuarakan dan memperjuangkan hak dan kepentingannya. Mungkin ini salah
satu yang dimaksud oleh Spivak, dalam artikelnya
“Can Subaltern Speak?”
Fanon juga melihat adanya inferioritas dalam kalangan orang-orang negro,
dimana mereka mendapat perlakuan tidak adil dari kalangan orang-orang kulit putih.
Kesan buruk, jahat dan bodoh seringkali digambarkan oleh orang kulit putih
terhadap mereka. Adanya dominasi dan kekuasaan atas orang kulit putih terhadap
pulit hitam. Serta ada “pemaksaan” citra buruk terhadap orang kulit hitam
melalui literatur atau kisah-kisah yang terdapat di majalah. Ada Supremasi
dimana orang kulit merasa lebih unggul. Supremasi ini ingin dihilangkan oleh
Fanon dan berusaha untuk meningkatkan kesamaan derajat bagi setiap manusia, hal
ini dapat diraih bila orang Hitam dapat mengangkat
dirinya menjadi golongan orang terpelajar sehingga dapat memperoleh simbol status yang lebih baik.
Bila Sipivak mengambil
pelajaran dari koloanialisasi negaranya India, yang dijajah oleh Inggris, maka
Fanon mengalaminya sendiri sebagai orang kulit hitam berwarganegara Prancis
yang pernah ditempatkan di negara jajahan Prancis, Ajazair. Mengenai White
Supremacy, dialami juga oleh bangsa Indonesia ketika dijajah oleh Belanda.
Indonesia (Hindia Belanda) sebagai negara jajahan kala itu, pada akhir tahun
1870an. Penduduknya, disebut kaum pribumi sering mendapatkan perlakuan yang
tidak adil. Hidup sebagai djongos, bahkan (sebelum perbudakan dihapus), mereka
juga diperlakukan sebagai budak. Para perempuan pribumi banyak yang diambil
sebagai gundik. Kisah ini sekedar menambah
pengetahuan mengenai white
supremacy di Indonesia :
Di koloni, setiap orang Eropa
menaiki tangga status sosial begitu mereka menjejakkan kaki di daratan,
Semuanya tergantung warna kulit dan hal itulah yang meningkatkan asal-usul dan kedudukan di masyarakat. Hal
itu berlaku bagi setiap kulit putih. “Seorang kulit puti masuk ke sebuah toko,
katakanlah toko milik seorang jutawana India. Sang jutawanpun membungkuk
sedalam-dalamnya dihadapan tuan putih, yang mungkin hanya seorang pelaut
berpakaian bagus, sorang penjahat atau seorang petualang, Meskipun demikian ia
tetap seorang tuan putih”. Seorang yang
berasal dari lapisan rendah masyarakat Eropa, kaum paria, langsung memperoleh
kedudukan yang sangat berbeda di Hindia Belanda. Susunan kemasyarakatan langsung
diputarbalikkan sepenuhnya. ‘Sekarang saya adalah sesorang, saya bagian dari
ras yang memerintah dunia, tidak pernah terpikirkan sebelumnya dibenak saya
bahwa saya bisa menikmati begitu banyak hak istimewa hanya karena berkulit
putih”. Masyarakat kolonial Eropa yang terdiri dari pendatang baru pada tahun
1880 terdapat 19,5 juta penduduk pribumi sedangkan orang Eropa hanya berjumlah
50.000. mereka tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Bataia, Bandung,
Surakarta, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya.
Meski jumlahnya sedikit dan persebarannya terbatas, namun mereka
merupakan kaum penguasa absolut. [8]
Sumber :
- Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: A
Critical Introduction . Australia: Allen& Unwin, 1998 (Dari diktat
bahan ajar semester genap tahun
2010/2011 Departemen Sosiologi FISIP UI).
2.
Edward W. Said. Orientalisme. Menggugat Hegemoni Barat dan mendudukkan
Timur sebagai Subjek. Pustaka Pelajar
2011.
[1] Creussol dan Borel , Een Werkkring in Indie dalam Buku karya Reggie Baay: Nyai
dan Pergundikan di Hindia Belanda. Komunitas Bambu, Mei 2010 hal 83
[3] Kompas, 12 Maret 2006.
Diambil dari tulisan di Blog Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy
[7] Frantz Fanon. Black Skin,
White Masks. Trans. Charles Lan Markmann. New York: Groe, 1967 . E-Book. hal
178-179
[8] Szekely, van oerwoud tot
Plantage, 67 dalam Reggie Bay: Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Op cit.
Hal 37-38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar