Senin, 18 Juni 2012

Teori Modernisme dan Post Modernisme



Teori-teori Modernisme.[1]
          Teori modernitas, dalam sosiologi klasik dimiliki oleh para teoritisi Marx, Weber, Durkheim dan Simmel yang melihat kemunculan dan pengaruh modernitas. Meski keempatnya melihat keuntungan dengan adanya modernitas, namun mereka juga mengutamakan kritis yang dihadapi dalam kehidupan modern.
          Marx melihat bahwa modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis. Ia mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke masyarakat kapitalis. Selanjutnya, karyanya ditujukan untuk mengkritik  sistem ekonomi kapitalis yang terdapat kekurangannya, seperti alienasi dan eksploitasi. Weber melihat masalah kehidupan modern menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas. Manusia semakin terpenjara dalam sangkar besi sehingga tidak mampu mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling mendasar. Durkheim melihat modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan mulai melemahnya kesadaran kolektif. Sedangkan Simmel dapat dikatakan senagai sosiolog modernis, karena pembahasannya yang melihat dua sisi berhubungan, yakni kota dan uang. Dalam Philosophy of Money , Simmel dapat mengungkapkan apa yang tersembunyi dan apa yang ditekankan dalam masyarakat modern, apa pengaruh uang, dan apa akbiat kerugian dari uang di masyarakat modern.
          Keempat sosiolog itu meninggal menjelang tahun 1920. Kini teori modernis tetap dikaji dalam bahasan kontemporer oleh sosiolog, antara lain Anthony Giddens, George Ritzer, Jurgen Habermas dan Zygmunt Bauman. Ada beberapa konsep yang dikemukakan dalam Teori Modernis : [2]
1. Modernitas Jugernaut. Dikemukakan oleh Giddens yang menggambarkan bahwa kehidupan modern seperti sebuah Juggernaut (panser raksasa). Bahwa masyarakat sangat dinamis, bisa melaju hingga taraf terntu, namun juga terancam lepas kendali dan hancur lebur. Bayangan tentang panser raksasa ini berkaitan dengan sesuatu yang bergerak  melaui rentang waktu dan ruang fisik. Hal ini untuk menunjukkan dominannya sistem dalam mempengaruhi kemampuan kita untuk mengubah kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Craib berkaitan dengan pemikiran Giddens yang terkesan tidak ada kaitan antara penekanan peran keagenan dalam pemikiran teoritis murni, “point of the dominance of system tendencies against our ability to change the world”.[3]
          Modernitas dan Kosekuensinya. Modernitas memiliki konsekuensi mendasar yang terdiri  dari empat hal, yakni : (1) Kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi (2) Industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. (3) Kemampuan mengawasi yang mengacu pada aktivitas warga negara secara individual. (4) Kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan.

          Penekanan Giddens terhadap konsep ruang dan waktu sangat penting dalam modernitas yang disebabkan oleh tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi dan kemampuannya menghubungkan otoritas lokal. Sejarah membentuk masa kini. Kedinamisan itu bersumber dari keterlepasan (dissembedding). Mekanisme keterlepasan ditandai dengan makna simbolik, uang, dimana kita dapat bertransaksi dengan orang lain, tanpa terikat jarak dan waktu. Hal ini dapat diambil contoh, dengan proses transfer di bank, kita dapat mengirim uang tidak perlu datang ke bank, melainkan melalui mesin ATM, bahkan dapat dilakukan melalui internet atau sms banking. Keterlepasan yang kedua, ditandai dengan sistem kecakapan teknis atu keahlian profesional yang mengorganisir bidang material dan lingkungan sosial dimana kita hidup kini. Dapat diambil contoh, pembuatan mobil yang dapat dibuat melalui proses ban berjalan dan industri yang sudah terorganisir dengan baik. Sehingga untuk membuatnya tidak perlu dibuat satu demi satu mulai dari ban, kap, pintu, mesin dan sebagainya. Melainkan sudah ada pemasoknya tersendiri. Sehingga dapat selesai begitu cepat. Profesi Arsitek, kini mendesain gambar, tidak diatas meja gambar dan kertas yang penuh kerumitan, tetapi cukup merencanakan disain dan konstruksi di depan komputer, serta sudah ada contoh disain yang lebih spesifik. Namun semua ini dibutuhkan kepercayaan yang baik. Simbol dan sistem keahlian dapat berlangsung bila masyarakat mempercayainya sebagai faktor yang memudahkan seseorang untuk melakukan tindakan. Sebagai contoh, agar transaksi keuangan  berlangsung dengan baik kita harus mempercayai sistem perbankan yang ada.

          Modernitas dan identitas. Giddens lebih memusatkan perhatian pada aspek mikro modernitas, terutama pada diri (modernity and self identity). Bahwa diri (self) berkaitan secara dialektis dengan institusi masyarakat modern, sebagian besar perhatiannya dicurahkan pada bagian-bagian makro. Meski memusatkan perhatian pada masalah mikro namun kita tidak dapat mengabaikan hubungan dialektika yang lebih luas. “Diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam lingkungan global. “transformation in self-identity and globalisation.. are the two poles of the dialectic of the local and the global in condition of high modernity. Changes in intimate aspects of personal life.. are directly tied to the establishment of social connections of wide scope .. for the first time in human history, “self’ and “society” are interrelated in a global milieu”.[4]
          Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bahwa hal yang ada pada diri, bahkan tubuh tertarik kedalam lingkungan global melalui organisasi yang membuat seseorang sedemikian rupa berupaya melakukan tindakan yang dinilai oleh masyarakat sebagai sesuatu keharusan. Ada faktor yang menundukkan agar kita mengikuti aturan yang telah ditentukan masyarakat, berkaitan dengan identitas diri. Sebagai contoh, perempuan cantik diidentikkan seperti Barbie, boneka terkenal buatan Amerika yang memiliki tubuh tinggi, langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya. Citra cantik ini dibentuk oleh industri kosmetik dan industri perawatan kecantikan, selain itu ditopang oleh industri periklanan, sehingga muncul kriteria yang menjadi standar agar seorang wanita mendapatkan identitas cantik. Cantik itu berarti harus ke salon, meluruskan rambut, melangsingkan tubuh dengan ramuan produksi kosmetik, berkulit putih dengan menggunakan body lotion tertentu dan lain-lain.
2. McDonaldisasi dan Alat Konsumsi Baru
     Sumber teoritis permasalahan ini adalah karya Weber tentang rasionalitas, dengan memperhatikan fakta bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan kehidupan masa kini, yakni rasionalitas formal. Bila Weber melihat birokrasi sebagai rasionalitas formal, maka Ritzer melihat restoran cepat saji sebagai  contoh yang lebih baik dari rasionalitas formal yang merupakan komponen kunci dari kehidupan modern.  Ritzer juga meneliti kartu kredit yang dapat digunakan untuk transaksi pembelian dan penjualan. Alat-alat konsumsi baru, seperti mall, supermarket, saluran tv kabel, dsb sebagai bagian dari komponen kehidupan modern.            
3. Modernitas dam Holocaust.
         Paradigma modern menurut Bauman adalah Holocaust, yakni penghancuran sistematis orang Yahudi oleh Nazi. Hal ini dipandang sebagai paradigma modern rasionalitas birokrasi. Bauman melihat bahwa birokrasi sebagai alat netral yang dapat digerakkan ke setiap arah. Birokrasi lebih menyerupai dadu, meski dapat digunakan untuk tujuan kekejaman maupun kemanusiaan. Namun birokrasi lebih besar kemungkinannya untuk menyokong proses yang tidak berperikemanusiaan.
4. Modernitas: Proyek yang belum selesai.
Habermas melihat modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern. Ada penjajahan kehidupan dunia oleh sistem. Salah satu yang dibahas Habermas adalah makin bertambahnya masalah negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern. Masalah ini diselesaikan di tingkat sistem dengan menambah sub sistem baru. Menurutnya masalah itu tak akan terselesaikan dengan cara seperti itu, namun harus diselesaikan dalam rangka hubungan antara sistem dengan kehidupan dunia.
5. Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan
Dalam karyanya The Information Age : Economy, Society and Culture, Manuel Castells  yang menggambarkan kemunculan masyarakat, kultur dan ekonomi yang baru dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, komputer dsb) Revolusi ini memunculkan apa yang disebut oleh Castells dengan “kapitalisme informasional” yang melahirkan gerakan masyarakat operasional yang berdasarkan pada diri dan identitas.
Teori Globalisasi
          Teori ini muncul sebagai akibat serangkaian perkembangan internal teori sosial khususnya terhadap perspektif moderniasasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias wetern-nya yang disesuai dengan perkembangan di barat dan bahwa ide diluar dunia barat tak punya pilihan kecuali menyesuaikan diri dengan ide barat. Sesungguhnya setiap bangsa dan kehidupan miliaran oran diseluruh dunia sedang ditransformasikan oleh globalisasi. Sering kita mendengar istilah gloobalisasi yang dikatikan dengan pedagangan, yakni World Trade Organization (WTO) atau IMF. Bahwa setiap orang didunia ini merasakan sedang menghadapi suatu persolan besar secara bersama-sama, yakni isu globalisasi.
Teori  Post-Modernisme
          Post-modernisme adalah suatu pemikiran baru yang menggantikan pemikiran modern. Dalam pendapat yang lain, dikatakan bahwa post-modernisme adalah pengembangan dari modernitas. Bila modernisme ditandai dengan rasionalitas, absolutisme, universalitas dan homogenitas melalui produksi ilmu pengetahuan sebagai jalan menuju kemajuan, maka menurut post modernisme, teknologi sebagai media untuk kebebasan dan humanisasi tidak mampu menjelaskan realitas, seperti halnya fakta modern mengenai pembunuhan warga yahudi oleh Nazi, Jerman. [5]
          Mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern, meliputi periode historis baru, produk kultural baru dan tipe baru dalam penyusunan tentang teori kehidupan sosial. Konsep pertama, berkaitan dengan keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan memasuki periode historis yang baru. Konsep kedua berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern. Konsep ketiga adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan teori sosial modern.
          Pemikir post-modern menolak gagasan tentang narasi besar atau metannarrative. Hal ini dikemukakan oleh pemikir utama post-modern, yakni Lyotard. Bila ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative, maka ilmu post-modern menolak narasi umum tersebut.  Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan. [6]

          Secara Epistemologi, post-modernisme menolak atas kebenaran sebagai objek abadi yang tetap. Bagi Lyotard (1984), Rorty (1989) memiliki kesamaan dengan Foucoult dalam ide bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, melainkan bersifat spesifik menurut ruang dan waktu.[7]  Berkaitan dengan hal ini, dalam pandangan post-modernisme, bahwa pengetahuan tidak ada yang bersifat menyeluruh yang mampu menjelaskan karakter ‘objektif’ dunia. Sedangkan modernisme menganggap kebenaran yang diawali periode pencerahan  yang bermuara pada satu pengetahuan yang bersifat universal.
        


             Post-modernitas mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat menyusul era modern dan mengacu pada produl kultural (dibidang kesenian, film, arsritektur, dan sebagainya) yang berbeda dari produk kultural modern. Juga mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern.[8] Ada beberapa perbedaan antara Teori Modernis dengan Teori Post Modernis, dan ini lebih banyak dikemukakan oleh Habermas dalam Habermas versus Post Modernis. (Ritzer 2004 : 581-582)
                  Teori Modernis
                    Teori Post-Modernis
Kapitalisme, industrialisme, kemampuan mengawasi aktivitas warga secara individual dan kekuatan militer
Periode historis baru, produk kulural baru dan tipe baru tentang teori kehidupan sosial
Menganut gagasan tentang metanarasi
Menolak gagasan tentang metanarasi
Menerima pandangan  konsep seperti kapitalisme. (Giddens)
Tidak mungkin menciptakan pengetahuan sistematis
Berpegang pada tujuan pencerahan (habermas)
Mengorbankan pencerahan
Tidak mungkin membuat analisa kritis, karena tidak akan memahami kata-kata kesusateraan mereka (Holub)
Dianggap sebagai karya pemikir kesusateraan. Argumennya mengorbankan seluruh kekuatan logika (Holub)
Pembaca tidak dapat memahami apa pemikiran post-modernis itu (Habermas)
Dijiwai oleh sentimen normatif, namun sentimen itu disembunyikan dari para pembaca
Memahami dan menggambarkan fenomena yang terjadi pada masyarakat modern
Gagal membedakan fenomena dan praktik yang terjadi dalam masyarakat modern
Dalam kehidupan dunia, lahir gagasan teoritis
Mengabaikan praktek kehidupan dunia
Perubahan terjadi ynag dilandasi dinamika ekonomi.
Biasanya berkaitan dengan perubahan radikal (Jameson)

Ilustrasi Empiris Teori Modernis dikatikan dengan Post-Modernis
          Ada konsekuensi real dalam kehidupan modernis, yang tidak pernah terpikirkan oleh para teoritis sebelumnya. Informasionalisme dan masyarakat jaringan begitu mendominasi disaat ini. Modernis melihat bahwa hal itu menguntungkan secara real. Sebagai contoh kasus  penyanyi Justin Bibier dan Briptu Norman yang pernah tampil di YouTube mengatasi hambatan kapital untuk menjadi terkenal, ketika mereka mendonlod video atau rekaman gambar yang memperlihatkan penampilannya ketika menyanyi. Video itu dilihat oleh jutaan orang, dan seketika mereka menjadi terkenal. Secara ekonomi, seharusnya dibutuhkan kapital yang besar untuk menjadi terkenal, tetapi di era informasi ini hal itu bukanlah sesuatu hal yang merintangi seseorang untuk terkenal, bila memang mereka memiliki potensi yang menarik untuk dilihat oleh orang-orang yang mengakses internet.
           Demikian pula dengan kasus Prita yang mengalami permasalahan ketika dia mengadukan keluhannya lewat email dan dianggap mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit international yang merupakan rumah sakit tempat Prita berobat. Keluhan Prita di jejaring sosial Facebook  menggema keseluruh tanah air, sehingga mengakibatkan dirinya berurusan dengan pengadilan. Namun kenyataan ini justru menimbukan simpati oleh banyak kalangan ditanah air, sehingga terjadi gerakan pengumpulan koin untuk Prita yang berhasil memperoleh jumlah yang cukup besar, yakni sekitar Rp 800 juta yang akan digunakan untuk menebus perkaranya dipengadilan berdasarkan tuntutan pihak rumah sakit yang memperkarakan Prita.
         Post-modernis melihat bahwa hal itu bukan suatu kebenaran yang universal, adanya solidaritas pada kasus Prita, bukan karena timbulnya kesadaran dalam masyarakat untuk membela orang yang ‘dizalimi’, mereka berpartisipasi hanya sekedar ikut-ikutan saja. Demikian juga dengan Justin Bibier dan Briptu Norman, post-modernis menganggap dalam diri mereka tidak ada prestasi, hanya sekedar gaya dan mengikuti tren untuk mengunduh rekaman videonya ke situs tertentu.
          Kasus lainnya, ketika Demo Buruh besar-besaran untuk menuntut kenaikan upah, dimana ribuan buruh turun kejalan berdasarkan pemberitahuan lewat situs jejaring sosial atau SMS, bila para modernis melihat efektifitas informasi yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi membuat timbulnya kesadaran kelas bagi para buruh, ada kebenaran relatif terhadap ilmu dan teknologi, sedangkan post-modernis menganggapnya bahwa tidak ada kesadaran kelas yang muncul, para buruh hanya datang dan sekedar ikut serta, tidak ada keterkaitan dengan tuntunan yang berhubungan dengan Organisasi Buruh Internasional  (ILO) dalam rangka Hari Buruh sedunia.


[1] George Ritzer – Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004. Hal 550
[2] Ibid. Hal 552-577
[3] George Ritzer, Modern Sociological Theory, 7th ed, Mc Graw Hill. hal 425
[4] Ibid. Hal 429
[5]  Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000. 
[6] Ritzer and Goodman. Op cit. Hal 631
[7] Chris Barker. Cultural Studies . Kreasi Wacana 2004. Hal 155
[8] George Ritzer-Douglas J Goodman. Opcit. Hal 632

sumber :

    1.  George Ritzer – Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004.

2.     2.  George Ritzer. Modern Sociological Theory. Mc Graw Hill. 2008

3.      Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000. 

4.      4. Chris Barker. Cultural Studies . Kreasi Wacana 2004. 

5. 5..Bagong Suyanto  dan M Khusna Amal (ed) Aditya Media 2010. Teori Strukturalisme. Dalam  Anatomi dan  Perkembangan Ilmu Sosial



Tidak ada komentar:

Posting Komentar