Jumat, 25 November 2011

Bunuh Diri, sebuah fenomena sosial


     Bila mendengar peristiwa bunuh diri, membuat hati merasa miris. Bagaimana tidak, sosok seseorang yang tadinya memiliki peran dalam masyarakat, apakah sebagai seorang anak, orangtua, teman, tetangga, keluarga, kerabat tiba-tiba terputus kehidupannya dengan dunia melalui cara yang menyedihkan, yakni menghilangkan nyawanya sendiri. Betapa keputusan yang diambil tidak melihat keberadaan Sang Pencipta sebagai satu-satunya yang mempunyai hak untuk mengambil nyawa seseorang.

    Ketika bunuh diri itu dilakukan tidak saja oleh satu atau dua orang,  dengan jangka waktu tertentu, lalu diikuti oleh orang lain dengan motivasi dan cara berbeda, tentunya kenyataan ini meupakan suatu fenomena atau fakta sosial meski untuk melihat kecenderungannya didasarkan pada angka atau jumlah. Kita pernah mendengar ada orang yang bunuh diri di sebuah mall terkemuka di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia meski tidak pernah tahu apa motivasinya untuk melakukannya ditempat keramaian, sebab tidak pernah mendapatkan jawabannya, yang kita ketahui mungkin masalah yang dihadapi berdasarkan informasi dari keluaganya,  seperti berita di Kompas, Sabtu 26 November 2011 hlm 26 yang memuat berita bunuh diri yang dilakukan oleh seorang mahasiswi UPH yang mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 9 Kondominium Golf Lippo Karawaci, Tangerang. Diduga persoalan asmara yang tidak direstui oleh orangtuanya.

    Emile Durkheim (1858-1917), adalah sosiolog terkemuka yang mempelajari fenomena bunuh diri yang terjadi dimasanya. Beliau yang pertama kali menggunakan data-data statistik untuk melihat fakta tersebut. Awalnya beliau meilihat dari berita iklan di koran tentang pengumuman kematian, lalu menelusuri bahwa ternyata kebanyakan yang meninggal disebabkan bunuh diri.  Durkheim mengamati apakah ada pola atau dorongan sosial dibalik tindakan menghabisi nyawa yang sepertinya sangat individual, apakah ada tekanan moral yang dialami individu? 

     Dalam karya terkenalnya “Suicide” (1897), Durkheim melihat  tindakan individual dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sosial, berdasarkan data statistik dari masyarakat berbeda, menunjukkan bahwa ada keteraturan dalam pola-pola bunuh diri. Ada empat tipe bunuh diri, yakni Egoistik, Anomik, Altruistik dan Fatalistik. Bunuh diri Fatalistik, misalnya dilakukan oleh sekelompok orang dengan kontrol yang berlebihan seperti dalam masyarakat budak. Bunuh diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial sangat kuat, dan dilakukan demi kelompok, seperti di Jepang, Seppuku merupakan bunuh diri yang dilakukan ketika kekacauan melanda masyarakat. Bunuh diri Anomik, dimana orang tidak tahu tempatnya berada didalam masyarakt yang kompleks, merasa tidak punya apa-apa dan tidak ada norma dan peraturan yang membimbing dalam kehidupan sehari-hari. Analisa statistik Durkheim memperlihatkan bahwa kiris ekonomi membuat orang kehilangan arah.  Sedangkan bunuh diri Egoistik , lebih merupakan upaya individu untuk “menyelamatkan” dirinya sendiri karena rendahnya tingkat integrasi suatu kelompok sosial, tidak ada mekanisme berbagi pikiran dan perasaan.
    
     Ada suatu fenomena menyedihkan yang terjadi di Korea saat ini, yakni Bunuh Diri Berantai. Tahun 90an hingga kini kita mengenal istilah Korean Wave atau Hallyu yang berarti gelombang Korea yang merupakan tersebarnya budaya pop Korea ke penjuru dunia, tidak saja di wilayah Asia, tetapi Amerika Serikat, Amerika Latin hingga Timur Tengah. Budaya pop yang begitu membius, salah satunya adalah drama Korea. Warga Korea sendiri sangat gemar menonton film drama. Namun betapa terkejutnya, dibalik kesuksesan budaya pop Korea yang merambah keseluruh dunia, ternyata ada sebuah survey yang dirilis oleh Komnas HAM Korea Selatan tahun 2010, bahwa terjadi sejumlah bunuh diri  dikalangan para artis. Antara lain, Kim Yuri dengan penyebab kematian : minum racun, meninggal 19 April 2011, Woo Seung Yoon, gantung diri, meninggal 27 April 2009. Lee Eun Joo, memotong urat nadi, 22 Februari 2005. Song Ji Seon melompat jendela apartemen, 23 Mei 2011. Jang Ja Yeon, penyebab tidak diketahui, meninggal 7 Maret 2009. Choi Jin Sil, gantung diri, 2 Oktober 2008. Lee Hye Ryeon, gantung diri, 21 Januari 2007. Jung D Bin, gantung diri, 10 Februari 2007.
 
     Dari data yang dirilis Komnas HAM korea, bahwa sebanyak 60 responden yang terdiri dari 111 aktris lama dan 240 aktris baru menyebutkan bahwa mereka sering mendapat rayuan seksual dari orang-orang yang mungkin bisa mempengaruhi karier mereka di dunia hiburan (pengusaha kaya, produser TV, produeser film hingga politisi). Data statistik ini dipicu oleh salah satu skandal sex tape yang menimpa aktris terkenal Jang Ja Yeon. Video rekaman yang diambil secara diam-diam ketika dia tengah bercinta dengan laki-laki tersebar, tak hanya satu video, tatapi beberapa video yang diambil pada kesempatan lain. Laki-laki itu masih misterius. Sampai akhirnya Jang yang berperan dalam drama hits Boys Before Flowers, tewas bunuh diri pada tahun 2009. Rupanya permasalahan skandal seksual merupakan tekanan yang mendera para artis Korea hingga akhirnya melakukan bunuh diri. (Lihat juga http://hot.detik.com/read/2011/03/09/181610/1588202/230/jang-ja-yeon-pernah-dipaksa-melayani-31-pria-sebanyak-100-kali )

     Psikolog dari Universitas Yonsei, bernama Hwang Sangmin mencoba menganalisa fenomena ini. Ia berpendapat orang Korea memiliki konsep Yan, yang berarti setiap orang berusaha keras untuk diam dan tabah meski dalam keadaan marah. Beban hidup karena pekerjaan, hubungan asmara, takut gagal dan tuntutan karier membuat mereka merasa depresi tanpa bisa mengeluarkan uneg-unegnya. Saat sudah terlalu berat, bunuh diri menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.  Betapa mengerikan fenomena bunuh diri. Bukan hanya sekedar angka-angka statistik tetapi angka tersebut dapat bercerita tentang perjalanan seseorang dalam menjalani kerasnya kehidupan yang berbenturan dengan moralitas, apalagi bila ditiru oleh fansnya. Timbulnya werther effect, dengan tewasnya Choi Jin Sil yang gantung diri karena depresi menyumbang angka kematian bunuh diri hinggal 1700 kasus dalam sebulan! (Popular, November 2011). 

Tidak ada konsep berbagi, tidak mempunyai teman curhat menjadikan para artis itu nekad bunuh. Suatu tindakan yang tidak patut dicontoh.  Ini menjadi pelajaran bagi kita agar senantiasa memberi perhatian kepada orang terdekat disekeliling kita untuk berbagi cerita dan nasehat.

Jakarta, 26 November 2011
Meita
    

Karl Marx : "I've Told U.. "

 
Karl Marx, yang lahir di Jerman (1818-1883), banyak dikenal sebagai seorang intelektual yang memiliki gagasan radikal, membangkitkan semangat revolusi untuk perjuangan kelas. Namun sosok sesungguhnya terkesan sangat sosial. “Kapital”  merupakan karyanya yang sangat terkenal, sebuah kritik ekonomi politik yang mempersembahkan acuan yang lengkap dan rinci mengenai berbagai hal tentang ekonomi dari sudut pandang sosial politis. Marx mengkritisi kaplitalisme yang terjadi dikala itu, dimana ada ketimpangan antara kelas kapitalis dengan kelas buruh atau pekerja. Fenomena sosial ini dicermati oleh Marx yang hidup di abad 19. Dunia saat itu, terutama di Eropa sedang mengalami gejolak, dengan munculnya revolusi industri yang mengakibatkan pemberontakan kaum buruh.    
    

     Kala itu demi  meraih surplus value, para pemilik modal melakukan penghematan dengan cara  mengeksploitasi tenaga kerja, bahkan dengan mempekerjakan anak-anak dengan kondisi  kerja yang sangat memprihatinkan. Ilustrasi ini dilihat dari gambaran kondisi kerja di sebuah tambang batu bara. Pada tahun 1860, rata-rata kurang lebih 15 orang terbunuh setiap minggunya di tambang batu bara di Inggris. Dalam kurun waktu 1852 hingga 1862 total telah terbunuh sebanyak  8466 orang. Ternyata jumlah ini terlalu kecil, karena banyak kecelakaan dan kematian yang sama sekali tidak dilaporkan. Kecenderungan ini menandakan eksploitasi kapitalis. Pengorbanan para pekerja itu sebagian besar disebabkan keserakahan yang busuk dari pemilik batu bara, dimana mereka hanya membuat satu terowongan, sehingga kurang ada ventilasi dan jalan keluar untuk menyelamatkan diri bila terowongan terhalang atau putus. (Capital, 1992, hlm 57) Kepekaan Marx tehadap nasib pekerja saat itu terlihat ketika dia begitu memprihatinkan kenyataan bahwa tidak saja di pertambangan, melainkan di pabrik-pabrik banyak yang mempekerjakan anak-anak, karena bayaran mereka lebih murah tanpa harus memikirkan keselamatan, kesehatan dan kenyamanan. 

     Namun, cita-cita Marx untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas mengalami kegagalan, karena sesungguhnya tidak akan pernah ada masyarakat tanpa kelas. Cita-cita itu bersifat utopi. Negara-negara barat yang menyadari hal ini merubah kebijakan negaranya untuk memberikan kesejahteraan yang memadai kepada para pekerja. Sistem jaminan sosial diterapkan. Para pekerja memiliki jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan dan dana pensiun. Sehingga perjuangan kelas itu mereda dengan diterapkannya sistem jaminan sosial dan menjadikan  negaranya sebgai negara sejahtera atau “welfare state”.
         
 Kini abad silam itu sudah berlalu. Kapitalisme sudah mengglobal. Hampir tidak ada negara yang tidak menerapkan sistem ekonmi kapitalisme. Ketimpangan yang dirasakan hampir dua abad silam, dirasakan pula saat ini, meski wujudnya sedikit berbeda.  Kapitalisme kini telah merambah ke segala penjuru dunia, bahkan hingga ke Cina. Negara yang menganut pemahaman komunisme itu mulai “membuka diri”. Sedangkan negara yang paling menganut kapitalisme saat ini adalah Amerika Serikat, yang mengandalkan kekuatan ekomominya berdasarkan mekanisme pasar bebas. Namun yang terjadi saat ini adalah krisis finansial yang meresahkan rakyat Amerika. Angka pengangguran semakin meningkat. Pusat keuangan dan pasar modal yang berpusat di Wall Street New York, sempat diduduki oleh para demonstran, mereka menamakan dirinya kelompok “Occupy Wall Street”. Aksi serupa ini juga diikuti di London, Inggris. Kelompok demostran ini menduduki pusat saham di London, mereka menamakan dirinya Occupy LSC (London Stock Exchange). Diperkirakan sebanyak 2000-3000 orang melancarkan protes mengecam keserakahan kaum korporat dan kebijakan ekonomi Pemerintah Inggris.
(http://international.okezone.com/read/2011/10/17/414/516422/kaum-anti-kapitalis-inggris-lakukan-protes).

Aksi pendudukan makin meluas, di Roma, Geneva, Miami, Montenegro, Paris, Sarajevo, Serbia, Vienna dan Zurich mereka berunjuk rasa sambil mengenakan topeng dan meneriakkan slogan-slogan anti kapitalisme. (Kompas, Senin 17 Oktober 2011). Seperti apa yang diramalkan oleh Marx dalam kata pengantarnya yang dikutip diawal, bahwa: “Inilah tanda-tanda zaman. Mungkin saja esok akan terjadi keajaiban. Mereka menunjukkan bahwa didalamnya terdapat kelas-kelas berkuasa, maka sudah mulai terbayang bahwa masyarakat bukanlah kristal yang solid tapi suatu organisme yang mampu berubah dan terus menerus dalam proses perubahan”. 

Bahwa kenyataannya sistem kapitalisme ini membuat ketidakadilan yang telanjang di mata publik. “Kerugian di sosialisasi dan keuntungan diprivatisasi”, demikian diungkapkan oleh ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz.  Aksi perlawanan ketimpangan kini merambah kemana-mana dari “wall Street”, jantung kapitalisme dunia, hingga ke London dan kota-kota di Eropa lainnya bahkan Kanada. “Kami adalah kaum 99%, dan kami jauh tertinggal dari kelompok 1 % lainnya : kaum Borjuis Amerika”, begitu kata yang melakukan aksi di distrik finansial, Wall Street.  Aksi serupa juga terjadi di Kanada yang dimotori para aktivis Adbuster Media Foundatian. Fenomena ketidakpuasan ini juga dapat  mengacam banyak Negara termasuk Indonesia, meski tingkat ketimpangan pendapatan Indonesia, diukur berdasarkan koefisien Gini memang relatif lebih rendah tapi ini bukan berarti tak bermasalah, bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya melahirkan dan memperkaya orang kaya dan yang miskin masih tetap miskin. (disarikan dari Tempo, edisi 24-30 Oktober 2011, hal 24)

( hmm sepertinya benar ..  yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin  bertambah kesmiskinannya.. )

Jakarta, 17 November 2011.

To all my friends, especially  Sociolovers
sekedar catatan oret-oretan.. he..he
-meita-