Bila mendengar peristiwa bunuh
diri, membuat hati merasa miris. Bagaimana tidak, sosok seseorang yang tadinya
memiliki peran dalam masyarakat, apakah sebagai seorang anak, orangtua, teman,
tetangga, keluarga, kerabat tiba-tiba terputus kehidupannya dengan dunia
melalui cara yang menyedihkan, yakni menghilangkan nyawanya sendiri. Betapa
keputusan yang diambil tidak melihat keberadaan Sang Pencipta sebagai
satu-satunya yang mempunyai hak untuk mengambil nyawa seseorang.
Ketika bunuh diri itu dilakukan
tidak saja oleh satu atau dua orang,
dengan jangka waktu tertentu, lalu diikuti oleh orang lain dengan
motivasi dan cara berbeda, tentunya kenyataan ini meupakan suatu fenomena atau
fakta sosial meski untuk melihat kecenderungannya didasarkan pada angka atau
jumlah. Kita pernah mendengar ada orang yang bunuh diri di sebuah mall
terkemuka di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia meski tidak pernah tahu apa
motivasinya untuk melakukannya ditempat keramaian, sebab tidak pernah
mendapatkan jawabannya, yang kita ketahui mungkin masalah yang dihadapi
berdasarkan informasi dari keluaganya, seperti
berita di Kompas, Sabtu 26 November 2011 hlm 26 yang memuat berita bunuh diri
yang dilakukan oleh seorang mahasiswi UPH yang mengakhiri hidupnya dengan
melompat dari lantai 9 Kondominium Golf Lippo Karawaci, Tangerang. Diduga
persoalan asmara yang tidak direstui oleh orangtuanya.
Emile Durkheim (1858-1917), adalah
sosiolog terkemuka yang mempelajari fenomena bunuh diri yang terjadi dimasanya.
Beliau yang pertama kali menggunakan data-data statistik untuk melihat fakta
tersebut. Awalnya beliau meilihat dari berita iklan di koran tentang pengumuman
kematian, lalu menelusuri bahwa ternyata kebanyakan yang meninggal disebabkan
bunuh diri. Durkheim mengamati apakah
ada pola atau dorongan sosial dibalik tindakan menghabisi nyawa yang sepertinya
sangat individual, apakah ada tekanan moral yang dialami individu?
Dalam karya terkenalnya
“Suicide” (1897), Durkheim melihat
tindakan individual dilatarbelakangi oleh faktor-faktor sosial,
berdasarkan data statistik dari masyarakat berbeda, menunjukkan bahwa ada
keteraturan dalam pola-pola bunuh diri. Ada empat tipe bunuh diri, yakni
Egoistik, Anomik, Altruistik dan Fatalistik. Bunuh diri Fatalistik, misalnya
dilakukan oleh sekelompok orang dengan kontrol yang berlebihan seperti dalam
masyarakat budak. Bunuh diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai
ikatan sosial sangat kuat, dan dilakukan demi kelompok, seperti di Jepang,
Seppuku merupakan bunuh diri yang dilakukan ketika kekacauan melanda
masyarakat. Bunuh diri Anomik, dimana orang tidak tahu tempatnya berada didalam
masyarakt yang kompleks, merasa tidak punya apa-apa dan tidak ada norma dan
peraturan yang membimbing dalam kehidupan sehari-hari. Analisa statistik
Durkheim memperlihatkan bahwa kiris ekonomi membuat orang kehilangan arah. Sedangkan bunuh diri Egoistik , lebih merupakan
upaya individu untuk “menyelamatkan” dirinya sendiri karena rendahnya tingkat integrasi
suatu kelompok sosial, tidak ada mekanisme berbagi pikiran dan perasaan.
Ada suatu fenomena menyedihkan
yang terjadi di Korea saat ini, yakni Bunuh Diri Berantai. Tahun 90an hingga
kini kita mengenal istilah Korean Wave atau Hallyu yang berarti gelombang Korea
yang merupakan tersebarnya budaya pop Korea ke penjuru dunia, tidak saja di
wilayah Asia, tetapi Amerika Serikat, Amerika Latin hingga Timur Tengah. Budaya
pop yang begitu membius, salah satunya adalah drama Korea. Warga Korea sendiri
sangat gemar menonton film drama. Namun betapa terkejutnya, dibalik kesuksesan
budaya pop Korea yang merambah keseluruh dunia, ternyata ada sebuah survey yang
dirilis oleh Komnas HAM Korea Selatan tahun 2010, bahwa terjadi sejumlah bunuh
diri dikalangan para artis. Antara lain,
Kim Yuri dengan penyebab kematian : minum racun, meninggal 19 April 2011, Woo
Seung Yoon, gantung diri, meninggal 27 April 2009. Lee Eun Joo, memotong urat
nadi, 22 Februari 2005. Song Ji Seon melompat jendela apartemen, 23 Mei 2011.
Jang Ja Yeon, penyebab tidak diketahui, meninggal 7 Maret 2009. Choi Jin Sil,
gantung diri, 2 Oktober 2008. Lee Hye Ryeon, gantung diri, 21 Januari 2007.
Jung D Bin, gantung diri, 10 Februari 2007.
Dari data yang dirilis Komnas
HAM korea, bahwa sebanyak 60 responden yang terdiri dari 111 aktris lama dan
240 aktris baru menyebutkan bahwa mereka sering mendapat rayuan seksual dari
orang-orang yang mungkin bisa mempengaruhi karier mereka di dunia hiburan
(pengusaha kaya, produser TV, produeser film hingga politisi). Data statistik
ini dipicu oleh salah satu skandal sex
tape yang menimpa aktris terkenal Jang Ja Yeon. Video rekaman yang diambil
secara diam-diam ketika dia tengah bercinta dengan laki-laki tersebar, tak
hanya satu video, tatapi beberapa video yang diambil pada kesempatan lain.
Laki-laki itu masih misterius. Sampai akhirnya Jang yang berperan dalam drama
hits Boys Before Flowers, tewas bunuh diri pada tahun 2009. Rupanya
permasalahan skandal seksual merupakan tekanan yang mendera para artis Korea
hingga akhirnya melakukan bunuh diri. (Lihat juga http://hot.detik.com/read/2011/03/09/181610/1588202/230/jang-ja-yeon-pernah-dipaksa-melayani-31-pria-sebanyak-100-kali
)
Psikolog dari Universitas
Yonsei, bernama Hwang Sangmin mencoba menganalisa fenomena ini. Ia berpendapat
orang Korea memiliki konsep Yan, yang berarti setiap orang berusaha keras untuk
diam dan tabah meski dalam keadaan marah. Beban hidup karena pekerjaan,
hubungan asmara, takut gagal dan tuntutan karier membuat mereka merasa depresi
tanpa bisa mengeluarkan uneg-unegnya. Saat sudah terlalu berat, bunuh diri
menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Betapa mengerikan fenomena bunuh diri. Bukan
hanya sekedar angka-angka statistik tetapi angka tersebut dapat bercerita
tentang perjalanan seseorang dalam menjalani kerasnya kehidupan yang
berbenturan dengan moralitas, apalagi bila ditiru oleh fansnya. Timbulnya
werther effect, dengan tewasnya Choi Jin Sil yang gantung diri karena depresi
menyumbang angka kematian bunuh diri hinggal 1700 kasus dalam sebulan! (Popular, November 2011).
Tidak ada konsep berbagi, tidak mempunyai teman
curhat menjadikan para artis itu nekad bunuh. Suatu tindakan yang tidak patut
dicontoh. Ini menjadi pelajaran bagi
kita agar senantiasa memberi perhatian kepada orang terdekat disekeliling kita
untuk berbagi cerita dan nasehat.