Jumat, 18 Januari 2013

Tragedi Busung Lapar

Paper Eksklusi Sosial




          60 Tahun Indonesia merdeka, namun jutaan orang-orang tinggal di sudit-sudut kumuh perkotaan serta pelosok pedesaan.  Dengan  hidup yang jauh dari layak. Kekeringan, penyakit, kelaparan dan kematian terus mengancam. Perempuan harus menempuh puluhan kilometer untuk mencari air dan pelayanan kesehatan. Anak-anak lumpuh layu, perut buncit, telanjang dan cacingan. Ini bukanlah bencana alam yang tak bisa dihindarkan. Sudah 60 tahun merdeka, namun masih 28% penduduk miskin, 40% tanpa akses air bersih, 32% tanpa pelayanan kesehatan, 15% buta huruf. Kurang  gizi, busung lapar, kemiskinan, pengangguran merenggut nyawa anak-anak. Anak yang mati dini bukan sekedar angka statistik belaka, tetapi berkaitan dengan hak asazi. Kematian tunas-tunas negeri. Anak kurang gizi menanti kepastian, busung lapar tidak bisa dipulihkan, mereka mati atau tetap hidup dengan otak kosong.[1]
          Buruknya gizi anak dapat menyebabkan busung lapar. Tragedi Busung Lapar bukanlah masalah kesehatan semata, tetapi berkaitan dengan kemiskinan dan permasalahan orang-orang miskin. Tentunya membutuhkan penanganan yang serius dari penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah. Bagaimanapun seseorang yang berada dalam kemiskinan, sangat sulit untuk menjadikan dirinya sehat dan sejahtera. Ada semacam “lingkaran setan’ ketika seorang yang lahir dari keluarga miskin, lalu tidak dapat bersekolah, sehingga tidak memiliki pekerjaan yang memadai dan akhirnya tidak mempunyai penghasilan yang baik atau bahkan tidak memiliki pekerjaan. Dengan kondisi tersebut dapat saja kesehatannya menjadi terganggu dan hidupnya mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang berada di lingkungannya atau luar lingkungannya. Bila berkeluarga, tentu dia akan mempunyai anak dengan gizi yang rendah karena tak mampu memberikan makanan yang baik dan sehat, rumah dan pakaian yang layak serta kesulitan membiaya sekolah anaknya, begitu seterusnya hingga kemiskinan turun temurun dari generasi ke generasi tanpa perbaikan hidup.
          Menurut data BPS per Maret 2011 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 30.02 juta jiwa atau 12,49% dari total seluruh penduduk Indonesia. Angka ini belum termasuk jumlah penduduk yang nearly poor  atau yang sedikit diatas garis kemiskinan, yakni sejumlah 29,38 juta jiwa. Angka ini diambil berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan Rp 233,740 untuk penduduk yang rata-rata berada dalam garis kemiskinan. Untuk yang hampir miskin, berdasarkan pengeluaran perkapita per bulan Rp 280,488. Jumlah ini akan semakin besar  jika menggunakan ukuran yang digunakan Bank Dunia yang mematok US$ 2 per kapita per hari. [2]
          Melihat besarnya jumlah penduduk miskin, tentunya akan menyebabkan beragam permasalahan sosial, dan bukan hanya masalah eksistensi kehidupan dan harga diri pribadi semata, tetapi juga persolan masyarakat, negara maupun persoalan bersama umat manusaia. Dalam pandangan Human Right Act yang dikemukakan oleh Scotland, bahwa setiap individu memiliki harga diri, kesamaan dan kesempatan yang sama. Nilai-nilai dasar ini merupakan hak individu untuk mendapatkan kebutuhan dasar kehidupannya yang menyangkut hak atas ekonomi, sosial dan budaya. [3] Berkaitan dengan hak, TH Marshall dalam Citizenship and Social Class membagi kewarganegaraan menjadi tiga bagian, yakni hak sipil yang berhubungan dengan kebutuhan individu untuk kemerdekaan dan kebebasan mengemukakan pendapat, pemikiran dan keyakinan yang merupakan bagian dari ranah keadilan, Kedua, hak politik, yakni hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, memilih dan dipilih, dikaitkan dengan institusi  parlemen parlemen atau dewan pemerintahan. Ketiga, hak sosial yang merupakan hak untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi dan jaminan sosial untuk meraih kehidupan yang beradab merujuk pada standar kehidupan masyarakat yang berlaku. [4] Berkaitan dengan hak-hak warga negara, terutama pemenuhan hak sosial warga tentunya bertujuan agar menciptakan kesejahteraan bagi setiap warga. Berkaitan dengan hal ini, kesehatan merupakan hak dasar yang harus terpenuhi, oleh karena itu negara bertanggungjawab dalam pemenuhan pelayanan kesehatan setiap warga negara.
           Salah satu cita-cita Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupang bangsa.”. Berdasarkan hal ini setiap orang tentunya berhak mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Hal ini diperkuat dalam salah satu pasalnya, yakni pasal 28 H ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, pasal 31 hak setiap warga negara untuk medapat pendidikan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (3) ditegaskan bahwa negara bertanggungjawab atas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.           
          Dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, maka pelayanan kesehatan merupakan hak yang harus diperoleh oleh warga, dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhinya. Untuk melihat fakta yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kesehatan, salah satunya dapat dilihat dari data kesehatan penduduk. Melalui Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi dan Status Gizi Anak. Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Provinsi Nusa Tenggara Barat: “Melihat Pembangunan kesehatan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan tren yang membaik, menyusul cenderung menurunnya angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu melahirkan (AKI), dan membaiknya status gizi. Kepala Dinas Kesehatan NTB M Ismail, Jumat (9/11/2012), di Mataram, mengatakan, AKI di NTB tahun 2007 (hasil Sensus Demografi Indonesia) sejumlah 72 per 1.000 kelahriran hidup (KH) turun jadi 42 per 1.000 KH merujuk angka sementara Sensus Penduduk tahun 2010. Jumpa pers dilakukan berkait Hari Kesehatan Nasional, 12 November. Kemudian, AKI ibu juga dikatakan menurun, dari 320 per 100.000 KH (menurut estimasi Dinas Kesetahan NTB 2007) menjadi 280,5 per 100.000 KH (2011). Status gizi buruk juga menurun, dari 1.092 kasus (Juli 2011) menjadi 507 (Juli 2012)”.[5] Berdasarkan data-data ini, masih  banyak kasus gizi buruk. Meski  disebut cenderung membaik atau menurun.  Anak kurang gizi bukanlah sekedar data atau angka-angka statistik semata, tapi faktanya masih ada dan dapat dikategorikan banyak (menurun jumlahnya dari 1092 kasus menjadi 507). Jumlah 507 kasus, bukanlah jumlah yang sedikit.
      Data dari Kementerian Kesehatan mengenai kekurangan gizi pada balita diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) 2011 mengambil tema “Gizi Seimbang Investasi Bangsa”. Menurutnya, berdasarkan hasil Riskesdas 2010 prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia angkanya sebesar 17,9 persen. Angka ini menunjukkan penurunan sejak 1990 lalu sebesar 31,0 persen. Meski demikian, di Indonesia masih akan ditemui sekitar 3,7 juta balita mengalami kekurangan gizi, ditambah lagi dengan anak-anak yang tergolong pendek yang angkanya sebesar 35,7 persen.[6]
Kebijakan Kesehatan dan Ekslusi Sosial.
          Tingginya kasus gizi buruk adalah bukti adanya ketidakadilan dan ketimpangan. Belum terpenuhinya hak dasar warga untuk mendapatkan layanan kesehatan. Kemsikinan dan kesenjangan ekonomi menjadi faktor buruknya taraf kehidupan di wilayah tertentu di Indonesia, antara lain NTB, NTT dan Papua. Wilayah lain di Indonesia tentu masih dapat ditemui beberapa kasus kurang gizi dan busung lapar. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dan pembangunan yang bias perkotaan dan provinsi lain di Pulau Jawa. Kebijakan otonomi daerah membuat beberapa wilayah mengalami ketimpangan ekonomi. Alokasi anggaran dari pemerintah pusat tidak dapat dijadikan andalan untuk memperbaiki taraf kehidupan sosial ekonomi penduduk terutama di kawasan Indonesia Tengah dan Timur juga berbagai kendala lain yang berkaitan dengan otonomi.
          Masalah otonomi daerah membuat kekisruhan anggaran dalam membiaya kesehatan penduduk.  Berikut ini menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam diskusi kesehatan bertema menuju "Indonesia Sehat 2010" di Jakarta  : “Otonomi daerah membawa pengaruh yang sangat besar dalam menambah persoalan di bidang kesehatan. Misalnya di suatu daerah angka kolera masih tinggi. Ketika petugas kesehatan menilai, infus kurang dan bermaksud meminta infus ke pusat, biasanya mereka dilarang oleh pemerintah daerah. Akhirnya seharusnya hanya jatuh korban 9 orang, berkembang menjadi 47 orang. Persoalan otonomi juga telah berdampak pada alokasi dana kesehatan. Sebagai contoh, Dana Alokasi Umum (DAU) yang di dalamnya sudah memasukkan anggaran kesehatan ternyata sulit untuk direalisasikan. Seharusnya obat-obat di Puskesmas sudah masuk dalam DAU. Tetapi ternyata tidak begitu, karena DAU itu ibarat kopor yang penuh uang, dan dibuka bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Di situ mereka rapat, uang mau diapakan. Kalau dalam rapat diputuskan dana sebaiknya digunakan untuk membangun lapangan bola, maka uang untuk membeli obat di puskesmas tidak ada. Akibatnya kondisi Puskesmas banyak sekali yang menyedihkan.[7]
      Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa rakyat miskin, kelaparan dan penyakit masih belum menjadi agenda utama bagi pengambil kebijakan di daerah. Bagaimana mungkin anggaran untuk membeli obat dan perbaikan layanan kesehatan digunakan untuk perbaikan lapangan sepak bola? Belum permasalahan lain termasuk  masalah korupsi  dan kepentingan politik lainnya yang membuat hak-hak rakyat dalam memenuhi dasar kehidupannya terkesampingkan.  Hal ini yang membuat rakyat mengalami eksklusi sosial. Konsep eksklusi sosial berdasarkan atas aspek ekonomi dan sosial dari kemiskinan yang memanfaatkan aspek seperti hak politik berkewarganegaraan dalam kerangka jalinan hubungan antara individu dan negara sperti juga hubungan antara masyarkat dan individu.[8]
        Kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai usia 60 tahun, tidak hanya dilihat dari banyaknya gedung-gedung bertingkat,  pusat perbelanjaan mewah, pekerja berdasi, mobil mewah dan berbagai pernak-pernik kemegahan kota yang acap kali menjadi potret kemajuan bangsa. Hasil pembangunan ekonomi hanya dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi dan tidak menyentuh kemiskinan. Banyaknya penduduk hidup dibawah garis kemiskinan Mereka yang hidup sedikit diatas garis kemiskinan-pun, seharusnya masih dikategorikan miskin. Kesenjangan pun semakin tampak dan jelas antara yang kaya dan miskin. Satu orang sangat kenyang, seribu orang sangat kelaparan. Kebijakan pemerintah yang kurang menyentuh rakyat miskin, membuat rakyat semakin tereksklusi. Kebijakan pembangunan seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan, bersifat inklusif, tidak membedakaan dan adil.
      Eksklusi Sosial menurut Byrne adalah “a multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined; participation in decision making and political process, access to employment and material resources, and material resources, and integration into common cultural process”.[9] Yakni suatu proses multidimensi  dari berbagai bentuk kombinasi eksklusi : proses partisipasi dalam pengambilan keputusan dan berpolitik, akses bagi pekerja dan sumber daya material, serta integrasi kedalam proses kultur yang ada.       
        Penduduk miskin tidak ikut dalam proses pengambilan keputusan dan berpolitik, akses bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan  dan penghasilan sulit didapat, serta tidak mampu  menyesuaikan dalam proses kultur yang ada. Dalam kultur mereka tidak ada nilai-nilai yang dianut berkenaan dengan kesehatan dan gizi yang baik untuk anak. Hal itu disebabkan karena rendahnya pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan. Tingkat pendidikan mereka yang rendah menyebabkan terpinggirkan dari pekerjaan dan mengalami kesulitan memperoleh penghasilan. Keadaan ini tentunya sulit bagi mereka untuk berpartisipasi dalam menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah setempat untuk memperoleh hak-hak layanan kesehatan. Rangkaian ini merupakan dimensi yang ada dalam Eksklusi Sosial.
      Kapasitas pemerintah dalam mempenuhi tanggungjawabnya harus dilakukan secara efektif. Perlu adanya relokasi anggaran yang adil dan bijaksana menyangkut kesejahteraan penduduk wilayah tertinggal. Sumber daya manusia  berupa penyebaran tenaga kesehatan, seperti dokter, bidan, perawat harus diupayakan secara merata. Fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan obat-obatan serta penyuluhan tentang perbaikian gizi harus sampai ke pelosok desa. Tidak boleh terkendala oleh masalah keuangan. Mereka harus mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Kemiskinan sudah cukup membuat mereka sakit.
          Ekslusi Sosial yang berkaitan dengan kesehatan dalam mengatasi gizi buruk dan busung lapar tidak saja berhubungan dengan kesehatan yang menyangkut perbaikan sarana dan fasilitias pelayanan kesehatan semata. Pendidikan sangat dibutuhkan agar dapat memutus mata rantai kemiskinan yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi  tidak normal, powerless dan termarjinalisasi. “Poor people are unhealthy becauses ill health also because it inhibits individuals from achieving autonomy, empowerment and human freedom”.[10]     
          Melalui pengendalian ekonomi dan politik yang berpihak pada kemiskinan maka  permasalahan kesehatan dapat teratasi. Bukan hanya dibutuhkan kemauan pemerintah (political will) tetapi harus ada perubahan secara sistemik bagi pembuat kebijakan yang hasilnya dapat langsung dirasakan penduduk miskin, sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan.
   


Daftar Pustaka :
1.      www.jakarta.go.id
2.      www.inilah.com

3.      Penulis: Lenny Tristia Tambun/ Muriza  Hamzah http://www.beritasatu.com/megapolitan/47588-akhir-2012-warga-jakarta-timur-bebas-banjir.html


5.      Drs H. Ma’mun Ir, Msi. Mengenal Banjir Jakarta. Referensi. Oktober 2012.

6.      Kompas, 24 Desember 2012

7.      Byrne, David. Social Exclusion. Open Uiversity Press, McGraw-Hill Education. 2005.


9.      Stamboel, Kemal A. Panggilan Keberpihakan. Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia. Gramedia 2012.

10.  Scotland in “Social Policy & Society” . 113-121  by Nigel Johnson, 2004 Cambridge University Press.

11.  Gerry Rodgers, Charles Gore, Jose B. Figueiredo. Social Exclusion : Rhetoric Reality Responses. ILO 1995.


13.  Marmot, Michael,”Harveian Ortion: Health in an Unequal World”. Lancet 368:2082 dalam Edward Royce. Poverty & Power. The Problem of Structural Inequality.Rowman & Littlefield Publisher



[1] Narasi Video Tragedi Busung Lapar. Kuliah terakhir Ekslusi Sosial .10 Desember 2012.
[2] Stamboel, Kemal A. Panggilan Keberpihakan. Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia. Gramedia 2012. Hal 24.
[3] Scotland in “Social Policy & Society” . 113-121  by Nigel Johnson, 2004 Cambridge University Press
[4] TH Marshall. Citizenship and Social Class dalam States and Society, ed by David Held. Hal  ix
[5]http://regional.kompas.com/read/2012/11/09/14471135/Pembangunan.Kesehatan.di.NTB.Cenderung.Membaik
[6] http://www.gizikia.depkes.go.id/archives/593/img_5933

[7]http://www.ppjk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=69:menkes-otonomi-daerah-tambah-persoalan-kesehatan-sumber-jpkm-online&catid=55:berita-pusat&Itemid=101

[8] Gerry Rodgers, Charles Gore, Jose B. Figueiredo. Social Exclusion : Rhetoric Reality Responses. ILO 1995. Hal 7
[9] Byrne, David. Social Exclusion. Ibid.
[10] Marmot, Michael,”Harveian Ortion: Health in an Unequal World”. Lancet 368:2082 dalam Edward Royce. Poverty & Power. The Problem of Structural Inequality.Rowman & Littlefield Publisher. hal 260.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar