60 Tahun Indonesia
merdeka, namun jutaan orang-orang tinggal di sudit-sudut kumuh perkotaan serta
pelosok pedesaan. Dengan hidup yang jauh dari layak. Kekeringan,
penyakit, kelaparan dan kematian terus mengancam. Perempuan harus menempuh
puluhan kilometer untuk mencari air dan pelayanan kesehatan. Anak-anak lumpuh
layu, perut buncit, telanjang dan cacingan. Ini bukanlah bencana alam yang tak
bisa dihindarkan. Sudah 60 tahun merdeka, namun masih 28% penduduk miskin, 40%
tanpa akses air bersih, 32% tanpa pelayanan kesehatan, 15% buta huruf. Kurang gizi, busung lapar, kemiskinan, pengangguran merenggut
nyawa anak-anak. Anak yang mati dini bukan sekedar angka statistik belaka, tetapi
berkaitan dengan hak asazi. Kematian tunas-tunas negeri. Anak kurang gizi
menanti kepastian, busung lapar tidak bisa dipulihkan, mereka mati atau tetap
hidup dengan otak kosong.[1]
Buruknya gizi anak
dapat menyebabkan busung lapar.
Tragedi
Busung Lapar bukanlah masalah kesehatan semata, tetapi berkaitan dengan
kemiskinan dan permasalahan orang-orang miskin. Tentunya membutuhkan penanganan
yang serius dari penyelenggara negara dalam hal ini pemerintah. Bagaimanapun
seseorang yang berada dalam kemiskinan, sangat sulit untuk menjadikan dirinya
sehat dan sejahtera. Ada semacam “lingkaran setan’ ketika seorang yang lahir
dari keluarga miskin, lalu tidak dapat bersekolah, sehingga tidak memiliki
pekerjaan yang memadai dan akhirnya tidak mempunyai penghasilan yang baik atau
bahkan tidak memiliki pekerjaan. Dengan kondisi tersebut dapat saja
kesehatannya menjadi terganggu dan hidupnya mengalami kesulitan dalam menjalin
hubungan dengan orang-orang yang berada di lingkungannya atau luar
lingkungannya. Bila berkeluarga, tentu dia akan mempunyai anak dengan gizi yang
rendah karena tak mampu memberikan makanan yang baik dan sehat, rumah dan
pakaian yang layak serta kesulitan membiaya sekolah anaknya, begitu seterusnya
hingga kemiskinan turun temurun dari generasi ke generasi tanpa perbaikan
hidup.
Menurut data BPS per Maret 2011
jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 30.02 juta jiwa atau 12,49% dari total
seluruh penduduk Indonesia. Angka ini belum termasuk jumlah penduduk yang nearly poor atau yang sedikit diatas garis kemiskinan,
yakni sejumlah 29,38 juta jiwa. Angka ini diambil berdasarkan pengeluaran per
kapita per bulan Rp 233,740 untuk penduduk yang rata-rata berada dalam garis
kemiskinan. Untuk yang hampir miskin, berdasarkan pengeluaran perkapita per
bulan Rp 280,488. Jumlah ini akan semakin besar
jika menggunakan ukuran yang digunakan Bank Dunia yang mematok US$ 2 per
kapita per hari. [2]
Melihat besarnya jumlah penduduk
miskin, tentunya akan menyebabkan beragam permasalahan sosial, dan bukan hanya
masalah eksistensi kehidupan dan harga diri pribadi semata, tetapi juga
persolan masyarakat, negara maupun persoalan bersama umat manusaia. Dalam
pandangan Human Right Act yang dikemukakan oleh Scotland, bahwa setiap individu
memiliki harga diri, kesamaan dan kesempatan yang sama. Nilai-nilai dasar ini
merupakan hak individu untuk mendapatkan kebutuhan dasar kehidupannya yang
menyangkut hak atas ekonomi, sosial dan budaya. [3]
Berkaitan dengan hak, TH Marshall dalam Citizenship
and Social Class membagi kewarganegaraan menjadi tiga bagian, yakni hak
sipil yang berhubungan dengan kebutuhan individu untuk kemerdekaan dan
kebebasan mengemukakan pendapat, pemikiran dan keyakinan yang merupakan bagian
dari ranah keadilan, Kedua, hak politik, yakni hak untuk berpartisipasi dalam
kegiatan politik, memilih dan dipilih, dikaitkan dengan institusi parlemen parlemen atau dewan pemerintahan.
Ketiga, hak sosial yang merupakan hak untuk mendapatkan kesejahteraan ekonomi
dan jaminan sosial untuk meraih kehidupan yang beradab merujuk pada standar
kehidupan masyarakat yang berlaku. [4]
Berkaitan dengan hak-hak warga negara, terutama pemenuhan hak sosial warga
tentunya bertujuan agar menciptakan kesejahteraan bagi setiap warga. Berkaitan
dengan hal ini, kesehatan merupakan hak dasar yang harus terpenuhi, oleh karena
itu negara bertanggungjawab dalam pemenuhan pelayanan kesehatan setiap warga
negara.
Salah satu
cita-cita Bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupang bangsa.”. Berdasarkan hal ini setiap orang
tentunya berhak mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Hal ini
diperkuat dalam salah satu pasalnya, yakni pasal 28 H ayat (1) yang menyebutkan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, pasal 31 hak setiap warga negara
untuk medapat pendidikan. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (3) ditegaskan bahwa
negara bertanggungjawab atas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.
Dengan ketentuan perundang-undangan yang ada, maka pelayanan
kesehatan merupakan hak yang harus diperoleh oleh warga, dan pemerintah
berkewajiban untuk memenuhinya. Untuk melihat fakta yang terjadi di masyarakat
berkaitan dengan kesehatan, salah satunya dapat dilihat dari data kesehatan
penduduk. Melalui Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi dan Status Gizi Anak.
Berikut ini adalah data yang diperoleh dari Provinsi Nusa Tenggara Barat: “Melihat
Pembangunan kesehatan di Nusa Tenggara Barat menunjukkan tren yang membaik,
menyusul cenderung menurunnya angka kematian bayi (AKB), angka kematian ibu
melahirkan (AKI), dan membaiknya status gizi. Kepala Dinas Kesehatan NTB M
Ismail, Jumat (9/11/2012), di Mataram, mengatakan, AKI di NTB tahun 2007 (hasil
Sensus Demografi Indonesia) sejumlah 72 per 1.000 kelahriran hidup (KH) turun
jadi 42 per 1.000 KH merujuk angka sementara Sensus Penduduk tahun 2010. Jumpa
pers dilakukan berkait Hari Kesehatan Nasional, 12 November. Kemudian, AKI ibu
juga dikatakan menurun, dari 320 per 100.000 KH (menurut estimasi Dinas
Kesetahan NTB 2007) menjadi 280,5 per 100.000 KH (2011). Status gizi buruk
juga menurun, dari 1.092 kasus (Juli 2011) menjadi 507 (Juli 2012)”.[5]
Berdasarkan data-data ini, masih banyak
kasus gizi buruk. Meski disebut
cenderung membaik atau menurun. Anak
kurang gizi bukanlah sekedar data atau angka-angka statistik semata, tapi
faktanya masih ada dan dapat dikategorikan banyak (menurun jumlahnya dari 1092
kasus menjadi 507). Jumlah 507 kasus, bukanlah jumlah yang sedikit.
Data dari Kementerian Kesehatan mengenai
kekurangan gizi pada balita diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) 2011 mengambil
tema “Gizi Seimbang Investasi Bangsa”. Menurutnya, berdasarkan hasil Riskesdas
2010 prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia angkanya sebesar 17,9
persen. Angka ini menunjukkan penurunan sejak 1990 lalu sebesar 31,0 persen.
Meski demikian, di Indonesia masih akan ditemui sekitar 3,7 juta balita
mengalami kekurangan gizi, ditambah lagi dengan anak-anak yang tergolong pendek
yang angkanya sebesar 35,7 persen.[6]
Kebijakan Kesehatan dan Ekslusi
Sosial.
Tingginya kasus gizi buruk adalah
bukti adanya ketidakadilan dan ketimpangan. Belum terpenuhinya
hak dasar warga untuk mendapatkan layanan kesehatan. Kemsikinan dan kesenjangan
ekonomi menjadi faktor buruknya taraf kehidupan di wilayah tertentu di
Indonesia, antara lain NTB, NTT dan Papua. Wilayah lain di Indonesia tentu
masih dapat ditemui beberapa kasus kurang gizi dan busung lapar. Hal ini
menunjukkan adanya ketimpangan dan pembangunan yang bias perkotaan dan provinsi
lain di Pulau Jawa. Kebijakan otonomi daerah membuat beberapa wilayah mengalami
ketimpangan ekonomi. Alokasi anggaran dari pemerintah pusat tidak dapat dijadikan
andalan untuk memperbaiki taraf kehidupan sosial ekonomi penduduk terutama di
kawasan Indonesia Tengah dan Timur juga berbagai kendala lain yang berkaitan
dengan otonomi.
Masalah otonomi daerah membuat
kekisruhan anggaran dalam membiaya kesehatan penduduk. Berikut ini menurut Menteri Kesehatan Siti
Fadilah Supari dalam diskusi kesehatan bertema menuju "Indonesia Sehat
2010" di Jakarta : “Otonomi daerah
membawa pengaruh yang sangat besar dalam menambah persoalan di bidang
kesehatan. Misalnya di suatu daerah angka kolera masih tinggi. Ketika petugas
kesehatan menilai, infus kurang dan bermaksud meminta infus ke pusat, biasanya
mereka dilarang oleh pemerintah daerah. Akhirnya seharusnya hanya jatuh korban
9 orang, berkembang menjadi 47 orang. Persoalan otonomi juga telah
berdampak pada alokasi dana kesehatan. Sebagai contoh, Dana Alokasi Umum (DAU)
yang di dalamnya sudah memasukkan anggaran kesehatan ternyata sulit untuk
direalisasikan. Seharusnya obat-obat di Puskesmas sudah masuk dalam DAU. Tetapi
ternyata tidak begitu, karena DAU itu ibarat kopor yang penuh uang, dan dibuka
bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Di situ mereka rapat, uang mau
diapakan. Kalau dalam rapat diputuskan dana sebaiknya digunakan untuk membangun
lapangan bola, maka uang untuk membeli obat di puskesmas tidak ada. Akibatnya
kondisi Puskesmas banyak sekali yang menyedihkan.[7]
Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa rakyat
miskin, kelaparan dan penyakit masih belum menjadi agenda utama bagi pengambil
kebijakan di daerah. Bagaimana mungkin anggaran untuk membeli obat dan
perbaikan layanan kesehatan digunakan untuk perbaikan lapangan sepak bola?
Belum permasalahan lain termasuk masalah
korupsi dan kepentingan politik lainnya
yang membuat hak-hak rakyat dalam memenuhi dasar kehidupannya
terkesampingkan. Hal ini yang membuat
rakyat mengalami eksklusi sosial. Konsep eksklusi sosial berdasarkan atas aspek
ekonomi dan sosial dari kemiskinan yang memanfaatkan aspek seperti hak politik
berkewarganegaraan dalam kerangka jalinan hubungan antara individu dan negara
sperti juga hubungan antara masyarkat dan individu.[8]
Kemerdekaan Indonesia yang sudah
mencapai usia 60 tahun, tidak hanya dilihat dari banyaknya gedung-gedung
bertingkat, pusat perbelanjaan mewah,
pekerja berdasi, mobil mewah dan berbagai pernak-pernik kemegahan kota yang
acap kali menjadi potret kemajuan bangsa. Hasil pembangunan ekonomi hanya
dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi dan tidak menyentuh kemiskinan. Banyaknya
penduduk hidup dibawah garis kemiskinan Mereka yang hidup sedikit diatas garis
kemiskinan-pun, seharusnya masih dikategorikan miskin. Kesenjangan pun semakin
tampak dan jelas antara yang kaya dan miskin. Satu orang sangat kenyang, seribu
orang sangat kelaparan. Kebijakan pemerintah yang kurang menyentuh rakyat
miskin, membuat rakyat semakin tereksklusi. Kebijakan pembangunan seharusnya
bertujuan untuk kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan, bersifat inklusif,
tidak membedakaan dan adil.
Eksklusi
Sosial menurut Byrne adalah “a multi-dimensional
process, in which various forms of exclusion are combined; participation in
decision making and political process, access to employment and material
resources, and material resources, and integration into common cultural
process”.[9]
Yakni suatu proses multidimensi dari
berbagai bentuk kombinasi eksklusi : proses partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan berpolitik, akses bagi pekerja dan sumber daya material, serta
integrasi kedalam proses kultur yang ada.
Penduduk miskin tidak ikut dalam
proses pengambilan keputusan dan berpolitik, akses bagi mereka untuk memperoleh
pekerjaan dan penghasilan sulit didapat,
serta tidak mampu menyesuaikan dalam
proses kultur yang ada. Dalam kultur mereka tidak ada nilai-nilai yang dianut
berkenaan dengan kesehatan dan gizi yang baik untuk anak. Hal itu disebabkan
karena rendahnya pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan. Tingkat
pendidikan mereka yang rendah menyebabkan terpinggirkan dari pekerjaan dan
mengalami kesulitan memperoleh penghasilan. Keadaan ini tentunya sulit bagi
mereka untuk berpartisipasi dalam menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah
setempat untuk memperoleh hak-hak layanan kesehatan. Rangkaian ini merupakan
dimensi yang ada dalam Eksklusi Sosial.
Kapasitas
pemerintah dalam mempenuhi tanggungjawabnya harus dilakukan secara efektif.
Perlu adanya relokasi anggaran yang adil dan bijaksana menyangkut kesejahteraan
penduduk wilayah tertinggal. Sumber daya manusia berupa penyebaran tenaga kesehatan, seperti
dokter, bidan, perawat harus diupayakan secara merata. Fasilitas kesehatan
seperti puskesmas dan obat-obatan serta penyuluhan tentang perbaikian gizi
harus sampai ke pelosok desa. Tidak boleh terkendala oleh masalah keuangan.
Mereka harus mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Kemiskinan sudah
cukup membuat mereka sakit.
Ekslusi Sosial yang berkaitan dengan kesehatan
dalam mengatasi gizi buruk dan busung lapar tidak saja berhubungan dengan
kesehatan yang menyangkut perbaikan sarana dan fasilitias pelayanan kesehatan
semata. Pendidikan sangat dibutuhkan agar dapat memutus mata rantai kemiskinan
yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi
tidak normal, powerless dan
termarjinalisasi. “Poor people are
unhealthy becauses ill health also because it inhibits individuals from
achieving autonomy, empowerment and human freedom”.[10]
Melalui
pengendalian ekonomi dan politik yang berpihak pada kemiskinan maka permasalahan kesehatan dapat teratasi. Bukan
hanya dibutuhkan kemauan pemerintah (political
will) tetapi harus ada perubahan secara sistemik bagi pembuat kebijakan
yang hasilnya dapat langsung dirasakan penduduk miskin, sehingga tercipta
keadilan dan kesejahteraan.
Daftar Pustaka :
3. Penulis: Lenny Tristia Tambun/ Muriza Hamzah http://www.beritasatu.com/megapolitan/47588-akhir-2012-warga-jakarta-timur-bebas-banjir.html
5.
Drs
H. Ma’mun Ir, Msi. Mengenal Banjir Jakarta. Referensi. Oktober 2012.
6.
Kompas,
24 Desember 2012
7.
Byrne,
David. Social Exclusion. Open Uiversity Press, McGraw-Hill Education. 2005.
9.
Stamboel,
Kemal A. Panggilan Keberpihakan. Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia.
Gramedia 2012.
10. Scotland in
“Social Policy & Society” . 113-121
by Nigel Johnson, 2004 Cambridge University Press.
11. Gerry Rodgers,
Charles Gore, Jose B. Figueiredo. Social Exclusion : Rhetoric Reality
Responses. ILO 1995.
13. Marmot,
Michael,”Harveian Ortion: Health in an Unequal World”. Lancet 368:2082 dalam
Edward Royce. Poverty & Power. The Problem of Structural Inequality.Rowman
& Littlefield Publisher
[2] Stamboel, Kemal A. Panggilan
Keberpihakan. Strategi Mengakhiri Kemiskinan di Indonesia. Gramedia 2012. Hal
24.
[3] Scotland in “Social Policy &
Society” . 113-121 by Nigel Johnson,
2004 Cambridge University Press
[4] TH Marshall. Citizenship and
Social Class dalam States and Society, ed by David Held. Hal ix
[5]http://regional.kompas.com/read/2012/11/09/14471135/Pembangunan.Kesehatan.di.NTB.Cenderung.Membaik
[7]http://www.ppjk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=69:menkes-otonomi-daerah-tambah-persoalan-kesehatan-sumber-jpkm-online&catid=55:berita-pusat&Itemid=101
[8] Gerry Rodgers, Charles Gore,
Jose B. Figueiredo. Social Exclusion : Rhetoric Reality Responses. ILO 1995.
Hal 7
[9] Byrne, David. Social Exclusion.
Ibid.
[10]
Marmot, Michael,”Harveian
Ortion: Health in an Unequal World”. Lancet 368:2082 dalam Edward Royce.
Poverty & Power. The Problem of Structural Inequality.Rowman &
Littlefield Publisher. hal 260.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar