Pembangunan Sosial Jakarta
Berdasarkan Perspektif Sosiologi
Makna
Pembangunan Sosial
Pembangunan
seringkali diartikan pertumbuhan yang bermakna material. Dan senantiasa
dihubungkan dengan ekonomi atau pertumbuhan (growth oriented). Namun sebenarnya
pembangunan harus memberikan hasil yang dapat dirasakan oleh semua
sehingga tidak merugikan orang atau
pihak lain, karena berhasil membangun harkat martabat manusia. Pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
semata mengabaikan hakekat manusia yang direduksi menjadi obyek atau materi,
bukan menjadi subyek dari pembangunan. Seharusnya manusia sebagai orientasi
pembangunan, sehingga dinamakan pembangunan yang berorientasi pada manusia.
Manusia diberikan kesempatan untuk mengekspresikan kepentingan dan kebutuhannya
yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan yang bersifat sosial dengan
tujuan utama adalah Human Development.
Hal ini merupakan paradigma pembangunan yang disebut sebagai pembangunan yang
berpusat pada manusia (people centred development).
Ciri pembangunan yang berpusat pada manusia
adalah manusia sebagai tujuan akhir dari aktivitas pembangunan dan bukan hanya
sebagai alat. Sehingga apapun yang dihasilkan dari pembangunan yang bersifat
fisik, harus menghasilkan pembangunan manusia (human development), yang dicapai
melaui alat ukur, salah satunya yaitu Human
Development Index yang mengukur lama hidup, pengetahuan dan standar hidup
yang layak. Terdiri dari : angka harapan hidup, angka melek huruf, daya beli,
rata-rata lama bersekolah, pemerataan pendapatan dan ketimpangan jender.[1]
Berbagai ukuran dibuat untuk menilai hasil
dari pembangunan yang berorientasi pada manusia, antara lain Human Happiness
Index, Human Poverty Index atau Better Life Index. Yang intinya adalah untuk
mengukur hasil pembangunan yang dapat memberikan secercah harapan manusia untuk
mengubah nasibnya, baik secara meteri maupun rohaniah untuk menjadi lebih baik.
Baru-baru
ini dirilis hasil penelitian dari lembaga riset Galllup mengenai negara-negara
dengan penduduk beremosi paling positif sedunia yang berhasil mewawancarai
hampir 150.000 responden di 148 negara di dunia. Untuk melihat penduduk dari
negara mana yang memiliki emosi paling positif. Hasilnya didominasi oleh warga
yang berasal dari Amerika Latin. Warga Panama merupakan warga yang tertinggi emosi
positifnya, sedangkan Singapura dengan segala kelimpahan materi, justru
tercatat sebagai orang paling tidak bahagia di dunia. Emosi positif itu
diperoleh karena mereka bahagia dapat berkumpul dengan keluarga, senang-senang
bersama, berdoa bersama. Sedangkan Warga Singapura merasakan hidupnya banyak
tekanan untuk tampil sesuai harapan (orang lain) dan mematuhi semua norma yang
berlaku, sampai-sampai mengesampingkan kebahagiaan pribadi. Ekspresi mereka
merupakan realitas yang ada yang berhasil dikuantifikasi.
Beberapa
negara maju kini mulai menerapkan acuan baru untuk menilai keberhasilan
pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Mereka menamakan “ekonomi kebahagiaan”
yang menambahkan faktor persepsi masyarakat diluar sejumlah standar
kuantitatif, seperti usia harapan hidup, pendapatan perkapita dan tingkat
kelulusan sekolah. Seperti survei program kesejahteraan rakyat di Inggris yang
diluncurkan oleh Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Salah satu pertanyaan
dalam survei itu adalah “seberapa puaskah anda dengan hidup anda saat ini?[2]
Berdasarkan hal ini, maka pembangunan
dapat dilihat sebagai perluasan pilihan bagi manusia. Oleh sebab itu, orang
harus memiliki kesempatan memperoleh waktu luang, aktif dalam kehidupan budaya,
sosial dan politik. Semuanya harus seimbang.
Dengan
kata lain, human development adalah Development of the People, yakni pembangunan
hakekat dan martabat manusia seperti pendidikan, kesehatan, agama, Development for the People yaitu kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, terutama
lapangan kerja dan kesempatan ikut dalam pembangunan terutama hak-hak politik.[3]
Pembangunan yang berpusat pada rakyat diharapkan akan menciptakan keseimbangan
antara pembangunan aspek ekonomi dengan aspek sosial budaya. Pengertian ini bukan
sekedar pembangunan sektor sosial budaya semata seperti sektor pendidikan,
sektor kesehatan atau sektor agama tetapi ada karakteristik nilai yang
mendasari pembangunan. Sebagai contoh,
pembangunan kesehatan, artinya bukan berapa banyak rumah sakit atau fasilitas
kesehatan yang tersedia, melainkan bagaimana budaya sehat masyarakat atau
bagaimana masyarakat turut berpartisipasi dalam menanggulangi penyakit.
Demikian juga dengan pembangunan pendidikan, bukan hanya dilihat dari dari
bantuan operasional sekolah atau pembangunan gedung sekolah, melainkan berapa
banyak sekolah menghasilkan lulusan yang berkualitas? Dan berapa banyak
lulusannya menciptakan lapangan pekerjaan?
Dan sebagainya. Intinya adalah ada nilai kemandirian, keadilan dan kerukunan.
Tujuan pembangunan sosial budaya menurut batasan yang
diberikan oleh Badan Pusat Statistik adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat
yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat
serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Sasaran umum
yang akan dicapai antara lain meningkatnya ketahanan sosial dan budaya,
meningkatnya kedudukan dan peranan perempuan, meningkatnya partisipasi aktif
pemuda, serta meningkatnya pembudayaan dan prestasi olahraga.[4]
Pembangunan Sosial
di Jakarta
Berdasarkan Visi pembangunan sosial Jakarta, yakni : Rencana
Pembangunan jangka panjang Jakarta adalah: “Menjadikan Jakarta sederajat dengan
kota-kota besar lain di dunia dan dihuni oleh penduduk yang sejahtera”. Ada dua
makna penting dalam perumusan ini, yaitu: (1) Sederajat dengan kota-kota besar
lain di dunia. Ini berarti kota Jakarta harus mampu memenuhi standar kota dunia
baik dari segi fisik maupun peradaban. Dalam hal ini Jakarta harus selalu
menyejajarkan diri dengan kota-kota dunia termasuk dalam usaha mencari pola
peradaban kota yang lebih ideal dimasa depan. (2) Penduduk yang sejahtera. Ini
menunjukkan kesadaran bahwa kemakmuran fisik dan ekonomi semata belum cukup.
Cita-cita kota yang tertinggi adalah kesejahteraan, yaitu suatu kondisi di mana
ada keseimbangan ideal antara aspek lahiriah dan batiniah.[5]
Pembangunan Mal di Jakarta. Pembangunan
di Jakarta selama beberapa tahun terakhir lebih didominasi pada pembangunan pusat belanja atau mal yang jumlahnya semakin bertambah
banyak dan pertumbuhannya seperti tak terkendalikan. Banyak kawasan yang semula
tidak direncanakan menjadi kawasan bisnis harus beralih fungsi menjadi kawasan
komersil. Menurut Planolog Universitas
Trisakti, Yayat Supriatna, mal yang ada di Jakarta sudah melebihi batas ideal.
Hal ini membuat Jakarta menjadi kota dengan mal terbanyak di dunia. Jumlahnya pusat belanja yang ada di Jakarta mencapai
170 lebih dan telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya. Seharusnya ada skala untuk mengatur agar jumlah mal tidak
tumbuh dengan sangat pesat meski atas nama globalisasi dan perdagangan
internasional [6].
Masyarakat Jakarta kerap menjadikan mal sebagai tempat
untuk menghilangkan rasa stres sehingga sudah menjadi bagian dari gaya hidup
sebagian penduduk kota Jakarta untuk tempat hiburan bagi diri dan keluarga. Hal
ini membuat pengembang terus berencana mewujudkan keinginannya untuk membangun
pusat belanja yang memiliki banyak fungsi. Tidak
sekedar belanja, ada sarana olahraga, hiburan, dan banyak kebutuhan lain yang
memenuhi segala kebutuhan warga.
Lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai taman kota semakin lama semakin
berkurang, sehingga kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air dan
ruang terbuka hijau berubah menjadi kawasan bisnis. Penyebab utama invasi
kawasan hijau menjadi kawasan komersil, bersumber dari penegakan tata ruang
wilayah di DKI Jakarta yang sangat longgar. Data
dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan
bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka
hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter
kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang
terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian
(run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan [7]
Pengambilan
air tanah secara besar-besaran ditambah beban pembangunan yang tak terkendali
di Jakarta telah menyebabkan penurunan
permukaan tanah dalam setiap tahunnya.
Sehingga potensi banjir di Jakarta akan semakin besar seiring dengan
bertambahnya pusat perbelanjaan baru di kota ini. Disamping
itu, penambahan kawasan komersial baru semakin menambah kemacetan lalu lintas
di Jakarta. Karena pengunjung dari pusat perbelanjaan itu sebagian besar adalah
konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini bukan
hanya akan mengurangi waktu produktif warga Jakarta dan memperburuk polusi
udara yang ditimbulkan asap kendaraan bermotor. Banjir, macet dan polusi udara
merupakan masalah yang terjadi akbibat pembangunan yang tak memperhatikan tata ruang.
Bukan hanya masalah lingkungan, tetapi
berbagai masalah sosial lainnya saling berkaitan. Pertumbuhan mal tanpa diikuti
sarana dan fasilitas untuk penduduk kalangan tidak mampu akan membuat semakin
terciptanya kesenjangan sosial. Mereka kelompok yang mengalami Eksklusi sosial,
tersingkirkan dari pembangunan. Mereka tidak mampu berbelanja di mal, bahkan untuk masuk mereka
tidak berani. Dengan pakaian kumal, dan alas kaki ‘butut’ mengunjungi mal
membuatnya dicurigai oleh petugas keamanan gedung. Akhirnya mereka tidak
berani. Kehilangan akses untuk turut menikmati
fasilitas adalah suatu keadaan yang dinamakan deprivasi sosial. Penduduk miskin merupakan kelompok yang
terksklusi dan mengalami deprivasi.
Pembangunan mal di Jakarta tidak
memperhatikan kelompok orang-orang yang mengalami eksklusi dan deprivasi
sosial. Taman kota sebagai fasilitas
umum jumlahnya sangat sedikit, dan lokasinya mungkin terlalu jauh dari tempat
tinggal mereka yang hidup di sudut-sudut kumuh kota Jakarta. Jadilah mereka
bermain di gang sempit, atau di pinggir jalan. Bahkan anak-anak mereka terbiasa
hidup sebagai anak-anak jalanan. Pembangunan di Jakarta selama beberapa periode
hampir tidak pernah berorientasi pada pembangunan sosial budaya. Sebagai
contoh, jumlah balai rakyat yang ada di Jakarta. Berapa banyak pertumbuhannya?
Sejak jaman Gubernur Ali Sadikin, tidak ada penambahan gedung Balai Rakyat.
Padahal balai rakyat sebagai sarana youth
center bagi anak anak dalam menyalurkan bakatnya baik seni, oleh raga dan
aktivitas positif lainnya.
Kawasan kumuh tidak pernah tersentuh,
dibalik gedung-gedung megah, dibelakang kompleks perumahan, di bantaran kali
dan dipinggir rel kereta tidak pernah mendapat perhatian. Sehingga dapat memicu
terjadi tindak kriminalitas, tawuran dan perdagangan narkoba dsb. Kesemua ini
adalah permasalahan sosial yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau
mereka bukan warga DKI, apakah solusinya mereka harus digusur? Dan bila
digusur, apakah bisa dilakukan dengan baik? Karena pastinya ada konflik
pertentangan dan bahkan timbul aksi kekerasan.
Rancangan
Pembangunan Sosial Jakarta
Bila melihat visi pembangunan Jakarta seperti
yang dikemukan sebelumnya yakni visi pertama menjadikan Jakarta sederajat
dengan kota-kota besar lain di dunia dan dihuni oleh penduduk yang sejahtera
maka terlihat bahwa pembangunan yang diutamakan adalah pembangunan fisik. Lalu
apakah penduduknya sejahtera? Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat
sejauh mana pembangunan Jakarta dan keterkaitannya dengan kesejahteraan
penduduk. Namun sejatinya pembangun fisik harus diikuti oleh pembangunan sosial
untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan sosial yang dimaksud disini adalah
pembangunan yang menyentuh aspek kehidupan sosial budaya (Socio-Cultural Life). Input uang, output bukan uang. Pembangun ini
antara lain meliputi pembangunan Kesehatan, Pendidikan dan Agama. Sebagai
contoh, untuk pembangunan kesehatan, hasilnya terlihat dari penduduk yang memahami
arti pentingnya kesehatan dan memiliki budaya hidup sehat. Pembangunan
pendidikan menghasilkan penduduk yang kreatif dan dapat menciptakan lapangan
pekerjaan, atau pembangunan agama
menghasilkan orang-orang shaleh.
Struktur Sosial
Pembangunan
Sosial harus dapat membangun masyarakatnya melalui pembangunan sosial budaya. Berdasarkan
contoh pembangunan mal di Jakarta dan berkurangnya lahan hijau (taman) untuk
penduduk, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yakni Struktur Sosial, Kultur dan Proses Sosial.[8]
Struktur Sosial adalah pola relasi (dalam hubungannnya dengan relasi kekuasaan)
yang bersifat koersif, imperatif dan memiliki dominasi kekuasaan. Kekuasaan
struktur sosial berwujud legal-formal yang diinstitusionalisasikan. Kekuasaan
ini dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui undang-undang yang
mengatur tata ruang kota. Rancangan undang-undang tata ruang DKI Jakarta
mengatur proporsi bangunan dan lahan terbuka yang seharus seimbang dan proporsional.
Undang-undang memiliki kekuatan yang dapat memaksa dan medesak semua pihak agar
patuh pada peraturan yang telah ditetapkan. Namun, kenyataannya pemerintah
provinsi lebih mementingkan pembangunan ekonomi dan l ebih mengikuti desakan pelaku ekonomi (pengusaha) untuk membangun mal di Jakarta sehingga
jumlahnya sudah tak terkendali. Dengan
pertumbuhan fisik berupa pendirian mal yang begitu pesat, tampaknya
legal-formal berupa undang-undang Tata Ruang pemerintah DKI tidak memiliki power yang kuat untuk mendesak
pihak-pihak yang berkepentingan. Peraturan tersebut tidak
terinstitusionalisasi, begitu longgar dan fleksibel. Harus ada ketegasan dari
Pemrov DKI untuk menerapkan kebijakan tata ruang yang memiliki keberpihakan
kepada rakyat (human centered).
Kultur
Pembangunan juga harus memperhatikan Kultur, yang
didalam sistem sosial berupa nilai, norma, kepercayaan atau kebiasaan yan sudah
mentradisi dan terinternalisasi dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ada
kultur orang Indonesia yang sebenarnya sudah mulai dilupakan, yakni gotong
royong, misalnya menjaga keamanan dan ketertiban bersama, bila ada yang susah
atau berduka, saling memberi bantuan. Koentjoroningrat mengartikan gotong
royong sebagai kerja sama diantara anggota-anggota suatu komuniti. [9]
Nilai-nilai ini mulai luntur seiring dengan pertumbuhan fisik pembangunan kota.
Sikap tenggang rasa, solidaritas atau “tepo
seliro” juga perlahan mulai ditinggalkan. Kesibukan dan ‘kerasnya’ hidup di
Jakarta menjadikan saling tidak peduli sehingga melemahnya ikatan sosial.
Padahal nilai-nilai ini dapat membuat integrasi sosial di antara penduduk
semakin kuat. Bila integrasi sosial melemah, maka akan memunculkan konflik
sehingga sering memicu tawuran atau
tindak kekerasan. Sejatinya pembangunan harus memperhatikan kohesi masyarakat.
Bila di suatu tempat banyak terdapat anak-anak
putus sekolah atau sering terjadi tawuran maka salah satu alternatif
penyelesaiannya adalah dengan membangun fasilitias yang dapat memberikan
kepercayaan dan kemandiran pada penduduk. Pembangunan sanggar, pembentukan
komunitas seni, penyediaan sarana olah raga dan memfsilitasi berbagai aktivitas
positif lainnya harus dibuat termasuk pendirian taman disekitar pemukiman untuk
tempat berkumpul dan saling bertegur sapa. Taman berfungsi untuk meningkatkan
rasa kebersamaan diantara penduduk, terutama yang tinggal di kawasan padat
penduduk. Randal Collins seorang sosiolog ternama mengatakan bahwa pertanyaan
mendasar sosiologi bukanlah mengapa masyarakat terbentuk, tetapi setelah
masyarakat terbentuk, apa yang membuat orang-orang tetap terikat didalamnya.
Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya konsep intergrasi sosial[10].
Pembangunan sarana dan fasilitias yang dapat menciptakan rasa kebersamaan dapat meningkatkan integrasi sosial.
Proses
Sosial
Proses Sosial merupakan interaksi dinamis hari
demi hari yang bersifat informal antar anggota masyarakat. Individu maupun
kelompok dapat secara bebas mengekspresikan aspirasinya secara dinamis dan
kreatif. Kemudian arena ini dapat menjadi lebih eksis dan negotiate dalam membuat suatu perubahan, sehingga dapat terwujud
tatanan sosial yang baru. Pembangunan proses sosial berarti memperluas
kesempatan orang-orang untuk memperoleh public
space dan dan public sphere sesuai
dengan hak asazi manusia untuk kebebasan
berekspresi.[11] Bila
dalam kultur seperti yang dikemukakan diatas, bahwa pembangunan dari aspek
kultur membutuhkan sarana untuk berkumpul untuk mewujudkan integrasi sosial,
maka didalamnya terdapat proses sosial, saling interaksi dan diskusi untuk
mewujudkan perubahan yang diinginkan. Ketiga aspek pembangunan, baik struktur,
kultur maupun proses tidak terpisah, melainkan saling terkait satu sama lain, saling mendukung dan melekat.
Pembangunan Jakarta dapat dilihat dari Perspektif
Struktural Fungsional bahwa masyarakat dapat dianalogikan sebagai organisme
biologis. Analogi ini dilatar belakangi oleh pandangan bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling terkait dalam satu pola
keteraturan dan memiliki fungsi yang khas serta saling tergantung secara
fungsional satu sama lain. Setiap unsur berfungsi bukan demi kepentingannya
sendiri tetapi demi keberlangsungan hidup dari sistem (survival of the system)[12].
Perspektif fungsionalisme ini memberikan penjelasan bagaimana kohesinya suatu
masyarakat yang membentuk satu pola yang saling tergantung satu sama lain.
Keterikatan ini harus selalu terjaga agar tercipta keseimbangan. Untuk itu
dibutuhkan nilai, norma dan moral sebagai bagian dari kultur untuk membangun dan memelihara kohesi.
Perspektif fungsionalisme didasarkan pada asumsi
bahwa bahwa masyarakat bersifat stabil sesuai sistem tatanan. Kestabilan sistem ini dikarakteristikan oleh
konsensus bersama sebagai anggota masyarakat berdasarkan nilai-nilai,
kepercayaan dan perilaku yang diharapkan.[13]
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari struktur mengeluarkan
undang-undang atau peraturan sebagai legal-formal yang harus disepakati untuk
terciptanya keteraturan. Rancangan Undang-undang Tata Ruang DKI Jakarta
merupakan ketentuan hukum yang mengatur peruntukan lahan yang akan dibangun.
Bila ketentuan ini dilanggar maka akan mengubah tatanan sosial yang ada.
Berbagai masalah terjadi, seperti banjir, kemacetan serta berbagai masalah
sosial yang memicu keretakan, seperti konflik, tawuran, tindak kejahatan dan
sebagainya. Permasalahan didalam struktur sosial menyebabkan terjadinya Anomie, seperti yang dikemukakan oleh
Weber, yakni suatu kondisi dimana pengawasan sosial menjadi tidak efektif
karena kehilangan nilai yang disepakati bersama.[14]
Nilai, norma dan moral yang disepakati bersama sebagai unsur yang ada dalam
kultur (antara lain gotong royong, solidaritas, tenggang rasa, nilai kejujuran,
nilai tanggung jawab dll) tidak berfungsi dengan baik. Adanya penyimpangan
terhadap undang-undang tata ruang kurang mendapat tanggapan melalui proses sosial yang baik. Interaksi
didalam masyarakat dan power relation
antara pemerintah dengan warga kurang berjalan sesuai fungsinya. Ada hak-hak
yang terabaikan dan hal tersebut berlangsung terus sehingga menimbulkan
ketidakteraturan dalam pembangunan. Berharap agar gubernur yang baru terpilih,
Joko Widodo dapat membenahi pembangunan sosial budaya sesuai dengan visi
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, agar Jakarta sederajat dengan kota-kota lain
di dunia dan (juga) penduduknya hidup sejahtera.
Sumber :
1. Paulus Wirutomo. Pembangunan Sosial Budaya. Diktat
Mata Kuliah Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan.
2. Kompas, Minggu 23 Desember 2012. Hal 10.
5.
Viva
News.com 20 Juli 2010
6.
BPLHD DKI Jakarta, 2007
7.
Koentjaraningrat.
Masalah-masalah Pembangunan. LP3ES
8. Paulus Wirutomo Dkk. Sistem Sosial Indonesia.
Lab Sosio-UI Press 2012
9. Paulus Wirutomo.
Social Development Policies on Informal Sector. Diktat Kuliah Kebijakan Sosial
10. Diana Kendall.
Sociology in Our Times.Thomson Wadsworth. 2008
[1]
Wirutomo, Paulus. Pembangunan Sosial Budaya. Diktat Mata Kuliah Perspektif
Sosiologi dalam Pembangunan. Hal.4.
[2]
Kompas, Minggu 23 Desember 2012. Hal 10.
[3]
Wirutomo,Paulus. Ibid.
[7]
BPLHD
DKI Jakarta, 2007
[8]
Struktur Sosial, Kultur dan Proses Sosial, merupakan materi kuliah dalam
“Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan” oleh Palus Wirutomo.
[9]
Koentjaraningrat. Masalah-masalah Pembangunan. LP3ES hal 130
[10]
Wirutomo, Paulus dkk. Sistem Sosial Indonesia. UI Press 2012. Hal 1.
[11]
Wirutomo, Paulus. Social Development Policies on Informal Sector. Diktat Kuliah
Kebijakan Sosial. Hal 96.
[12]
Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Op cit. Hal 10.
[13]
Kendall, Diana. Sociology in Our Times.Thomson Wadsworth. Hal 23.
[14]
Ibid. Hal 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar