Jumat, 18 Januari 2013

Pembangunan Sosial Jakarta Berdasarkan Perspektif Sosiologi


Pembangunan Sosial Jakarta
Berdasarkan Perspektif Sosiologi



Makna Pembangunan Sosial
Pembangunan seringkali diartikan pertumbuhan yang bermakna material. Dan senantiasa dihubungkan dengan ekonomi atau pertumbuhan (growth oriented). Namun sebenarnya pembangunan harus memberikan hasil yang dapat dirasakan oleh semua sehingga  tidak merugikan orang atau pihak lain, karena berhasil membangun harkat martabat manusia. Pembangunan yang berorientasi  pada pertumbuhan ekonomi semata mengabaikan hakekat manusia yang direduksi menjadi obyek atau materi, bukan menjadi subyek dari pembangunan. Seharusnya manusia sebagai orientasi pembangunan, sehingga dinamakan pembangunan yang berorientasi pada manusia. Manusia diberikan kesempatan untuk mengekspresikan kepentingan dan kebutuhannya yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan yang bersifat sosial dengan tujuan utama adalah Human Development. Hal ini merupakan paradigma pembangunan yang disebut sebagai pembangunan yang berpusat pada manusia (people centred development).

 Ciri pembangunan yang berpusat pada manusia adalah manusia sebagai tujuan akhir dari aktivitas pembangunan dan bukan hanya sebagai alat. Sehingga apapun yang dihasilkan dari pembangunan yang bersifat fisik, harus menghasilkan pembangunan manusia (human development), yang dicapai melaui alat ukur, salah satunya yaitu Human Development Index yang mengukur lama hidup, pengetahuan dan standar hidup yang layak. Terdiri dari : angka harapan hidup, angka melek huruf, daya beli, rata-rata lama bersekolah, pemerataan pendapatan dan ketimpangan jender.[1]

 Berbagai ukuran dibuat untuk menilai hasil dari pembangunan yang berorientasi pada manusia, antara lain Human Happiness Index, Human Poverty Index atau Better Life Index. Yang intinya adalah untuk mengukur hasil pembangunan yang dapat memberikan secercah harapan manusia untuk mengubah nasibnya, baik secara meteri maupun rohaniah untuk menjadi lebih baik.
Baru-baru ini dirilis hasil penelitian dari lembaga riset Galllup mengenai negara-negara dengan penduduk beremosi paling positif sedunia yang berhasil mewawancarai hampir 150.000 responden di 148 negara di dunia. Untuk melihat penduduk dari negara mana yang memiliki emosi paling positif. Hasilnya didominasi oleh warga yang berasal dari Amerika Latin. Warga Panama merupakan warga yang tertinggi emosi positifnya, sedangkan Singapura dengan segala kelimpahan materi, justru tercatat sebagai orang paling tidak bahagia di dunia. Emosi positif itu diperoleh karena mereka bahagia dapat berkumpul dengan keluarga, senang-senang bersama, berdoa bersama. Sedangkan Warga Singapura merasakan hidupnya banyak tekanan untuk tampil sesuai harapan (orang lain) dan mematuhi semua norma yang berlaku, sampai-sampai mengesampingkan kebahagiaan pribadi. Ekspresi mereka merupakan realitas yang ada yang berhasil dikuantifikasi.
Beberapa negara maju kini mulai menerapkan acuan baru untuk menilai keberhasilan pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Mereka menamakan “ekonomi kebahagiaan” yang menambahkan faktor persepsi masyarakat diluar sejumlah standar kuantitatif, seperti usia harapan hidup, pendapatan perkapita dan tingkat kelulusan sekolah. Seperti survei program kesejahteraan rakyat di Inggris yang diluncurkan oleh Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Salah satu pertanyaan dalam survei itu adalah “seberapa puaskah anda dengan hidup anda saat ini?[2]  Berdasarkan hal ini, maka pembangunan dapat dilihat sebagai perluasan pilihan bagi manusia. Oleh sebab itu, orang harus memiliki kesempatan memperoleh waktu luang, aktif dalam kehidupan budaya, sosial dan politik. Semuanya harus seimbang.

Dengan kata lain, human development adalah Development of the People, yakni pembangunan hakekat dan martabat manusia seperti pendidikan, kesehatan, agama, Development for the People yaitu kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, terutama lapangan kerja dan kesempatan ikut dalam pembangunan terutama hak-hak politik.[3] Pembangunan yang berpusat pada rakyat diharapkan akan menciptakan keseimbangan antara pembangunan aspek ekonomi dengan aspek sosial budaya. Pengertian ini bukan sekedar pembangunan sektor sosial budaya semata seperti sektor pendidikan, sektor kesehatan atau sektor agama tetapi ada karakteristik nilai yang mendasari pembangunan.  Sebagai contoh, pembangunan kesehatan, artinya bukan berapa banyak rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang tersedia, melainkan bagaimana budaya sehat masyarakat atau bagaimana masyarakat turut berpartisipasi dalam menanggulangi penyakit. Demikian juga dengan pembangunan pendidikan, bukan hanya dilihat dari dari bantuan operasional sekolah atau pembangunan gedung sekolah, melainkan berapa banyak sekolah menghasilkan lulusan yang berkualitas? Dan berapa banyak lulusannya menciptakan lapangan pekerjaan?  Dan sebagainya. Intinya adalah ada nilai kemandirian, keadilan dan kerukunan.  

Tujuan pembangunan sosial budaya menurut batasan yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Sasaran umum yang akan dicapai antara lain meningkatnya ketahanan sosial dan budaya, meningkatnya kedudukan dan peranan perempuan, meningkatnya partisipasi aktif pemuda, serta meningkatnya pembudayaan dan prestasi olahraga.[4]

Pembangunan Sosial di Jakarta
Berdasarkan Visi pembangunan sosial Jakarta, yakni : Rencana Pembangunan jangka panjang Jakarta adalah: “Menjadikan Jakarta sederajat dengan kota-kota besar lain di dunia dan dihuni oleh penduduk yang sejahtera”. Ada dua makna penting dalam perumusan ini, yaitu: (1) Sederajat dengan kota-kota besar lain di dunia. Ini berarti kota Jakarta harus mampu memenuhi standar kota dunia baik dari segi fisik maupun peradaban. Dalam hal ini Jakarta harus selalu menyejajarkan diri dengan kota-kota dunia termasuk dalam usaha mencari pola peradaban kota yang lebih ideal dimasa depan. (2) Penduduk yang sejahtera. Ini menunjukkan kesadaran bahwa kemakmuran fisik dan ekonomi semata belum cukup. Cita-cita kota yang tertinggi adalah kesejahteraan, yaitu suatu kondisi di mana ada keseimbangan ideal antara aspek lahiriah dan batiniah.[5]
Pembangunan Mal di Jakarta. Pembangunan di Jakarta selama beberapa tahun terakhir lebih didominasi pada pembangunan pusat belanja atau mal yang jumlahnya semakin bertambah banyak dan pertumbuhannya seperti tak terkendalikan. Banyak kawasan yang semula tidak direncanakan menjadi kawasan bisnis harus beralih fungsi menjadi kawasan komersil. Menurut Planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mal yang ada di Jakarta sudah melebihi batas ideal. Hal ini membuat Jakarta menjadi kota dengan mal terbanyak di dunia. Jumlahnya pusat belanja yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih dan telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya. Seharusnya ada skala untuk mengatur agar jumlah mal tidak tumbuh dengan sangat pesat meski atas nama globalisasi dan perdagangan internasional [6]. Masyarakat Jakarta kerap menjadikan mal sebagai tempat untuk menghilangkan rasa stres sehingga sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian penduduk kota Jakarta untuk tempat hiburan bagi diri dan keluarga. Hal ini membuat pengembang terus berencana mewujudkan keinginannya untuk membangun pusat belanja yang memiliki banyak fungsi. Tidak sekedar belanja, ada sarana olahraga, hiburan, dan banyak kebutuhan lain yang memenuhi segala kebutuhan warga.
 Lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai taman kota semakin lama semakin berkurang, sehingga kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air dan ruang terbuka hijau berubah menjadi kawasan bisnis. Penyebab utama invasi kawasan hijau menjadi kawasan komersil, bersumber dari penegakan tata ruang wilayah di DKI Jakarta yang sangat longgar. Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan [7]
Pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban pembangunan yang tak terkendali di  Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah  dalam setiap tahunnya. Sehingga potensi banjir di Jakarta akan semakin besar seiring dengan bertambahnya pusat perbelanjaan baru di kota ini. Disamping itu, penambahan kawasan komersial baru semakin menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Karena pengunjung dari pusat perbelanjaan itu sebagian besar adalah konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini bukan hanya akan mengurangi waktu produktif warga Jakarta dan memperburuk polusi udara yang ditimbulkan asap kendaraan bermotor. Banjir, macet dan polusi udara merupakan masalah yang terjadi akbibat pembangunan yang tak memperhatikan tata ruang.
Bukan hanya masalah lingkungan, tetapi berbagai masalah sosial lainnya saling berkaitan. Pertumbuhan mal tanpa diikuti sarana dan fasilitas untuk penduduk kalangan tidak mampu akan membuat semakin terciptanya kesenjangan sosial. Mereka kelompok yang mengalami Eksklusi sosial, tersingkirkan dari pembangunan. Mereka tidak mampu  berbelanja di mal, bahkan untuk masuk mereka tidak berani. Dengan pakaian kumal, dan alas kaki ‘butut’ mengunjungi mal membuatnya dicurigai oleh petugas keamanan gedung. Akhirnya mereka tidak berani.  Kehilangan akses untuk turut menikmati fasilitas adalah suatu keadaan yang dinamakan deprivasi sosial.  Penduduk miskin merupakan kelompok yang terksklusi dan mengalami deprivasi.
Pembangunan mal di Jakarta tidak memperhatikan kelompok orang-orang yang mengalami eksklusi dan deprivasi sosial.   Taman kota sebagai fasilitas umum jumlahnya sangat sedikit, dan lokasinya mungkin terlalu jauh dari tempat tinggal mereka yang hidup di sudut-sudut kumuh kota Jakarta. Jadilah mereka bermain di gang sempit, atau di pinggir jalan. Bahkan anak-anak mereka terbiasa hidup sebagai anak-anak jalanan. Pembangunan di Jakarta selama beberapa periode hampir tidak pernah berorientasi pada pembangunan sosial budaya. Sebagai contoh, jumlah balai rakyat yang ada di Jakarta. Berapa banyak pertumbuhannya? Sejak jaman Gubernur Ali Sadikin, tidak ada penambahan gedung Balai Rakyat. Padahal balai rakyat sebagai sarana youth center bagi anak anak dalam menyalurkan bakatnya baik seni, oleh raga dan aktivitas positif lainnya.
Kawasan kumuh tidak pernah tersentuh, dibalik gedung-gedung megah, dibelakang kompleks perumahan, di bantaran kali dan dipinggir rel kereta tidak pernah mendapat perhatian. Sehingga dapat memicu terjadi tindak kriminalitas, tawuran dan perdagangan narkoba dsb. Kesemua ini adalah permasalahan sosial yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau mereka bukan warga DKI, apakah solusinya mereka harus digusur? Dan bila digusur, apakah bisa dilakukan dengan baik? Karena pastinya ada konflik pertentangan dan bahkan timbul aksi kekerasan.
Rancangan Pembangunan Sosial Jakarta
Bila melihat visi pembangunan Jakarta seperti yang dikemukan sebelumnya yakni visi pertama menjadikan Jakarta sederajat dengan kota-kota besar lain di dunia dan dihuni oleh penduduk yang sejahtera maka terlihat bahwa pembangunan yang diutamakan adalah pembangunan fisik. Lalu apakah penduduknya sejahtera? Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat sejauh mana pembangunan Jakarta dan keterkaitannya dengan kesejahteraan penduduk. Namun sejatinya pembangun fisik harus diikuti oleh pembangunan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan sosial yang dimaksud disini adalah pembangunan yang menyentuh aspek kehidupan sosial budaya (Socio-Cultural Life). Input uang, output bukan uang. Pembangun ini antara lain meliputi pembangunan Kesehatan, Pendidikan dan Agama. Sebagai contoh, untuk pembangunan kesehatan, hasilnya terlihat dari penduduk yang memahami arti pentingnya kesehatan dan memiliki budaya hidup sehat. Pembangunan pendidikan menghasilkan penduduk yang kreatif dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan,  atau pembangunan agama menghasilkan orang-orang shaleh.
Struktur Sosial
Pembangunan Sosial harus dapat membangun masyarakatnya melalui pembangunan sosial budaya. Berdasarkan contoh pembangunan mal di Jakarta dan berkurangnya lahan hijau (taman) untuk penduduk, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yakni Struktur Sosial, Kultur dan Proses Sosial.[8] Struktur Sosial adalah pola relasi (dalam hubungannnya dengan relasi kekuasaan) yang bersifat koersif, imperatif dan memiliki dominasi kekuasaan. Kekuasaan struktur sosial berwujud legal-formal yang diinstitusionalisasikan. Kekuasaan ini dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui undang-undang yang mengatur tata ruang kota. Rancangan undang-undang tata ruang DKI Jakarta mengatur proporsi bangunan dan lahan terbuka yang seharus seimbang dan proporsional. Undang-undang memiliki kekuatan yang dapat memaksa dan medesak semua pihak agar patuh pada peraturan yang telah ditetapkan. Namun, kenyataannya pemerintah provinsi lebih mementingkan pembangunan ekonomi dan l ebih mengikuti  desakan pelaku ekonomi (pengusaha)  untuk membangun mal di Jakarta sehingga jumlahnya sudah tak terkendali. Dengan pertumbuhan fisik berupa pendirian mal yang begitu pesat, tampaknya legal-formal berupa undang-undang Tata Ruang pemerintah DKI tidak memiliki power yang kuat untuk mendesak pihak-pihak yang berkepentingan. Peraturan tersebut tidak terinstitusionalisasi, begitu longgar dan fleksibel. Harus ada ketegasan dari Pemrov DKI untuk menerapkan kebijakan tata ruang yang memiliki keberpihakan kepada rakyat (human centered).
Kultur
Pembangunan juga harus memperhatikan Kultur, yang didalam sistem sosial berupa nilai, norma, kepercayaan atau kebiasaan yan sudah mentradisi dan terinternalisasi dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ada kultur orang Indonesia yang sebenarnya sudah mulai dilupakan, yakni gotong royong, misalnya menjaga keamanan dan ketertiban bersama, bila ada yang susah atau berduka, saling memberi bantuan. Koentjoroningrat mengartikan gotong royong sebagai kerja sama diantara anggota-anggota suatu komuniti. [9] Nilai-nilai ini mulai luntur seiring dengan pertumbuhan fisik pembangunan kota. Sikap tenggang rasa, solidaritas atau “tepo seliro” juga perlahan mulai ditinggalkan. Kesibukan dan ‘kerasnya’ hidup di Jakarta menjadikan saling tidak peduli sehingga melemahnya ikatan sosial. Padahal nilai-nilai ini dapat membuat integrasi sosial di antara penduduk semakin kuat. Bila integrasi sosial melemah, maka akan memunculkan konflik sehingga sering memicu tawuran  atau tindak kekerasan. Sejatinya pembangunan harus memperhatikan kohesi masyarakat.
Bila di suatu tempat banyak terdapat anak-anak putus sekolah atau sering terjadi tawuran maka salah satu alternatif penyelesaiannya adalah dengan membangun fasilitias yang dapat memberikan kepercayaan dan kemandiran pada penduduk. Pembangunan sanggar, pembentukan komunitas seni, penyediaan sarana olah raga dan memfsilitasi berbagai aktivitas positif lainnya harus dibuat termasuk pendirian taman disekitar pemukiman untuk tempat berkumpul dan saling bertegur sapa. Taman berfungsi untuk meningkatkan rasa kebersamaan diantara penduduk, terutama yang tinggal di kawasan padat penduduk. Randal Collins seorang sosiolog ternama mengatakan bahwa pertanyaan mendasar sosiologi bukanlah mengapa masyarakat terbentuk, tetapi setelah masyarakat terbentuk, apa yang membuat orang-orang tetap terikat didalamnya. Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya konsep intergrasi sosial[10]. Pembangunan sarana dan fasilitias yang dapat menciptakan rasa kebersamaan  dapat meningkatkan integrasi sosial.
Proses Sosial
Proses Sosial merupakan interaksi dinamis hari demi hari yang bersifat informal antar anggota masyarakat. Individu maupun kelompok dapat secara bebas mengekspresikan aspirasinya secara dinamis dan kreatif. Kemudian arena ini dapat menjadi lebih eksis dan negotiate dalam membuat suatu perubahan, sehingga dapat terwujud tatanan sosial yang baru. Pembangunan proses sosial berarti memperluas kesempatan orang-orang untuk memperoleh public space dan dan public sphere sesuai dengan hak asazi manusia untuk  kebebasan berekspresi.[11] Bila dalam kultur seperti yang dikemukakan diatas, bahwa pembangunan dari aspek kultur membutuhkan sarana untuk berkumpul untuk mewujudkan integrasi sosial, maka didalamnya terdapat proses sosial, saling interaksi dan diskusi untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan. Ketiga aspek pembangunan, baik struktur, kultur maupun proses tidak terpisah, melainkan saling terkait  satu sama lain, saling mendukung dan melekat.
Pembangunan Jakarta dapat dilihat dari Perspektif Struktural Fungsional bahwa masyarakat dapat dianalogikan sebagai organisme biologis. Analogi ini dilatar belakangi oleh pandangan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling terkait dalam satu pola keteraturan dan memiliki fungsi yang khas serta saling tergantung secara fungsional satu sama lain. Setiap unsur berfungsi bukan demi kepentingannya sendiri tetapi demi keberlangsungan hidup dari sistem (survival of the system)[12]. Perspektif fungsionalisme ini memberikan penjelasan bagaimana kohesinya suatu masyarakat yang membentuk satu pola yang saling tergantung satu sama lain. Keterikatan ini harus selalu terjaga agar tercipta keseimbangan. Untuk itu dibutuhkan nilai, norma dan moral sebagai bagian dari kultur untuk membangun dan memelihara kohesi.
Perspektif fungsionalisme didasarkan pada asumsi bahwa bahwa masyarakat bersifat stabil sesuai sistem tatanan.  Kestabilan sistem ini dikarakteristikan oleh konsensus bersama sebagai anggota masyarakat berdasarkan nilai-nilai, kepercayaan dan perilaku yang diharapkan.[13] Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari struktur  mengeluarkan undang-undang atau peraturan sebagai legal-formal yang harus disepakati untuk terciptanya keteraturan. Rancangan Undang-undang Tata Ruang DKI Jakarta merupakan ketentuan hukum yang mengatur peruntukan lahan yang akan dibangun. Bila ketentuan ini dilanggar maka akan mengubah tatanan sosial yang ada. Berbagai masalah terjadi, seperti banjir, kemacetan serta berbagai masalah sosial yang memicu keretakan, seperti konflik, tawuran, tindak kejahatan dan sebagainya. Permasalahan didalam struktur sosial menyebabkan terjadinya Anomie, seperti yang dikemukakan oleh Weber, yakni suatu kondisi dimana pengawasan sosial menjadi tidak efektif karena kehilangan nilai yang disepakati bersama.[14] Nilai, norma dan moral yang disepakati bersama sebagai unsur yang ada dalam kultur (antara lain gotong royong, solidaritas, tenggang rasa, nilai kejujuran, nilai tanggung jawab dll) tidak berfungsi dengan baik. Adanya penyimpangan terhadap undang-undang tata ruang kurang mendapat tanggapan melalui proses sosial yang baik. Interaksi didalam masyarakat dan power relation antara pemerintah dengan warga kurang berjalan sesuai fungsinya. Ada hak-hak yang terabaikan dan hal tersebut berlangsung terus sehingga menimbulkan ketidakteraturan dalam pembangunan. Berharap agar gubernur yang baru terpilih, Joko Widodo dapat membenahi pembangunan sosial budaya sesuai dengan visi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, agar Jakarta sederajat dengan kota-kota lain di dunia dan (juga) penduduknya hidup sejahtera.
Sumber  :
1.  Paulus Wirutomo. Pembangunan Sosial Budaya. Diktat Mata Kuliah Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan.

2.      Kompas, Minggu 23 Desember 2012. Hal 10.



5.      Viva News.com 20 Juli 2010

6.      BPLHD DKI Jakarta, 2007

7.      Koentjaraningrat. Masalah-masalah Pembangunan. LP3ES
8.       Paulus Wirutomo Dkk. Sistem Sosial Indonesia. Lab Sosio-UI Press 2012
9.      Paulus Wirutomo. Social Development Policies on Informal Sector. Diktat Kuliah Kebijakan Sosial
10.  Diana Kendall. Sociology in Our Times.Thomson Wadsworth. 2008



[1] Wirutomo, Paulus. Pembangunan Sosial Budaya. Diktat Mata Kuliah Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan. Hal.4.
[2] Kompas, Minggu 23 Desember 2012. Hal 10.
[3] Wirutomo,Paulus. Ibid.
 [6] Viva News.com 20 Juli 2010
[7] BPLHD DKI Jakarta, 2007
[8] Struktur Sosial, Kultur dan Proses Sosial, merupakan materi kuliah dalam “Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan” oleh Palus Wirutomo.
[9] Koentjaraningrat. Masalah-masalah Pembangunan. LP3ES hal 130
[10] Wirutomo, Paulus dkk. Sistem Sosial Indonesia. UI Press 2012. Hal 1.
[11] Wirutomo, Paulus. Social Development Policies on Informal Sector. Diktat Kuliah Kebijakan Sosial. Hal     96.
[12] Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Op cit. Hal 10.
[13] Kendall, Diana. Sociology in Our Times.Thomson Wadsworth. Hal 23.
[14] Ibid. Hal 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar