MK telah menetapkan untuk mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur soal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Dampak dari keputusan itu adalah dihilangkannya RSBI dalam sistem pendidikan di Indonesia. Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSBI-SBI dan non RSBI-SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI-SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
(http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/13302554/Mendikbud.Penghapusan.RSBI.Butuh.Waktu?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Mk%20Batalkan%20Status%20Rsbi)
Paper Eksklusi Sosial
26 Desember 2012
1.
Kebijakan Pendidikan di Indonesia.
Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 dikatakan tentang cita-cita negara bahwa untuk membentuk suatu
pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdarkan hal tersebut, mencerdaskan
kehidupan bangsa merupaka suatu tujuan yang harus dilaksanakan melalui
pendidikan. Pendidikan dapat diperoleh di bangku sekolah melalui pendidikan
formal yang berjenjang, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (atau madrasah setingkat SD, SLTP maupun
SLTA, juga Sekolah Menengah Kejuruan) dan Perguruan Tinggi. Sedangkan
Pendidikan Non Formal diperoleh melalui lembaga pendidikan seperti kursus,
seminar dsb. Dan satu lagi, pendidikan informal yang diperoleh dari lingkungan,
mulai dari keluarga, lingkungan sekitar rumah dan masyarakat.
Namun yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah pendidikan formal yang memiliki payung hukum dalam Undang-undang Dasar
1945 Pasal 31, ayat (1) Bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur undang-undang. Ayat (4) Negara mempriorotaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapat dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebnutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dengan memperhatikan ketentuan dalam
pasal dan ayat-ayat di atas, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan dan pemerintah sebagai penyelenggara wajib meyelenggarakan
pendidikan yang dapat diikuti oleh seluruh warga negara. Hal ini sejalan
dengan Hak Asasi Manusia, pasal 28 B
ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas
hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
Berkaitan dengan hak asazi manusia
seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan
kebutuhan dasarnya. Pendidikan merupakan hak sosial yang harus terpenuhi
sebagai warga negara. Dalam padangan mengenai Human Right Act, Scotland melihat
hal ini merupakan sistem hukum yang tidak saja mengeni hak positif tetapi juga
merupakan suatu edukasi publik dalam kerangka nilai-nilai etis seperti harga
diri individu, kesamaan dan kesempatan untuk semua. Nilai-nilai dasar ini tidak
datang dengan sendirinya melainkan perlu dinyatakan dan ditegaskan sehingga
membuat setiap orang memahami siapa dirinya dan mendapat perlakuan dengan
cara-cara yang sama. [1]
Berkaitan dengan hak, maka Marshal dalam
Citizenship and Social Class membagi hak warga negarah menjadi tiga bagian,
yakni pertama, hak sipil yang berhubungan dengan kebutuhan individu untuk kemerdekaan
dan kebebasan mengemukakan pendapat, pemikiran dan keyakinan yang merupakan
bagian dari ranah keadilan. Kedua, hak politik yakni hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan politik, memilih dan dipilih, dikaitkan dengan institusi
parlemen atau dewan pemerintahan setempat. Ketiga, hak sosial merupakan hak
untuk meraih kehidupan yang beradap merujuk pada standar kehidupan masyarakat
yang berlaku. [2]
Dengan demikian, pendidikan merupakan hak
sosial bagi setiap warga dan pemerintah berkewajiban meyelenggarakan pendidikan
yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa memandang suku, agama dan ras. Intinya,
pendidikan untuk semua. Kebijakan pendidikan harus bersifat inklusif.
Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat pasal tentang Wajib Belajar, yakni
pasal 34. Bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti
program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut
biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
2. Ekslusi Pendidikan : Wajib Belajar dan Ujian
Nasional
Kebijakan Wajib belajar yang
semula hanya sampai tingkat SMP atau wajib belajar 9 tahun, kini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun
serta kurikulum baru pada tahun 2013. Pada tahun 2020, Kemendikbud menargetkan
semua warga Indonesia berpendidikan
minimal SMA. Berkaitan dengan hal ini
maka
pemerintah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan untuk
siswa kurang mampu.[3] “Melalui
program 'Wajib Belajar 9 Tahun', BOS, dan bantuan untuk siswa kurang mampu, tahun
2013 akan kita mulai program 'Wajib Belajar 12 Tahun'. Rencananya, tahun 2020
itu APK (Angka Partisipasi Kasar) sekolah menengah 97 persen, sekarang baru 78
persen. Tahun 2020 itu minimal anak-anak kita lulusan SMA atau SMK," kata
Mendikbud M Nuh”.
Upaya pemerintah
untuk menyelenggarakan pendidikan gratis hingga tahap SMA merupakan langkah
yang sangat baik. Namun bagaimana dengan penyelenggaraan wajib belajar 9 tahun yang selama ini sudah berjalan?
apakah sudah sesuai dengan tujuan kebijakan pendidikan? bahwa pendidikan bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa, apakah dapat di ikuti oleh semua anak dengan
kesempatan dan kualitas yang (kurang lebih) sama?
Intinya adalah Education for all. Mungkin benar bahwa pendidikan sudah gratis,
bahkan dari wajib belajar 6 tahun hingga 9 tahun. Namun apakah kondisi sistem
pendidikan sudah baik secara keseluruhan? Pendidikan menyangkut fasilitas
sekolah, guru dan infrasturktur di daerah yang memberi akses atau kemudahan
bagi guru dan murid untuk ke sekolah. Berkaitan dengan kondisi fisik sekolah,
betapa banyak gedung sekolah yang rusak. Bahkan 60% gedung SD di Jawa Barat
rusak. dan 67% Gedung SD di Sukabumi rusak parah. Berdasarkan data Dinas
Pendidikan Jawa Barat tahun 2004/2005, ada 118.292 gedung SD diseluruh
Kabupaten /kota Propinsi. Dari sejumlah itu, hanya 44.418 sekolah yang dalam
kondisi baik. Sisanya 35.190 SD rusak ringan dan 37.621 SD rusak berat.[4] Jumlah ruang kelas yang
rusak di Provinsi Jawa Barat 2004/2005, SD sejumlah 84.678 ruang, SMP 5239
ruang, SMA 533 ruang dan SMK 574 ruang.[5]
Data-data tersebut hanya sebagian kecil
saja, di salah satu provinsi di Pulau Jawa. Bagaimana dengan kondisi didaerah
lain, terutama diluar Pulau Jawa, mungkin bisa lebih parah lagi kondisi
kerusakan dan lebih besar jumlah bangunan atau ruang yang rusak. Seringkali
media baik cetak maupun elektronik menggambarkan beberapa murid sekolah yang
harus bersusah payah menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki,
menyeberangi sungai, melewati jembatan yang rusak untuk sampai ke sekolah. Bukan
hanya itu saja, kondisi guru juga memprihatinkan, dalam hal kesejahteraan,
banyak guru yang bekerja sambilan untuk menambah penghasilan. Ada yang bekerja
sebagai pengojek dan penyadap karet, [6] Dan hampir 90% guru SD di Indonesia
mengagunkan Surat Keputusan (SK) sebagai
guru ke bank untuk memperoleh pinjaman. “gaji guru terutama guru SD yang sangat
rendah tidak bisa mengimbangi kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga jalan
satu-satunya yang mengutang ke bank”, ujar Surya di UPI Bandung.[7] Berkenaan dengan gaji,
tentu saja banyak perbedaan, misalnya gaji guru yang PNS dengan yang honorer,
atau gaji guru swasta. Namun gambaran rendahnya gaji guru untuk menunjukkan
bahwa dengan latar belakang kondisi kesejahteraan yang berbeda, bisa saja
berpengaruh pada cara mengajar di sekolah. Mungkin harus ada penelitian lebih
lanjut tentang hal tersebut.
Melihat kondisi latar belakang sistem
pendidikan yang berbeda-beda di berbagai
daerah di tanah air, tentu saja mempengaruhi kualitas ajar-mengajar. Betapa
tidak, kondisi geografis yang jauh dan sarana transportasi yang kurang memadai
serta waktu tempuh yang lama, tentunya membuat lelah murid dan guru di sekolah.
Sungguh ironi bila harus dibandingkan kondisi sekolah di kota-kota besar dengan
sarana dan fasilitas yang lengkap serta infrastruktur yang memadai.
Ekslusi pendidikan terlihat disini, bahwa
antara murid yang berasal dari daerah dan kondisi sosial ekonomi orangtua yang
tidak mampu, membuat anak terekslusi. Mereka tidak dapat menikmati pendidikan
selayaknya. Menggunakan sepatu, tas dan seragam bersih, naik mobil atau
angkutan umum atau bahkan belajar di ruang kelas yang nyaman. Kualitas bangunan
sekolah yang berbeda seakan menjadikan anak murid daerah (miskin) merasa
tertinggal, kondisi ini merupakan deprivasi sosial. Kurangnya akses untuk
mendapat sesuatu yang memang sudah seharusnya diperoleh karena bagian dari hak
pemenuhan kebutuhan dasar..
Ekslusi tampak sangat jelas bila
dikaitkan dengan Ujian Nasional (tingkat SLTP dan SLTA). Kebijakan ini seakan
menutup mata terhadap kesenjangan mutu pelayanan sekolah di pelosok tanah air.
Dan seringpula mengakibatkan kecurangan-kecurangan (sampai akhirnya guru turut
berbuat curang demi mendongkrak kelulusan murid-muridnya). Semua tenaga dan
pikiran dicurahkan hanya untuk mengejar angka kelulusan Ujian Nasional (UN).
Sekolah yang berhasil mencapai angka UN tinggi tentu akan mendapat peringkat
yang tinggi. Ekslusi tidak saja terjadi pada anak murid, tetapi terjadi pada
sekolah yang minim fasilitas berhadapan dengan sekolah dengan fasilitas lengkap
di perkotaan. Sungguh tidak adil bila angka kelulusan berdasarkan UN yang
didasarkan pada nilai standar, padahal sarana dan prasarana setiap daerah
berbeda-beda. Ujian Nasional terkesan hanya untuk membuat standardisasi. Bila
ditelaah bagaimana mungkin standar tunggal diberlalukan, bila latar belakang
sosial ekonomi anak berbeda. Seorang anak SMP di desa terpencil di Kupang yang
seumur-umur belum pernah menggunakan komputer harus bersaing dengan anak
sekolah dari Menteng, Jakarta Pusat yang sudah terbiasa mengakses internet
untuk mendapatkan data dan ilmu pengetahuan tambahan. Disinilah tejadi ekslusi
sosial, ada urban bias dimana orientasi pendidikan lebih ke kota.
Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh
masih tetap menyelenggarakan Ujian Nasional meski banyak pertentangan.
Sebenarnya Mahkamah Agung pada keputusan Bulan November 2009 melarang
pemerintah melaksanakan Ujian Nasional yang diajukan pemerintah. Sehingga
sebenarnya pemerintah melakukan tindakan ilegal bila masih tetap melaksanakan
Ujian Nasional. Dalam keputusan tersebut, pemerintah baru boleh melaksanakan UN bila telah berhasil meningkatkan
kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi
yang lengkap dan merata diseluruh daerah. [8]
“UN 2013 tetap dijalankan dengan sejumlah
perubahan dilakukan, diantaranya diberikannya 20 paket variasi soal UN 2013,
hal ini berbeda dengan UN tahun 2012 yang hanya diberikan lima variasi soal.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, saat memberikan
keterangan pers di Gedung A Kemdikbud, Jakarta, Kamis (11/10/12), menegaskan
bahwa UN secara legal yuridis pelaksanaannya berdasarkan undang-undang dan
peraturan pemerintah. Kemudian dari sisi akademik sampai bentuk soal pilihan
ganda juga ada dasarnya. “Insya Allah tahun depan UN tetap dilakukan, tetapi
ada beberapa perubahan’.[9]
Ujian Nasional juga terkesan hanya
sebagai proyek tahunan semata, sesungguhnya yang terpenting adalah pemenuhan
pendidikan yang adil dan berkualitas sehingga membuat anak mampu meningkatkan
derajat kualitas kehidupannya dimasa depan. Seorang anak yang memiliki
pendidikan yang baik, tentunya akan memperoleh human capital atau modal
kemampuan dalam diri yang tentunya dapat
mencapai kedudukan (pekerjaan) yang lebih baik. Status dan peran orang
tua biasanya diwariskan ke anak, namun bila anak memiliki human capital yang baik yang diperoleh dari pendidikan yang
berkualitas, tentunya akan meningkatkan status anak dan orangtua dalam
masyarakat. Hal ini yang dimaksud dengan mobilitas sosial. Dimana status
sosial meningkat yang diperoleh dari
pendidikan, pekerjaan penghasilan. Sebagai contoh, seorang anak tukang becak
mampu bersekolah hingga menjadi menjadi sarjana. Sebagai seorang lulusan
perguruan tinggi dia dapat memperoleh pekerjaan
dan penghasilan yang baik, sehingga kesejahteraannya meningkat. Sebaliknya bila seorang anak sulit mendapatkan pendidikan
yang baik, maka kemiskinan orangtua diwariskan ke anak dan seterusnya.
3. Pendidikan sebagai bagian dari elemen Ekslusi Sosial
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan
mobilitas sosial. David Byrne mengatakan “our
focus on education will be closely related to what is generally called ‘social
mobility’ but might better be understood
as the ways in which formal education processes generate a mix of ‘human
capital’ and ‘cultural capital’ which
are key control parameters determining the character of trajectories of
individual lives”.[10] Human capital dan Cultural Capital merupakan kunci
parameter dalam menentukan “nasib” kehidupan seseorang. Pemikiran Teori Human Capital didasarkan atas penanaman perilaku yang memberikan
prirotas pada pilihan-pilihan yang disukai (preferences)
diantara keterbatasan dan pilihan-pilihan atas berbagai kesempatan. [11]
Hal inilah yang membuat orang memusatkan pentingnya pendidikan. Cultural
Capital adalah keadaan seseorang
yang memiliki disposisi yang baik, kompetensi,
preferences
yang diraih melalui proses sosialisasi dan hasilnya berpengaruh pada kehidupan
sosial ekonomi.[12]
Kebijakan pendidikan
mengenai wajib belajar merupakan tanggungjawab pemerintah, sehingga semua
anak-anak dapat bersekolah tanpa kecuali.
Bila hal ini terselenggara dengan baik, maka kebijakan ini bersifat
inklusif. Namun berkenaan dengan Ujian Nasional, kebijakan ini cenderung tidak
adil. Ada kelompok yang mengalami eksklusi sosial, karena adanya
ketidakmerataan mutu pendidikan (antara sekolah di kota dan pelosok pedesaan). Yang
dimaksud dengan Eksklusi Sosial adalah : a
multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined;
participation in decision making and political process, access to employment
and material resources, and integration into common cultural process.[13]
Yakni suatu proses multidimensi, dari berbagai bentuk eksklusi yang dipadukan;
proses berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan berpolitik, akses bagi
pekerja dan sumber daya material, serta integrasi kedalam proses kultur yang
ada.
Implikasi eksklusi sosial dalam kebijakan pendidikan selain mengakibatkan kekurangan human capital, juga mengakibatkan kekurangan social capital atau modal sosial yang sangat diperlukan untuk
membangun bangsa. Tenaga kerja yang berkualitas tentu sangat dibutuhkan dalam
pasar dan dunia industri agar dapat memperoleh economy capital. Proses ini
merupakan eksklusi yang secara sistematis terjadi akibat kebijakan pemerintah. Peran struktur yang
belum dapat memberikan pendidikan berkualitas secara adil membuat individu
tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Kultur
yang berupa nilai-nilai yang ditanamkan melalui penerapan Ujian Nasional belum
membawa perbaikan, bahkan kultur persaingan antar sekolah untuk mengejar
rangking sekolah unggulan menghasilkan iklim pendidikan yang hanya mementingkan
target angka kelulusan, sehingga budaya mengajar dan mendidik beralih menjadi
pembahasan dan pelatihan soal-soal ujian nasional. Anak tidak lagi dibiasakan
membaca buku, tetapi lebih dibiasakan mengerjakan soal-soal yang terdapat pada
buku lembaran soal. Ujian Nasional mengingkari keberagaman anak. Disamping
perbedaan sosial ekonomi, anak memiliki minat, bakat dan mimpi yang
berbeda-beda. Bila dipaksakan akan “melukai’ anak, karena penilaian berdasarkan
ujian akan membuat anak-anak merasa tersingkirkan karena dianggap tidak pandai
bila nilainya buruk.
Berkenaan dengan wajib belajar, kebijakan
pemerintah untuk menerapkan wajib belajar 9 tahun secara gratis melalui program
Bantuan Operasional Sekolah belum dapat dinikmati oleh sebagian anak-anak. Jumlah
anak putus sekolah tingkat sekolah dasar masih tinggi. Data
pada Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 sediktinya 483.000
anak usia SD tidak lagi meneruskan pendidikan. Mereka ada yang berhenti sebelum
kelas 6 dan ada juga yang tidak melanjutkan ke tingkat SMP.[14] Berdasarkan data tersebut, wajib belajar
belum dapat menjaring sebagian anak-anak Indonesia untuk bersekolah. Ada
kendala yang mungkin tidak terkait langsung dengan pembayaran uang sekolah.
Tetapi misalnya ada pungutan-pungutan lain diluar uang sekolah, tak mampu
membeli buku, sepatu,tas, dll, juga terkendala keharusannya mencari nafkah
dalam membantu orang tua di sawah atau ladang atau dilautan mencari ikan. Maka
anak masih mengalami eksklusi dalam memperoleh pendidikan.
Bila kebijakan wajib belajar
sudah terstruktur dengan baik sampai ke pelosok pedesaan, maka hak-hak dasar
anak untuk sekolah dapat terpenuhi,
ditambah dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan lainnya diluar permasalahan
uang SPP. Anak-anak yang tidak sekolah, tereksklusi oleh lingkungannya yang
memang belum menerapkan kultur tentang arti pentingnya sekolah. Penanaman
Kultur, dalam hal membudayakan anak bersekolah harus sebagai cultural capital yang ditanamkan kepada
orangtua dan masyarakat bahwa belajar
atau menuntut ilmu adalah hak setiap anak, sehingga lingkungan sekitarnya harus mendukung,
misalnya pada saat jam sekolah anak tidak diperkenankan berkeliaran atau
bekerja. Disamping itu masyarakat sekitar harus memperhatikan dan melaporkan
kepada pihak berkepentingan (dinas pendidikan setempat) apabila ada anak yang
tidak sekolah. Bila masyarakat sudah mempunyai cultural capital tentang arti pentingnya pendidikan, maka akan
terbentuk social capital dimana
setiap anak dapat bersekolah bahkan hingga perguruan tinggi sehingga
menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas, yang akhirnya dapat memberikan
sumbangan ekonomi, atau economy capital.
“People are
not poor because they are deficient in human capital, they are deficient in
human capital, because they are poor”.[15]
Berkaitan dengan hal ini ada
tiga hal yang harus diperhatikan, yakni akses untuk mendapatkan pendidikan,
partisipasi jumlah anak yang mendapatkan pendidikan (adil dan berkualitas),
serta pengawasan bagi anak-anak agar
tidak putus sekolah. Sehingga pendidikan tidak saja berfungsi sebagai transmisi
pengetahuan dan ketrampilan, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk
mobilitas sosial dan meritocracy (penghargaan berdasarkan prestasi). “People who lack a good education are vulnerable to
poverty, and they would certainly benefit from a more equitable educational
system”.[16]
4. Pendidikan di
Indonesia dalam Paradigma Ekslusi Sosial
Konsep
Eksklusi Sosial berdasarkan aspek ekonomi dan sosial dai kemiskinan yang
memanfaatkan aaspek sepeti hak berpolitik dan berkewaranegaraan dalam kerangka
hubungan antar individu dengan negara seperti layaknya hubugan antara
masyarakat dan individu. Pendekatan eksklusi sosial berusaha untuk memahami
hubungan antara kemiskinn, pekerjaan produktif dan integrasi sosial sehingga
dapat digunakan untuk memahami berbaai kebijakan. Menurut Hillary Silver, ada tiga pendekatan eksklusi sosial yang
berkaitan dengan kewarganegaraan dan integrasi sosial, yakni Solidaritas,
Spesialisasi dan Monopoli. bahwa konsep eksklusi di konseptualisasikan
berdasarkan cara-cara yang berbeda:[17]
a. Paradigma Solidaritas penekanannya pada adanya nilai utama bersama
(core of shared values), suatu “moral komunitas” dalam tatanan sosial yang dikonstruksikan, dan adanya
proses-proses asimilasi individu kedalam komunitas serta kemampuan untuk dapat
mengekspresikan keanggotaan mereka untuk menunjukkan bagaimana pentingnya
partisipasi aktif.
b. Paradigma Spesialisasi berasal dari pemikiran liberal bahwa
masyarakat dibentuk dari individu-individu yang memiliki batasan hak dan
kewajiban. Dan mereka memiliki perbedaan minat dan kemampuan. Struktur
masyarakat yang dibangun berdasarkan pembagian tenaga kerja dan pertukaran
dalam lingkup baik ekonomi dan sosial.
c. Paradigma Monopoli. Dalam masyarakat tampak ada konflik inheren
dengan kelompok lain yang mengendalikan sumber-sumber dan berupaya melindungi
diri melawan domain dari luar yang membangun
lingkup batasan dan akses yang terbatas untuk mereka saja.
Dalam ekslusi sosial
pendidikan, yang terdapat didalamnya hak dan kewajiban, maka dapat dikatakan
bahwa pendidikan merupakan basic right
atau hak dasar warga yang harus dipenuhi oleh negara. Pendidikan dan Citizenship ini merupakan gambaran
bagaimana bekerjanya suatu negara dalam mensejahtaterakan rakyatnya. Namun,
terdapat proses dimana ada sekelompok anak-anak yang secara sistematis
dieksklusikan dari proses pembangunan pendidikan berdasarkan ketidakmampuan ekonomi. Kebijakan Wajib belajar belum
dapat menyerap sepenuhnya partisipasi anak untuk bersekolah. Kendala seperti
pungutan dan biaya diluar SPP dapat membenani murid, sehingga putus sekolah.
Disamping itu, kebijakan Ujian Negara sebagai contoh bagaimana anak di daerah pelosok
pedesaan yang minim sarana dan fasilitas
dieksklusikan berdasarkan standar nilai ujian yang bias urban.
Pendekatan solidaritas merupakan paradigma dapat digunakan dalam mengatasi
eksklusi pendidikan di Indonesia yang menempatkan pada cara dalam
lingkup budaya dan moral dimana ada nilai utama bersama (core of shared values) yakni wajib belajar sebagai suatu “moral komunitas” dalam tatanan sosial yang dikonstruksikan. Solidaritas harus dibangun, melalui tatanan sosial yang
disepakati bersama, melebihi kepentingan individu, kelompok atau kelas.
Bersifat eksternal, moral dan normatif.[18]
Pemerintah berupaya memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah agar
semua warga dapat sekolah. Harus ada proses-proses asimilasi individu kedalam
komunitas, dalam hal ini “pemaksaan” agar anak dapat bersekolah. Masyarakat harus turut berperan dalam
mensukseskan program tersebut. Komunitas aktif memberi kritik dan saran serta menekan
pemerintah agar program wajib belajar dapat terselenggara dengan baik. Hal ini
menunjukkan bagaimana pentingnya partisipasi aktif.
Paradigma Monopoli
yang berdasarkan pandangan bahwa tatanan sosial sebagai unsur pemaksaan yang
diberlakukan melalui seperangkat hubungan kekuasaan yang hirarkis. Weber
menggunakan istilah “closure” atau penutupan untuk menunjukkan suatu proses
dari subordinasi dimana satu kelompok memonopoli keuntungan dengan menutup
kesempatan pada kelompok luar yang dimaknai sebagai inferior atau tidak
memenuhi syarat. [19]
Penggunaan
paradigma monopoli ini digunakan untuk memahami kebijakan pemerintah atau
Kementerian Pendidikan Nasional dalam menyelenggarakan ujian nasional yang
dibuat atas keinginan pemerintah sebagai proyek tahunan tanpa mendengarkan kepentingan
masyarkat. Meski Mahkamah Agung pada keputusan Bulan November 2009
melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional untuk murid SMP
dan SMA, namun masih tetap dilaksankan. Sehingga sebenarnya pemerintah
melakukan tindakan ilegal bila masih tetap melaksanakan Ujian Nasional. Bila
pemerintah kurang mendengar aspirasi rakyat terutama yang berkaitan dengan
ujian nasional, maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan di
Indonesia belum sepenuhnya menjadi media yang berfungsi sebagai mobilitas
sosial.
-meita-
Sumber :
1.
Scotland in “Sosial Policy&Society” 3:2. hal 113-121 by Nigel Johnsosn,
2004. Cambridge University Press.
- TH. Marshall. Citizenship
and Social Class dala States and Society, ed David held. Basil Blackwell
The Open University. 1983.
4.
Kompas, 6 Desember 2005.
5.
Litbang Kompas.
- Kompas, 26 Jauari 2008
- Republika 22 November 2005
8.
Bambang
Wisudo. Pendidikan
Untuk Semua dalam Jurnal Perempuan.
10.
Byrne, David. Social Exclusion. Open University Press. Mc Graw-Hill
Education. 2005.
- Social Exclusion : Rhetoric,
Reality, Responses. Ed by Gerry Rodgers, Charles Gore dan Jose B
Figueredo. ILO-UNDP 1995
- Royce, Edward. Peverty &
Power. Rowman& Littlefield Publisher
[1] Scotland in “Sosial
Policy&Society” 3:2. hal 113-121 by Nigel Johnsosn, 2004. Cambridge
University Press.
[2] TH. Marshall. Citizenship
and Social Class dala States and Society, ed David held. Basil Blackwell The
Open University. 1983. hal 249.
[3] http://gemaislam.com/berita/indonesia-news-menuitem/796-tahun-depan-wajib-belajar-di-indonesia-menjadi-12-tahun.
[9] http://www.ujian-nasional.info/2012/11/un-2013-tetap-dilaksanakan.html
[17] Silver H. Social
Solidarity and Exclusion: Three paradigms. Dalam Social Exclusion : Rhetoric,
Reality, Responses. Ed by Gerry Rodgers, Charles Gore dan Jose B Figueredo.
ILO-UNDP 1995. hal 7.
Halo semuanya
BalasHapusNama saya Josephine jumawan caballo, saya tinggal di orion bataan, phillipine. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang baik kepada ibu karina roland karena telah membantu saya mendapatkan pinjaman yang baik setelah saya mengalami pinjaman pinjaman online palsu yang menipu saya untuk mendapatkan uang tanpa memberikan pinjaman, saya telah membutuhkan pinjaman selama 2 tahun yang lalu untuk memulai bisnis saya sendiri di kota orion bataan tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di dubai yang menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman. dan saya sangat Frustras karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di dubai, karena saya berhutang bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya apa-apa untuk dijalankan, pada hari yang sangat setia itu teman saya menelepon susan Ramirez setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu karina roland, jadi saya terpaksa menghubungi susan ramirez dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu karina roland bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya terpaksa memberanikan diri dan saya menghubungi ibu karina roland dan saya terkejut dengan pinjaman saya yang diproses dan diluluskan dan dalam waktu 6 jam pinjaman saya ditransfer ke rekening saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus memberikan informasi tentang pekerjaan baik ibu karina roland jadi saya menyarankan setiap orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi e-mail Nyonya karina roland: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau hanya whatsapp +15857083478 dan saya jamin Anda akan memberikan informasi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Ny. karina Rola nd email saya: (josephinejumawancaballo@gmail.com) semoga Tuhan terus memberkati dan mencintai karina roland 'ibu untuk merubah kehidupan finansial saya.
Jika bank Anda mengatakan tidak kepada Anda untuk pinjaman, ada tempat otentik di mana Anda bisa mendapatkan pinjaman asli. Saya ingin mendapatkan pinjaman institusi yang saya temukan online untuk semua saudara dan saudari Muslim yang sedang mencari pinjaman cepat untuk segera menyelesaikan masalah yang diinginkan. Saya mendapat pinjaman Rp.700.000.000. dari ibu KARINA ROLAND LOAN COMPANY yang saya gunakan untuk merenovasi rumah sakit dan untuk melengkapi bisnis saya. Saya mendapat pinjaman dari mereka beberapa bulan lalu. Saya meminjam dari mereka karena ada banyak perusahaan pinjaman palsu online. Saya juga memperkenalkan adik saya yang juga mendapat pinjaman Rp. 500.000.000 PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA. Sebelum saya menghubungi mereka untuk mendapatkan pinjaman, saya juga melakukan banyak penelitian tentang mereka dan menemukan mereka benar-benar otentik. Mereka tidak seperti perusahaan pinjaman barat yang palsu. Jadi saya meminta pinjaman tanpa jaminan dengan mereka. Mereka memberikan pinjaman sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Tidak Ada Jaminan. Tidak ada biaya tersembunyi. Mereka memberikan proses yang cepat dan sederhana. Tapi Anda harus bisa menyetujuinya. dan Anda juga harus membayar kembali pinjaman mereka pada waktunya. Saya ingin meminta semua Muslim sejati dan bukan muslim untuk menghubungi ibu karina yang baik di email atau whatsapp: +15857083478 (karinarolandloancompany@gmail.com) Anda dapat menghubungi saya untuk nasihat juga melalui email (nurraysadiena@gmail.com)
BalasHapusNAMA SAYA: MRS MARIA ARTIKA
BalasHapusNEGARA: INDONESIA
KOTA: BATU MALANG JATIMMY
WHATSAPP: +62877-4316-8500
HIBAH PINJAMAN: Rp350.000.000,00
EMAIL SAYA: mariaartika27@gmail.com
Saya ingin memulai dengan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah kehidupan.
Nama saya MRS MARIA ARTIKA dan saya ingin berbagi cerita yang baik tentang KARINA ROLAND LOAN COMPANY. Favorit, perusahaan yang mampu secara finansial membuat hidup saya berbalik.
Saya mengalami kesulitan keuangan selama beberapa waktu dan saya harus meminjam dari teman-teman saya karena saya berharap dapat melunasinya setelah menerima pembayaran saya.
Dan ketika menghadapi hidup saya berubah menjadi yang terburuk, saya dipecat dari pekerjaan dan saya kehilangan ibu saya beberapa bulan kemudian. Setelah ibu saya dimakamkan, teman-teman saya mulai meminta uang mereka kembali.
Tetapi kompilasi saya mengira hidup saya sudah berakhir, saya sebenarnya berusaha untuk melarikan diri, sekarang TUHAN menggunakan teman dan tetangga saya Bu Rini anggraeni yang membantu saya untuk menghubungi IBU KARINA yang mengatakan bahwa teman dari Indonesaia menghubungkannya dengan IBU KARINA, jadi saya menceritakan kisah saya kepada ibu, dia meminta dokumen yang saya tunjukkan dan sebelum saya menyadarinya permintaan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000,00, sebelumnya saya telah meminta tiga perusahaan pinjaman online yang lebih baik untuk tidak membutuhkan bantuan positif, tetapi IBU KARINA ROLAND melalui pinjamannya perusahaan, KARINA ROLAND LOAN COMPANY telah mengubah hidup saya dan saya telah memutuskan sebelumnya bahwa saya akan terus membagikan cerita ini sehingga warga negara saya dapat memanfaatkannya, berharap dapat meminjamkan pinjaman kepada orang yang terkena banjir. Proses persetujuan kredit saya telah selesai dan saya telah menerima surat persetujuan dari perusahaan yang menyetujui say yes harus memberikan bank saya. Saya menerima permintaan dari bank saya yang menyatakan bahwa rekening bank saya telah dikreditkan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp350.000.000,00 yang saya minta. KARINA ROLAND LOAN COMPANY adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang nyata dan tulus di seluruh dunia, jadi jangan ragu untuk menghubungi MOTHER KARINA di saluran ini. Anda dapat menghubungi perusahaan ini melalui atau email whatsapp: karinarolandloancompany@gmail.com, whatsapp +1585 708-3478, begitulah hidup saya berubah dan saya akan terus membagikan kabar baik agar semua orang dapat melihat dan menghubungi perusahaan baik yang mengubah hidup saya .
Anda juga dapat menghubungi saya jika Anda membutuhkan bantuan saya atau Anda ingin bertanya kepada saya tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman saya. Ini email saya: mariaartika27@gmail.com
PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA
HANYA WHATSAPP: +1585 708-3478
NAMA FACEBOOK: KARINA ELENA ROLAND
EMAIL: KARINAROLANDLOANCOMPANY@GMAIL.COM