Jumat, 18 Januari 2013

Ekslusi Sosial dalam Pendidikan di Indonesia

Januari 2013
MK telah menetapkan untuk mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur soal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Dampak dari keputusan itu adalah dihilangkannya RSBI dalam sistem pendidikan di Indonesia. Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSBI-SBI dan non RSBI-SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI-SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. 

(http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/13302554/Mendikbud.Penghapusan.RSBI.Butuh.Waktu?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Mk%20Batalkan%20Status%20Rsbi)



Paper Eksklusi Sosial
26 Desember 2012

1. Kebijakan Pendidikan di Indonesia.

           Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dikatakan tentang cita-cita negara bahwa untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
          Berdarkan hal tersebut, mencerdaskan kehidupan bangsa merupaka suatu tujuan yang harus dilaksanakan melalui pendidikan. Pendidikan dapat diperoleh di bangku sekolah melalui pendidikan formal yang berjenjang, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (atau madrasah setingkat SD, SLTP maupun SLTA, juga Sekolah Menengah Kejuruan) dan Perguruan Tinggi. Sedangkan Pendidikan Non Formal diperoleh melalui lembaga pendidikan seperti kursus, seminar dsb. Dan satu lagi, pendidikan informal yang diperoleh dari lingkungan, mulai dari keluarga, lingkungan sekitar rumah dan masyarakat.
          Namun yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pendidikan formal yang memiliki payung hukum dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal  31, ayat (1) Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional meningkatkan keimanan dan ketaqwaan  serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur undang-undang. Ayat (4) Negara mempriorotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapat dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah  untuk memenuhi kebnutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
           Dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal dan ayat-ayat di atas, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah sebagai penyelenggara wajib meyelenggarakan pendidikan yang dapat diikuti oleh seluruh warga negara. Hal ini sejalan dengan  Hak Asasi Manusia, pasal 28 B ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
      Berkaitan dengan hak asazi manusia seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kebutuhan dasarnya. Pendidikan merupakan hak sosial yang harus terpenuhi sebagai warga negara. Dalam padangan mengenai Human Right Act, Scotland melihat hal ini merupakan sistem hukum yang tidak saja mengeni hak positif tetapi juga merupakan suatu edukasi publik dalam kerangka nilai-nilai etis seperti harga diri individu, kesamaan dan kesempatan untuk semua. Nilai-nilai dasar ini tidak datang dengan sendirinya melainkan perlu dinyatakan dan ditegaskan sehingga membuat setiap orang memahami siapa dirinya dan mendapat perlakuan dengan cara-cara yang sama. [1]
      Berkaitan dengan hak, maka Marshal dalam Citizenship and Social Class membagi hak warga negarah menjadi tiga bagian, yakni pertama, hak sipil yang berhubungan dengan kebutuhan individu untuk kemerdekaan dan kebebasan mengemukakan pendapat, pemikiran dan keyakinan yang merupakan bagian dari ranah keadilan. Kedua, hak politik yakni hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, memilih dan dipilih, dikaitkan dengan institusi parlemen atau dewan pemerintahan setempat. Ketiga, hak sosial merupakan hak untuk meraih kehidupan yang beradap merujuk pada standar kehidupan masyarakat yang berlaku. [2]
      Dengan demikian, pendidikan merupakan hak sosial bagi setiap warga dan pemerintah berkewajiban meyelenggarakan pendidikan yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa memandang suku, agama dan ras. Intinya, pendidikan untuk semua. Kebijakan pendidikan harus bersifat inklusif.
      Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat pasal tentang Wajib Belajar, yakni pasal 34. Bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

2. Ekslusi Pendidikan : Wajib Belajar dan Ujian Nasional

      Kebijakan Wajib belajar yang semula hanya sampai tingkat SMP atau wajib belajar 9 tahun, kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun serta kurikulum baru pada tahun 2013. Pada tahun 2020, Kemendikbud menargetkan semua warga Indonesia  berpendidikan minimal SMA. Berkaitan  dengan hal ini
maka pemerintah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan untuk siswa kurang mampu.[3]Melalui program 'Wajib Belajar 9 Tahun', BOS, dan bantuan untuk siswa kurang mampu, tahun 2013 akan kita mulai program 'Wajib Belajar 12 Tahun'. Rencananya, tahun 2020 itu APK (Angka Partisipasi Kasar) sekolah menengah 97 persen, sekarang baru 78 persen. Tahun 2020 itu minimal anak-anak kita lulusan SMA atau SMK," kata Mendikbud M Nuh”.
      Upaya pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis hingga tahap SMA merupakan langkah yang sangat baik. Namun bagaimana dengan penyelenggaraan wajib belajar  9 tahun yang selama ini sudah berjalan? apakah sudah sesuai dengan tujuan kebijakan pendidikan? bahwa pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, apakah dapat di ikuti oleh semua anak dengan kesempatan dan kualitas yang (kurang lebih) sama?
      Intinya adalah Education for all. Mungkin benar bahwa pendidikan sudah gratis, bahkan dari wajib belajar 6 tahun hingga 9 tahun. Namun apakah kondisi sistem pendidikan sudah baik secara keseluruhan? Pendidikan menyangkut fasilitas sekolah, guru dan infrasturktur di daerah yang memberi akses atau kemudahan bagi guru dan murid untuk ke sekolah. Berkaitan dengan kondisi fisik sekolah, betapa banyak gedung sekolah yang rusak. Bahkan 60% gedung SD di Jawa Barat rusak. dan 67% Gedung SD di Sukabumi rusak parah. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2004/2005, ada 118.292 gedung SD diseluruh Kabupaten /kota Propinsi. Dari sejumlah itu, hanya 44.418 sekolah yang dalam kondisi baik. Sisanya 35.190 SD rusak ringan dan 37.621 SD rusak berat.[4] Jumlah ruang kelas yang rusak di Provinsi Jawa Barat 2004/2005, SD sejumlah 84.678 ruang, SMP 5239 ruang, SMA 533 ruang dan SMK 574 ruang.[5]
      Data-data tersebut hanya sebagian kecil saja, di salah satu provinsi di Pulau Jawa. Bagaimana dengan kondisi didaerah lain, terutama diluar Pulau Jawa, mungkin bisa lebih parah lagi kondisi kerusakan dan lebih besar jumlah bangunan atau ruang yang rusak. Seringkali media baik cetak maupun elektronik menggambarkan beberapa murid sekolah yang harus bersusah payah menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki, menyeberangi sungai, melewati jembatan yang rusak untuk sampai ke sekolah. Bukan hanya itu saja, kondisi guru juga memprihatinkan, dalam hal kesejahteraan, banyak guru yang bekerja sambilan untuk menambah penghasilan. Ada yang bekerja sebagai pengojek dan penyadap karet, [6]  Dan hampir 90% guru SD di Indonesia mengagunkan  Surat Keputusan (SK) sebagai guru ke bank untuk memperoleh pinjaman. “gaji guru terutama guru SD yang sangat rendah tidak bisa mengimbangi kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga jalan satu-satunya yang mengutang ke bank”, ujar Surya di UPI Bandung.[7] Berkenaan dengan gaji, tentu saja banyak perbedaan, misalnya gaji guru yang PNS dengan yang honorer, atau gaji guru swasta. Namun gambaran rendahnya gaji guru untuk menunjukkan bahwa dengan latar belakang kondisi kesejahteraan yang berbeda, bisa saja berpengaruh pada cara mengajar di sekolah. Mungkin harus ada penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut.
      Melihat kondisi latar belakang sistem pendidikan  yang berbeda-beda di berbagai daerah di tanah air, tentu saja mempengaruhi kualitas ajar-mengajar. Betapa tidak, kondisi geografis yang jauh dan sarana transportasi yang kurang memadai serta waktu tempuh yang lama, tentunya membuat lelah murid dan guru di sekolah. Sungguh ironi bila harus dibandingkan kondisi sekolah di kota-kota besar dengan sarana dan fasilitas yang lengkap serta infrastruktur yang memadai.
     Ekslusi pendidikan terlihat disini, bahwa antara murid yang berasal dari daerah dan kondisi sosial ekonomi orangtua yang tidak mampu, membuat anak terekslusi. Mereka tidak dapat menikmati pendidikan selayaknya. Menggunakan sepatu, tas dan seragam bersih, naik mobil atau angkutan umum atau bahkan belajar di ruang kelas yang nyaman. Kualitas bangunan sekolah yang berbeda seakan menjadikan anak murid daerah (miskin) merasa tertinggal, kondisi ini merupakan deprivasi sosial. Kurangnya akses untuk mendapat sesuatu yang memang sudah seharusnya diperoleh karena bagian dari hak pemenuhan kebutuhan dasar..
      Ekslusi tampak sangat jelas bila dikaitkan dengan Ujian Nasional (tingkat SLTP dan SLTA). Kebijakan ini seakan menutup mata terhadap kesenjangan mutu pelayanan sekolah di pelosok tanah air. Dan seringpula mengakibatkan kecurangan-kecurangan (sampai akhirnya guru turut berbuat curang demi mendongkrak kelulusan murid-muridnya). Semua tenaga dan pikiran dicurahkan hanya untuk mengejar angka kelulusan Ujian Nasional (UN). Sekolah yang berhasil mencapai angka UN tinggi tentu akan mendapat peringkat yang tinggi. Ekslusi tidak saja terjadi pada anak murid, tetapi terjadi pada sekolah yang minim fasilitas berhadapan dengan sekolah dengan fasilitas lengkap di perkotaan. Sungguh tidak adil bila angka kelulusan berdasarkan UN yang didasarkan pada nilai standar, padahal sarana dan prasarana setiap daerah berbeda-beda. Ujian Nasional terkesan hanya untuk membuat standardisasi. Bila ditelaah bagaimana mungkin standar tunggal diberlalukan, bila latar belakang sosial ekonomi anak berbeda. Seorang anak SMP di desa terpencil di Kupang yang seumur-umur belum pernah menggunakan komputer harus bersaing dengan anak sekolah dari Menteng, Jakarta Pusat yang sudah terbiasa mengakses internet untuk mendapatkan data dan ilmu pengetahuan tambahan. Disinilah tejadi ekslusi sosial, ada urban bias dimana orientasi pendidikan lebih ke kota.
       Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh masih tetap menyelenggarakan Ujian Nasional meski banyak pertentangan. Sebenarnya Mahkamah Agung pada keputusan Bulan November 2009 melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional yang diajukan pemerintah. Sehingga sebenarnya pemerintah melakukan tindakan ilegal bila masih tetap melaksanakan Ujian Nasional. Dalam keputusan tersebut, pemerintah baru boleh  melaksanakan UN bila telah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap dan merata diseluruh daerah. [8]
“UN 2013 tetap dijalankan dengan sejumlah perubahan dilakukan, diantaranya diberikannya 20 paket variasi soal UN 2013, hal ini berbeda dengan UN tahun 2012 yang hanya diberikan lima variasi soal. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, saat memberikan keterangan pers di Gedung A Kemdikbud, Jakarta, Kamis (11/10/12), menegaskan bahwa UN secara legal yuridis pelaksanaannya berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah. Kemudian dari sisi akademik sampai bentuk soal pilihan ganda juga ada dasarnya. “Insya Allah tahun depan UN tetap dilakukan, tetapi ada beberapa perubahan’.[9]     
      Ujian Nasional juga terkesan hanya sebagai proyek tahunan semata, sesungguhnya yang terpenting adalah pemenuhan pendidikan yang adil dan berkualitas sehingga membuat anak mampu meningkatkan derajat kualitas kehidupannya dimasa depan. Seorang anak yang memiliki pendidikan yang baik, tentunya akan memperoleh human capital  atau modal kemampuan dalam diri yang tentunya dapat  mencapai kedudukan (pekerjaan) yang lebih baik. Status dan peran orang tua biasanya diwariskan ke anak, namun bila anak memiliki human capital yang baik yang diperoleh dari pendidikan yang berkualitas, tentunya akan meningkatkan status anak dan orangtua dalam masyarakat. Hal ini yang dimaksud dengan mobilitas sosial. Dimana status sosial  meningkat yang diperoleh dari pendidikan, pekerjaan penghasilan. Sebagai contoh, seorang anak tukang becak mampu bersekolah hingga menjadi menjadi sarjana. Sebagai seorang lulusan perguruan tinggi dia dapat  memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang baik, sehingga kesejahteraannya meningkat. Sebaliknya  bila seorang anak sulit mendapatkan pendidikan yang baik, maka kemiskinan orangtua diwariskan ke anak dan seterusnya.

3. Pendidikan sebagai bagian dari elemen Ekslusi Sosial

      Pendidikan sangat erat kaitannya dengan mobilitas sosial. David Byrne mengatakan “our focus on education will be closely related to what is generally called ‘social mobility’ but might  better be understood as the ways in which formal education processes generate a mix of ‘human capital’ and ‘cultural capital’ which are key control parameters determining the character of trajectories of individual lives”.[10] Human capital dan Cultural Capital merupakan  kunci  parameter dalam menentukan “nasib” kehidupan seseorang. Pemikiran Teori  Human Capital didasarkan atas penanaman perilaku yang memberikan prirotas pada pilihan-pilihan yang disukai (preferences) diantara keterbatasan dan pilihan-pilihan atas berbagai kesempatan. [11] Hal inilah yang membuat orang memusatkan pentingnya pendidikan.  Cultural Capital  adalah keadaan seseorang yang memiliki disposisi yang baik,  kompetensi,  preferences yang diraih melalui proses sosialisasi dan hasilnya berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi.[12]
          Kebijakan pendidikan mengenai wajib belajar merupakan tanggungjawab pemerintah, sehingga semua anak-anak dapat bersekolah tanpa kecuali.  Bila hal ini terselenggara dengan baik, maka kebijakan ini bersifat inklusif. Namun berkenaan dengan Ujian Nasional, kebijakan ini cenderung tidak adil. Ada kelompok yang mengalami eksklusi sosial, karena adanya ketidakmerataan mutu pendidikan (antara sekolah di kota dan pelosok pedesaan). Yang dimaksud dengan Eksklusi Sosial adalah : a multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined; participation in decision making and political process, access to employment and material resources, and integration into common cultural process.[13] Yakni suatu proses multidimensi, dari berbagai bentuk eksklusi yang dipadukan; proses berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan berpolitik, akses bagi pekerja dan sumber daya material, serta integrasi kedalam proses kultur yang ada.
      Implikasi eksklusi sosial dalam kebijakan pendidikan selain mengakibatkan kekurangan human capital, juga  mengakibatkan kekurangan social capital atau modal sosial yang sangat diperlukan untuk membangun bangsa. Tenaga kerja yang berkualitas tentu sangat dibutuhkan dalam pasar dan dunia industri agar dapat memperoleh economy capital.  Proses ini merupakan eksklusi yang secara sistematis terjadi akibat  kebijakan pemerintah. Peran struktur yang belum dapat memberikan pendidikan berkualitas secara adil membuat individu tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Kultur yang berupa nilai-nilai yang ditanamkan melalui penerapan Ujian Nasional belum membawa perbaikan, bahkan kultur persaingan antar sekolah untuk mengejar rangking sekolah unggulan menghasilkan iklim pendidikan yang hanya mementingkan target angka kelulusan, sehingga budaya mengajar dan mendidik beralih menjadi pembahasan dan pelatihan soal-soal ujian nasional. Anak tidak lagi dibiasakan membaca buku, tetapi lebih dibiasakan mengerjakan soal-soal yang terdapat pada buku lembaran soal. Ujian Nasional mengingkari keberagaman anak. Disamping perbedaan sosial ekonomi, anak memiliki minat, bakat dan mimpi yang berbeda-beda. Bila dipaksakan akan “melukai’ anak, karena penilaian berdasarkan ujian akan membuat anak-anak merasa tersingkirkan karena dianggap tidak pandai bila nilainya buruk.
          Berkenaan dengan wajib belajar, kebijakan pemerintah untuk menerapkan wajib belajar 9 tahun secara gratis melalui program Bantuan Operasional Sekolah belum dapat dinikmati oleh sebagian anak-anak. Jumlah anak putus sekolah tingkat sekolah dasar masih tinggi. Data
pada Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 sediktinya 483.000 anak usia SD tidak lagi meneruskan pendidikan. Mereka ada yang berhenti sebelum kelas 6 dan ada juga yang tidak melanjutkan ke tingkat SMP.[14]  Berdasarkan data tersebut, wajib belajar belum dapat menjaring sebagian anak-anak Indonesia untuk bersekolah. Ada kendala yang mungkin tidak terkait langsung dengan pembayaran uang sekolah. Tetapi misalnya ada pungutan-pungutan lain diluar uang sekolah, tak mampu membeli buku, sepatu,tas, dll, juga terkendala keharusannya mencari nafkah dalam membantu orang tua di sawah atau ladang atau dilautan mencari ikan. Maka anak masih mengalami eksklusi dalam memperoleh pendidikan.
      Bila kebijakan wajib belajar sudah terstruktur dengan baik sampai ke pelosok pedesaan, maka hak-hak dasar anak untuk sekolah dapat  terpenuhi, ditambah dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan lainnya diluar permasalahan uang SPP. Anak-anak yang tidak sekolah, tereksklusi oleh lingkungannya yang memang belum menerapkan kultur tentang arti pentingnya sekolah. Penanaman Kultur, dalam hal membudayakan anak bersekolah harus sebagai cultural capital yang ditanamkan kepada orangtua dan masyarakat  bahwa belajar atau menuntut ilmu adalah hak setiap anak, sehingga  lingkungan sekitarnya harus mendukung, misalnya pada saat jam sekolah anak tidak diperkenankan berkeliaran atau bekerja. Disamping itu masyarakat sekitar harus memperhatikan dan melaporkan kepada pihak berkepentingan (dinas pendidikan setempat) apabila ada anak yang tidak sekolah. Bila masyarakat sudah mempunyai cultural capital tentang arti pentingnya pendidikan, maka akan terbentuk social capital dimana setiap anak dapat bersekolah bahkan hingga perguruan tinggi sehingga menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas, yang akhirnya dapat memberikan sumbangan ekonomi, atau economy capital. People are not poor because they are deficient in human capital, they are deficient in human capital, because they are poor”.[15]
      Berkaitan dengan hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni akses untuk mendapatkan pendidikan, partisipasi jumlah anak yang mendapatkan pendidikan (adil dan berkualitas), serta pengawasan bagi anak-anak  agar tidak putus sekolah. Sehingga pendidikan tidak saja berfungsi sebagai transmisi pengetahuan dan ketrampilan, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk mobilitas sosial dan meritocracy (penghargaan berdasarkan prestasi). “People who lack a good education are vulnerable to poverty, and they would certainly benefit from a more equitable educational system”.[16]

4. Pendidikan di Indonesia dalam Paradigma Ekslusi Sosial

     Konsep Eksklusi Sosial berdasarkan aspek ekonomi dan sosial dai kemiskinan yang memanfaatkan aaspek sepeti hak berpolitik dan berkewaranegaraan dalam kerangka hubungan antar individu dengan negara seperti layaknya hubugan antara masyarakat dan individu. Pendekatan eksklusi sosial berusaha untuk memahami hubungan antara kemiskinn, pekerjaan produktif dan integrasi sosial sehingga dapat digunakan untuk memahami berbaai kebijakan. Menurut Hillary Silver,  ada tiga pendekatan eksklusi sosial yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan integrasi sosial, yakni Solidaritas, Spesialisasi dan Monopoli. bahwa konsep eksklusi di konseptualisasikan berdasarkan cara-cara yang berbeda:[17]
a. Paradigma Solidaritas penekanannya pada adanya nilai utama bersama (core of shared values), suatu “moral komunitas” dalam  tatanan sosial yang dikonstruksikan, dan adanya proses-proses asimilasi individu kedalam komunitas serta kemampuan untuk dapat mengekspresikan keanggotaan mereka untuk menunjukkan bagaimana pentingnya partisipasi aktif.
b. Paradigma Spesialisasi berasal dari pemikiran liberal bahwa masyarakat dibentuk dari individu-individu yang memiliki batasan hak dan kewajiban. Dan mereka memiliki perbedaan minat dan kemampuan. Struktur masyarakat yang dibangun berdasarkan pembagian tenaga kerja dan pertukaran dalam lingkup baik ekonomi dan sosial.
c. Paradigma Monopoli. Dalam masyarakat tampak ada konflik inheren dengan kelompok lain yang mengendalikan sumber-sumber dan berupaya melindungi diri melawan domain dari luar  yang membangun lingkup batasan dan akses yang terbatas untuk mereka saja. 
      Dalam ekslusi sosial pendidikan, yang terdapat didalamnya hak dan kewajiban, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan basic right atau hak dasar warga yang harus dipenuhi oleh negara. Pendidikan dan Citizenship ini merupakan gambaran bagaimana bekerjanya suatu negara dalam mensejahtaterakan rakyatnya. Namun, terdapat proses dimana ada sekelompok anak-anak yang secara sistematis dieksklusikan dari proses pembangunan pendidikan berdasarkan ketidakmampuan ekonomi. Kebijakan Wajib belajar belum dapat menyerap sepenuhnya partisipasi anak untuk bersekolah. Kendala seperti pungutan dan biaya diluar SPP dapat membenani murid, sehingga putus sekolah. Disamping itu, kebijakan Ujian Negara sebagai contoh bagaimana anak di daerah pelosok pedesaan yang minim sarana dan fasilitas  dieksklusikan berdasarkan standar nilai ujian  yang bias urban.
      Pendekatan solidaritas merupakan paradigma dapat digunakan dalam mengatasi eksklusi pendidikan di Indonesia yang menempatkan pada cara dalam lingkup budaya dan moral dimana ada nilai utama bersama (core of shared values) yakni wajib belajar sebagai  suatu “moral komunitas” dalam  tatanan sosial yang dikonstruksikan. Solidaritas harus dibangun, melalui tatanan sosial yang disepakati bersama, melebihi kepentingan individu, kelompok atau kelas. Bersifat eksternal, moral dan normatif.[18]
      Pemerintah berupaya memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah agar semua warga dapat sekolah. Harus ada proses-proses asimilasi individu kedalam komunitas, dalam hal ini “pemaksaan” agar anak dapat bersekolah. Masyarakat harus turut berperan dalam mensukseskan program tersebut. Komunitas aktif memberi kritik dan saran serta menekan pemerintah agar program wajib belajar dapat terselenggara dengan baik. Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya partisipasi aktif.
      Paradigma Monopoli yang berdasarkan pandangan bahwa tatanan sosial sebagai unsur pemaksaan yang diberlakukan melalui seperangkat hubungan kekuasaan yang hirarkis. Weber menggunakan istilah “closure” atau penutupan untuk menunjukkan suatu proses dari subordinasi dimana satu kelompok memonopoli keuntungan dengan menutup kesempatan pada kelompok luar yang dimaknai sebagai inferior atau tidak memenuhi syarat. [19]
      Penggunaan paradigma monopoli ini digunakan untuk memahami kebijakan pemerintah atau Kementerian Pendidikan Nasional dalam menyelenggarakan ujian nasional yang dibuat atas keinginan pemerintah sebagai proyek tahunan tanpa mendengarkan kepentingan masyarkat. Meski Mahkamah Agung pada keputusan Bulan November 2009 melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional untuk murid SMP dan SMA, namun masih tetap dilaksankan. Sehingga sebenarnya pemerintah melakukan tindakan ilegal bila masih tetap melaksanakan Ujian Nasional. Bila pemerintah kurang mendengar aspirasi rakyat terutama yang berkaitan dengan ujian nasional, maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menjadi media yang berfungsi sebagai mobilitas sosial.




-meita-


Sumber  :

1.      Scotland in “Sosial Policy&Society” 3:2. hal 113-121 by Nigel Johnsosn, 2004. Cambridge University Press.

  1. TH. Marshall. Citizenship and Social Class dala States and Society, ed David held. Basil Blackwell The Open University. 1983.


4.      Kompas, 6 Desember 2005.

5.      Litbang Kompas.

  1. Kompas, 26 Jauari 2008

  1. Republika 22 November 2005

8.      Bambang Wisudo. Pendidikan Untuk Semua dalam Jurnal Perempuan.

  1. http://www.ujian-nasional.info/2012/11/un-2013-tetap-dilaksanakan.html

10.  Byrne, David. Social Exclusion. Open University Press. Mc Graw-Hill Education. 2005.

  1. http://dir.groups.yahoo.com/group/Kasih-Dharma-Peduli/message/571

  1. Social Exclusion : Rhetoric, Reality, Responses. Ed by Gerry Rodgers, Charles Gore dan Jose B Figueredo. ILO-UNDP 1995

  1. Royce, Edward. Peverty & Power. Rowman& Littlefield Publisher



[1] Scotland in “Sosial Policy&Society” 3:2. hal 113-121 by Nigel Johnsosn, 2004. Cambridge University Press.
[2] TH. Marshall. Citizenship and Social Class dala States and Society, ed David held. Basil Blackwell The Open University. 1983. hal 249.
[3] http://gemaislam.com/berita/indonesia-news-menuitem/796-tahun-depan-wajib-belajar-di-indonesia-menjadi-12-tahun.
[4] Kompas, 6 Desember 2005.
[5] Litbang Kompas.
[6] Kompas, 26 Jauari 2008
[7] Republika 22 November 2005.
[8] Bambang Wisudo. Pendidikan Untuk Semua dalam Jurnal Perempuan. Hal 30.
[9] http://www.ujian-nasional.info/2012/11/un-2013-tetap-dilaksanakan.html
[10] Byrne, David. Social Exclusion. Open University Press. Mc Graw-Hill Education. 2005. hal 133

[11] Royce, Edward. Peverty & Power. Rowman& Littlefield Publisher.hal 73.

[12] Ibid. Hal 77

[13] Byrne, David, op cit  hal 2.

[14] http://dir.groups.yahoo.com/group/Kasih-Dharma-Peduli/message/571

[15] Royce, Edward. Op cit. Hal 75
[16] Ibid. Hal 233.
[17] Silver H. Social Solidarity and Exclusion: Three paradigms. Dalam Social Exclusion : Rhetoric, Reality, Responses. Ed by Gerry Rodgers, Charles Gore dan Jose B Figueredo. ILO-UNDP 1995. hal 7.
[18] Ibid hal 66.
[19] Ibid hal 69

3 komentar:

  1. Halo semuanya
    Nama saya Josephine jumawan caballo, saya tinggal di orion bataan, phillipine. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang baik kepada ibu karina roland karena telah membantu saya mendapatkan pinjaman yang baik setelah saya mengalami pinjaman pinjaman online palsu yang menipu saya untuk mendapatkan uang tanpa memberikan pinjaman, saya telah membutuhkan pinjaman selama 2 tahun yang lalu untuk memulai bisnis saya sendiri di kota orion bataan tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di dubai yang menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman. dan saya sangat Frustras karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di dubai, karena saya berhutang bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya apa-apa untuk dijalankan, pada hari yang sangat setia itu teman saya menelepon susan Ramirez setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu karina roland, jadi saya terpaksa menghubungi susan ramirez dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu karina roland bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya terpaksa memberanikan diri dan saya menghubungi ibu karina roland dan saya terkejut dengan pinjaman saya yang diproses dan diluluskan dan dalam waktu 6 jam pinjaman saya ditransfer ke rekening saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus memberikan informasi tentang pekerjaan baik ibu karina roland jadi saya menyarankan setiap orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi e-mail Nyonya karina roland: (karinarolandloancompany@gmail.com) atau hanya whatsapp +15857083478 dan saya jamin Anda akan memberikan informasi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Ny. karina Rola nd email saya: (josephinejumawancaballo@gmail.com) semoga Tuhan terus memberkati dan mencintai karina roland 'ibu untuk merubah kehidupan finansial saya.

    BalasHapus
  2. Jika bank Anda mengatakan tidak kepada Anda untuk pinjaman, ada tempat otentik di mana Anda bisa mendapatkan pinjaman asli. Saya ingin mendapatkan pinjaman institusi yang saya temukan online untuk semua saudara dan saudari Muslim yang sedang mencari pinjaman cepat untuk segera menyelesaikan masalah yang diinginkan. Saya mendapat pinjaman Rp.700.000.000. dari ibu KARINA ROLAND LOAN COMPANY yang saya gunakan untuk merenovasi rumah sakit dan untuk melengkapi bisnis saya. Saya mendapat pinjaman dari mereka beberapa bulan lalu. Saya meminjam dari mereka karena ada banyak perusahaan pinjaman palsu online. Saya juga memperkenalkan adik saya yang juga mendapat pinjaman Rp. 500.000.000 PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA. Sebelum saya menghubungi mereka untuk mendapatkan pinjaman, saya juga melakukan banyak penelitian tentang mereka dan menemukan mereka benar-benar otentik. Mereka tidak seperti perusahaan pinjaman barat yang palsu. Jadi saya meminta pinjaman tanpa jaminan dengan mereka. Mereka memberikan pinjaman sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Tidak Ada Jaminan. Tidak ada biaya tersembunyi. Mereka memberikan proses yang cepat dan sederhana. Tapi Anda harus bisa menyetujuinya. dan Anda juga harus membayar kembali pinjaman mereka pada waktunya. Saya ingin meminta semua Muslim sejati dan bukan muslim untuk menghubungi ibu karina yang baik di email atau whatsapp: +15857083478 (karinarolandloancompany@gmail.com) Anda dapat menghubungi saya untuk nasihat juga melalui email (nurraysadiena@gmail.com)

    BalasHapus
  3. NAMA SAYA: MRS MARIA ARTIKA
    NEGARA: INDONESIA
    KOTA: BATU MALANG JATIMMY
    WHATSAPP: +62877-4316-8500
    HIBAH PINJAMAN: Rp350.000.000,00
    EMAIL SAYA: mariaartika27@gmail.com

    Saya ingin memulai dengan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah kehidupan.
    Nama saya MRS MARIA ARTIKA dan saya ingin berbagi cerita yang baik tentang KARINA ROLAND LOAN COMPANY. Favorit, perusahaan yang mampu secara finansial membuat hidup saya berbalik.
    Saya mengalami kesulitan keuangan selama beberapa waktu dan saya harus meminjam dari teman-teman saya karena saya berharap dapat melunasinya setelah menerima pembayaran saya.
    Dan ketika menghadapi hidup saya berubah menjadi yang terburuk, saya dipecat dari pekerjaan dan saya kehilangan ibu saya beberapa bulan kemudian. Setelah ibu saya dimakamkan, teman-teman saya mulai meminta uang mereka kembali.
    Tetapi kompilasi saya mengira hidup saya sudah berakhir, saya sebenarnya berusaha untuk melarikan diri, sekarang TUHAN menggunakan teman dan tetangga saya Bu Rini anggraeni yang membantu saya untuk menghubungi IBU KARINA yang mengatakan bahwa teman dari Indonesaia menghubungkannya dengan IBU KARINA, jadi saya menceritakan kisah saya kepada ibu, dia meminta dokumen yang saya tunjukkan dan sebelum saya menyadarinya permintaan pinjaman saya sebesar Rp350.000.000,00, sebelumnya saya telah meminta tiga perusahaan pinjaman online yang lebih baik untuk tidak membutuhkan bantuan positif, tetapi IBU KARINA ROLAND melalui pinjamannya perusahaan, KARINA ROLAND LOAN COMPANY telah mengubah hidup saya dan saya telah memutuskan sebelumnya bahwa saya akan terus membagikan cerita ini sehingga warga negara saya dapat memanfaatkannya, berharap dapat meminjamkan pinjaman kepada orang yang terkena banjir. Proses persetujuan kredit saya telah selesai dan saya telah menerima surat persetujuan dari perusahaan yang menyetujui say yes harus memberikan bank saya. Saya menerima permintaan dari bank saya yang menyatakan bahwa rekening bank saya telah dikreditkan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp350.000.000,00 yang saya minta. KARINA ROLAND LOAN COMPANY adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang nyata dan tulus di seluruh dunia, jadi jangan ragu untuk menghubungi MOTHER KARINA di saluran ini. Anda dapat menghubungi perusahaan ini melalui atau email whatsapp: karinarolandloancompany@gmail.com, whatsapp +1585 708-3478, begitulah hidup saya berubah dan saya akan terus membagikan kabar baik agar semua orang dapat melihat dan menghubungi perusahaan baik yang mengubah hidup saya .
    Anda juga dapat menghubungi saya jika Anda membutuhkan bantuan saya atau Anda ingin bertanya kepada saya tentang bagaimana saya mendapatkan pinjaman saya. Ini email saya: mariaartika27@gmail.com

    PERUSAHAAN PINJAMAN ROLAND KARINA
    HANYA WHATSAPP: +1585 708-3478
    NAMA FACEBOOK: KARINA ELENA ROLAND
    EMAIL: KARINAROLANDLOANCOMPANY@GMAIL.COM

    BalasHapus