Jumat, 18 Januari 2013

Kasus Bullying di Lembaga Pendidikan Berdasarkan Perspektif Sosiologi






Hampir setiap tahun terutama pada saat tahun ajaran baru,  terdengar kasus tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Tindakan memperlakukan seorang anak menjadi bahan ejekan, cemohan, bahkan tindakan fisik yang dilakukan oleh sesama teman atau kakak kelas, sering di istilahkan dengan Bullying. Kasus terakhir bullying yang ramai dibicarakan adalah kasus yang terjadi di SMA Don Bosco, Pondok Indah Jakarta Selatan.

Usai Masa Orientasi Siswa, petugas Polres Metro Jakarta Selatan mendapatkan laporan dugaan aksi kekerasan atau bullying yang dialami siswa kelas 1 SMA Don Bosco Pondok Indah Jakarta. Salah seorang korban  diduga mengalami memar dan luka bakar terkena puntung rokok yang sengaja dibakar oleh kakak kelasnya. Selain itu lima orang lainnya, pelajar  kelas 1 SMA Don Bosco juga menjadi korban kekerasan para kakak kelasnya.[1]

Tidak hanya di Indonesia, kasus Bullyng juga menjadi keprihatian di Amerika. Berikut ini adalah hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat mengenai kasus Bulying : [2]

 Peneliti di Amerika Serikat menemukan anak-anak yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu atau kelebihan berat badan cenderung menjadi korban penindasan atau bullying teman-temannya.  Mereka menemukan bahwa target bullying yang mengalami penindasan merasa lebih tertekan, cemas dan memiliki kualitas hidup yang rendah daripada mereka yang tidak menajdi target. Bullying menjadi perhatian diantara para orang tua, dokter, dan pihak sekolah sejak penelitian dan pemberitaan menunjukkan adanya kaitan antara bullying, termasuk penindasan melalui internet "cyberbullying", dengan depresi bahkan bunuh diri. "Ada perubahan, dimana selama ini korban hanya menjadi bahan lelucon kini menjadi penindasan " kata Dr. Mark Schuster, Kepala Pediatrik Umum di Rumah Sakit Anak Boston dan profesor di Harvard Medical School.

Studi terdahulu menyebutkan antara satu dari sepuluh dan satu dari tiga anak dan remaja mengalami penindasan, tapi angka itu bervariasi , bergantung pada lokasi dan demografi. Dua studi baru mengenai bullying dimuat di Jurnal Pediatrics (Pediatrics Journal, 24 Desember 2012). Dalam penelitiannya, Dr. Eyal Shemesh dari Mount Sinai Medical Center di New York dan rekan-rekannya memeriksa 251 anak yang pernah mengunjungi klinik alergi, juga orang tua mereka. anak-anak yang didiagosa alergi itu berusia delapan hingga 17 tahun.
45 persen dari mereka pernah ditindas atau dilecehkan tanpa sebab yang jelas, sedangkan 32 persen dilaporkan ditindas karena alrgi terhadap sesuatu. "Temuan kami ini sepenuhnya konsisten dengan apa yang kita temui pada anak penyandang cacat," kata Shemesh, seperti yang dikutip dari Reuters. Alergi makanan, katanya, "adalah kelemahan yang mudah dieksploitasi, jadi tentu akan dieksploitasi."Anak-anak yang berpartisipasi dalam studi itu mayoritas berkulit putih dan berasal dari keluarga yang beruntung, yang menurut Anda tidak akan dijadikan target, kata Shemesh. Jadi, bullying mungkin lebih sering terjadi pada mereka yang kurang beruntung yang juga punya alergi makanan. Tapi, alergi makanan tidak menjadi satu-satunya alasan penindasan oleh rekan sebaya. Dalam studi lain, tim peneliti dari Yale University di News Haven, Connecticut, menemukan nyaris dua pertiga dari 361 remaja yang ikut di kamp penurunan berat badan ditindas karena berat badan mereka. Kemungkinan itu meningkat dengan berat badan, anak-anak yang berbobot paling berat berpeluang 100 persen menjadi korban penindasan, kata Rebecca Puhl dan rekan-rekannya. Pelecehan verbal menjadi bentuk penindasan yang paling sering terjadi. Selain itu, lebih dari setengah anak yang ditindas dilaporkan diejek melaui sms dan e-mail.

Bullying bukan hanya terjadi di sekolah saja, melainkan juga di kampus-kampus. Masih segar dalam ingatan ketika seorang mahasiswa ISPDN meninggal dunia karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh para seniornya di kampus. Demikian juga ketika seorang mahasiswa ITB   tewas karena tindak kekerasan  ketika masa orientasi mahasiswa baru.  Berbagai kasus bullying dilingkungan sekolah atau kampus membuat prihatin para orangtua, guru termasuk para siswa atau mahasiswa.

Dalam suatu kesempatan,  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai bahwa tindak kekerasan atau "bullying" di sekolah dalam masa orientasi sebagai suatu sikap yang telah keluar dari nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan pendidikan. Presiden menghimbau agar masa orientasi berjalan dengan baik tanpa kekerasan. "Saya pernah menegur dengan keras dan memberikan tindakan disiplin ketika terjadi aksi-aksi kekerasan di IPDN Jatinangor," kata Presiden.  Presiden  menilai tidak masuk akal sebuah sekolah yang mempersiapkan pejabat pemerintah memiliki metode penuh kekerasan. "Bayangkan untuk mempersiapkan pejabat pemerintahan, metodenya penuh dengan kekerasan, sampai ada yang meninggal, ada yang cacat, ada yang dipulangkan karena sakit. Betapa sedihnya orang tua mereka ada kasus-kasus seperti itu.[3]

Komnas Perlindungan Anak (PA) setiap tahun mendata kasus bullying, sampai saat ini kasus terbanyak tahun 2011, yakni  ada 139 kasus bullying di lingkungan sekolah.  Sedangkan untuk tahun 2012 terdapat  36 kasus. Menurut Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak,  banyaknya kasus bullying di sekolah karena adanya pengajakan yang dilakukan oleh senior terhadap junior agar tunduk terhadap perintah.
"Maksud bullying karena di dalamnya terjadi pengajakan, artinya digunakan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas. Dan bila terdapat tindak kekerasan atau penindasan, itu semua termasuk dalam pelanggaran undang-undang perlindungan anak. [4]

Bullying sebagai masalah sosial

Tidak semua proses sosial yang ada pada masyarakat berjalan dengan normal, ada gejala-gejala yang dianggap tidak normal oleh masyarakat sehingga dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Keadaan ini merupakan masalah sosial yang berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Suatu persoalan sosial tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dari berbagai persoalan yang memiliki hubungan, yang saling mempengaruhi satu dan lainnya.

Dalam menentukan apakah suatu masalah merupakan problem sosial atau tidak, sosiologi menggunakan beberapa pokok persoalan sebagai ukuran, yaitu :[5]
1.      Tidak adanya kesesuaian antara ukuran/nilai-nilai sosial dan kenyataan/tindakan sosial. Dalam kasus bullying ada ketidaksesuaian nilai yang berkaitan dengan tindak kekerasan, pelecehan dan penindasan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada berdasarkan UU perlindungan anak.
2.      Sumber-sumber permasalahan berasal dari gejala hubungan antar manusia. Dalam kasus bullying, melibatkan hubungan antar sesama murid, adik kelas dan kakak kelas, atau yunior dan senior, orangtua murid, guru dsb.
3.      Pihak-pihak yang menentukan, apakah suatu kepincangan merupakan gejala sosial atau tidak. Berbagai pihak memberi pandangan terhadap masalah bullying, mulai dari pemerhati pendidikan, lembaga perlindungan anak, hingga presiden.
4.      Manifest social problems dan latent social problems. Manifest  merupakan masalah sosial yang timbul karena ada kepincangan nilai dan norma yang senyatanya ada, sedangkan latent,  meski masalah itu menimbulkan kepincangan nilai dan norma, tetapi masalah tersebut belum tampak atau belum diakui oleh masyarakat.
5.      Perhatian masyarakat sebagai permasalahan sosial. Ada masyarakat yang memperhatikan kasus bullying , namun ada pula yang tidak memperhatikan. Sosiolog dalam hal ini memiliki patokan atau standar nilai dan norma sosial yang seharusnya tejadi dalam perilaku sosial. 

Penyelesaian kasus bullying selama ini berakhir dengan perdamaian, meski awalnya melibatkan polisi. Menurut Arist dari Komnas Perlindungan Anak, pihak kepolisian punya hak untuk mendamaikan sebelum dibawa ke jalur pengadilan. Kalaupun pihak kepolisian tidak mampu, bisa memanggil tokoh masyarakat. Bila tidak ada kata sepakat dari orangtua keduabelah pihak, maka ditempuh jalur pengadilan (detik.com).

Melihat Bullying dari Perspektif Sosiologi.

Kasus bullying melibatkan kelompok anak yang memiliki power terhadap anak lainnya yang lebih powerless. Oleh karena itu konsep yang digunakan adalah “kelompok”. Istilah kelompok diartikan sebagai sejumlah manusia dengan norma, nilai dan harapan yang sama yang saling berinteraksi secara teratur. Anggota kelompok berbagi perasaan saling memilki.
Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder: [6] Charles Horton Cooley memberi istilah kelompok primer untuk merujuk pada kelompok kecil yang dicirikan oleh intimitas, asosiasi tatap muka, dan kerja sama. Misalnya kelompok Geng.  Kelompok primer memainkan peran vital, baik dalam proses sosialisasi maupun pembangunan peran dan status. Kelompok Sekunder tidak dicirikan oleh ikatan persahabatan yang erat, seperti kelas kuliah atau angkatan. Kelompok ini lebih bersifat formal impersonal, tidak ada kedekatan.

Dalam kasus Bullying  ada status kakak kelas atau dalam istilah anak-anak sekolah, kelas Dewa (untuk kelas 3 SMA). Mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok primer. Satus kelas dewa ini  “disepakati”  bersama, sehingga murid baru yang statusnya sebagai adik kelas  menerima peran dirinya yang  “siap” disuruh-suruh atau diperintah oleh seniornya.  Dari sini terjadi penindasan dan aksi kekerasan, terutama bila ada ketidakpatuhan dari kelompok  junior. Kelompok Sekunder tidak dicirikan oleh ikatan persahabatan yang erat, seperti kelas,  atau angkatan. Mereka teman satu angkatan, teman satu sekolah atau satu kampus yang tidak akrab.

Kelompok Dalam dan Kelompok Luar:[7] Dikemukakan oleh William Graham Sumner. Kelompok Dalam dapat didefinisikan sebagai kelompok atau kategori apapun dimana orang merasa nyaman berada didalamnya. Terdiri dari siapa saja yang dianggap “kita” atau “kami’. Anggota kelompok dalam biasanya merasa berbeda dan unggul. Perilaku yang pas untuk Kelompok Dalam  secara bersamaaan dilihat sebagai perilaku yang tidak pantas bagi Kelompok  Luar. Keberadaan dari sebuah Kelompok Dalam menyiratkan bahwa ada sebuah kelompok luar yang dilihat sebagai “mereka”, yakni kategori dimana orang yang tidak merasa termasuk didalamnya.
Dalam kasus bullying, Kelompok Dalam adalah kakak kelas yang memiliki rasa lebih unggul atau berbeda  dengan adik-adik kelas. Mereka merasa lebih “jagoan” atau hebat. Namun tidak semua bisa tergabung dalam Kelompok Dalam, meski sesama kelas 3 hanya beberapa orang yang bisa masuk. Keberadaanya sebagai bagian dari “kami” atau “kita” sangat kuat. Ada nilai-nilai yang mereka sepakati bersama, nilai-nilai ini antara lain  adalah senior, hebat atau jago. Keberadaan Kelompok Dalam ini membuat mereka merasa “bebas” melakukan bulyying terhadap teman-temannya yang berada diluar Kelompok Dalam, bahkan bisa juga terhadap teman-teman satu angkatannya.
Intervensi yang dapat dilakukan
Kasus Bulying harus dihentikan, untuk itu diperlukan keterlibatan, dari pihak pemerintah dalam hal ini Kemendiknas, pihak sekolah: kepala sekolah, guru maupun  orangtua murid dan murid. Untuk mencermati hal ini dapat dilihat berdasarkan Struktur, Kultur dan Proses.[8]
Struktur : Kementerian Pendidikan Nasional harus mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan Masa Orientasi Siswa/Mahasiswa baru (MOS), yang tidak boleh ada unsur kekerasan. Bila terjadi, maka sekolah atau kampus akan terkena sangsi. Pihak Sekolah/kampus harus terlibat aktif dalam perencanaan kegiatan siswa yang berkaitan dengan MOS. Dibuat peraturan yang lengkap dengan petunjuk teknis pelaksanaan.
Kultur : Nilai, norma atau kepercayaan (value, norms, belief) yang berlaku didalam sekolah/kampus yang berkaitan dengan keberadaan Kelompok Primer atau Kelompok Dalam, harus disalurkan dalam kegiatan lain yang lebih positif.  Core Shared Value yang membangun rasa solidaritas dan kebersamaan yang dimiliki oleh kelompok primer atau kelompok dalam harus tersebar keseluruh murid. Untuk itu dibuat kegiatan yang membangun rasa kebersamanaan (misalnya out bond, pentas seni atau training motivasi/spiritual), sehingga semua murid “melebur” bersama. Kegiatan belajar mengajar harus disisipkan dengan materi  yang sarat dengan nilai kemanusiaan, dapat diberikan setiap guru mengajar dalam bentuk hiddden curriculum.
Proses : Dalam melaksanakan kegiatan ajar mengajar, Pihak sekolah harus sensitif melihat dengan siapa dan bagaimana murid-muridnya berteman. Kontrol sosial sangat penting baik bagi guru dalam mengawasi murid-murid disekolah juga bagi orangtua dalam melihat pergaulan anak-anaknya. Interaksi antara murid dengan murid, guru/kepala sekolah dengan murid, persatuan orang tua murid, komite sekolah harus terjalin. Interaksi aktif tidak harus dalam bentuk formal, dapat dilakukan dalam situasi sehari-hari, bersifat informal (saling tegur sapa yang membangun kegembiraan dan keceriaan).
Berharap semoga tidak terjadi lagi kasus bullying dimasa depan.
----
Sumber :




4.       Elly M Setiadi. Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Kencana 2011

5.       Richard T Schaefer. Sociology Matters. Mc Graw-Hill 4th ed. 2008.

1 komentar:

  1. ayo mari cegah bullying mulai dari sekarang, baca caranya disini https://sampaikapan.com/kasus-bullying-makin-merajalela-cegah-dirimu/

    BalasHapus