Hampir setiap tahun terutama pada saat tahun ajaran
baru, terdengar kasus tindak kekerasan
di lingkungan sekolah. Tindakan memperlakukan seorang anak menjadi bahan
ejekan, cemohan, bahkan tindakan fisik yang dilakukan oleh sesama teman atau
kakak kelas, sering di istilahkan dengan Bullying.
Kasus terakhir bullying yang ramai
dibicarakan adalah kasus yang terjadi di SMA Don Bosco, Pondok Indah Jakarta
Selatan.
Usai Masa Orientasi Siswa,
petugas Polres Metro Jakarta Selatan mendapatkan laporan dugaan aksi kekerasan
atau bullying yang dialami siswa
kelas 1 SMA Don Bosco Pondok Indah Jakarta. Salah seorang korban diduga mengalami memar dan luka bakar terkena
puntung rokok yang sengaja dibakar oleh kakak kelasnya. Selain itu lima orang lainnya, pelajar kelas 1 SMA Don Bosco juga menjadi korban
kekerasan para kakak kelasnya.[1]
Tidak hanya di Indonesia, kasus Bullyng juga menjadi keprihatian di Amerika. Berikut ini adalah
hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat mengenai kasus Bulying : [2]
Peneliti
di Amerika Serikat menemukan anak-anak yang memiliki alergi terhadap makanan
tertentu atau kelebihan berat badan cenderung menjadi korban penindasan atau bullying teman-temannya. Mereka menemukan
bahwa target bullying yang mengalami penindasan merasa lebih tertekan, cemas
dan memiliki kualitas hidup yang rendah daripada mereka yang tidak menajdi
target. Bullying menjadi perhatian diantara para orang tua, dokter, dan pihak
sekolah sejak penelitian dan pemberitaan menunjukkan adanya kaitan antara
bullying, termasuk penindasan melalui internet "cyberbullying",
dengan depresi bahkan bunuh diri. "Ada
perubahan, dimana selama ini korban hanya menjadi bahan lelucon kini menjadi
penindasan " kata Dr. Mark Schuster, Kepala Pediatrik Umum di Rumah Sakit
Anak Boston dan profesor di Harvard Medical School.
Studi terdahulu menyebutkan antara satu dari sepuluh dan satu
dari tiga anak dan remaja mengalami penindasan, tapi angka itu bervariasi , bergantung
pada lokasi dan demografi. Dua studi baru mengenai bullying dimuat di Jurnal
Pediatrics (Pediatrics Journal, 24
Desember 2012).
Dalam penelitiannya, Dr. Eyal Shemesh dari Mount
Sinai Medical Center di New York dan rekan-rekannya memeriksa 251 anak yang
pernah mengunjungi klinik alergi, juga orang tua mereka. anak-anak yang
didiagosa alergi itu berusia delapan hingga 17 tahun.
45 persen dari mereka pernah ditindas atau dilecehkan tanpa sebab yang jelas, sedangkan 32 persen dilaporkan ditindas karena alrgi terhadap sesuatu. "Temuan kami ini sepenuhnya konsisten dengan apa yang kita temui pada anak penyandang cacat," kata Shemesh, seperti yang dikutip dari Reuters. Alergi makanan, katanya, "adalah kelemahan yang mudah dieksploitasi, jadi tentu akan dieksploitasi."Anak-anak yang berpartisipasi dalam studi itu mayoritas berkulit putih dan berasal dari keluarga yang beruntung, yang menurut Anda tidak akan dijadikan target, kata Shemesh. Jadi, bullying mungkin lebih sering terjadi pada mereka yang kurang beruntung yang juga punya alergi makanan. Tapi, alergi makanan tidak menjadi satu-satunya alasan penindasan oleh rekan sebaya. Dalam studi lain, tim peneliti dari Yale University di News Haven, Connecticut, menemukan nyaris dua pertiga dari 361 remaja yang ikut di kamp penurunan berat badan ditindas karena berat badan mereka. Kemungkinan itu meningkat dengan berat badan, anak-anak yang berbobot paling berat berpeluang 100 persen menjadi korban penindasan, kata Rebecca Puhl dan rekan-rekannya. Pelecehan verbal menjadi bentuk penindasan yang paling sering terjadi. Selain itu, lebih dari setengah anak yang ditindas dilaporkan diejek melaui sms dan e-mail.
45 persen dari mereka pernah ditindas atau dilecehkan tanpa sebab yang jelas, sedangkan 32 persen dilaporkan ditindas karena alrgi terhadap sesuatu. "Temuan kami ini sepenuhnya konsisten dengan apa yang kita temui pada anak penyandang cacat," kata Shemesh, seperti yang dikutip dari Reuters. Alergi makanan, katanya, "adalah kelemahan yang mudah dieksploitasi, jadi tentu akan dieksploitasi."Anak-anak yang berpartisipasi dalam studi itu mayoritas berkulit putih dan berasal dari keluarga yang beruntung, yang menurut Anda tidak akan dijadikan target, kata Shemesh. Jadi, bullying mungkin lebih sering terjadi pada mereka yang kurang beruntung yang juga punya alergi makanan. Tapi, alergi makanan tidak menjadi satu-satunya alasan penindasan oleh rekan sebaya. Dalam studi lain, tim peneliti dari Yale University di News Haven, Connecticut, menemukan nyaris dua pertiga dari 361 remaja yang ikut di kamp penurunan berat badan ditindas karena berat badan mereka. Kemungkinan itu meningkat dengan berat badan, anak-anak yang berbobot paling berat berpeluang 100 persen menjadi korban penindasan, kata Rebecca Puhl dan rekan-rekannya. Pelecehan verbal menjadi bentuk penindasan yang paling sering terjadi. Selain itu, lebih dari setengah anak yang ditindas dilaporkan diejek melaui sms dan e-mail.
Bullying bukan hanya
terjadi di sekolah saja, melainkan juga di kampus-kampus. Masih segar dalam
ingatan ketika seorang mahasiswa ISPDN meninggal dunia karena tindak kekerasan
yang dilakukan oleh para seniornya di kampus. Demikian juga ketika seorang
mahasiswa ITB tewas karena tindak kekerasan ketika masa orientasi mahasiswa baru. Berbagai kasus bullying dilingkungan sekolah
atau kampus membuat prihatin para orangtua, guru termasuk para siswa atau
mahasiswa.
Dalam suatu
kesempatan, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menilai bahwa tindak kekerasan atau "bullying" di
sekolah dalam masa orientasi sebagai suatu sikap yang telah keluar dari
nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan pendidikan. Presiden menghimbau agar masa orientasi berjalan
dengan baik tanpa kekerasan. "Saya pernah menegur dengan keras dan memberikan
tindakan disiplin ketika terjadi aksi-aksi kekerasan di IPDN Jatinangor,"
kata Presiden. Presiden menilai tidak masuk akal sebuah sekolah yang
mempersiapkan pejabat pemerintah memiliki metode penuh kekerasan. "Bayangkan untuk mempersiapkan pejabat
pemerintahan, metodenya penuh dengan kekerasan, sampai ada yang meninggal, ada
yang cacat, ada yang dipulangkan karena sakit. Betapa sedihnya orang tua mereka
ada kasus-kasus seperti itu.[3]
Komnas Perlindungan Anak (PA) setiap tahun mendata
kasus bullying, sampai saat ini kasus
terbanyak tahun 2011, yakni ada 139
kasus bullying di lingkungan sekolah. Sedangkan
untuk tahun 2012 terdapat 36 kasus. Menurut
Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak, banyaknya kasus bullying di sekolah karena adanya pengajakan yang dilakukan oleh
senior terhadap junior agar tunduk terhadap perintah.
"Maksud bullying karena di dalamnya terjadi pengajakan, artinya digunakan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas. Dan bila terdapat tindak kekerasan atau penindasan, itu semua termasuk dalam pelanggaran undang-undang perlindungan anak. [4]
"Maksud bullying karena di dalamnya terjadi pengajakan, artinya digunakan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas. Dan bila terdapat tindak kekerasan atau penindasan, itu semua termasuk dalam pelanggaran undang-undang perlindungan anak. [4]
Bullying sebagai
masalah sosial
Tidak semua proses sosial yang ada pada masyarakat
berjalan dengan normal, ada gejala-gejala yang dianggap tidak normal oleh
masyarakat sehingga dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Keadaan ini
merupakan masalah sosial yang berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Suatu
persoalan sosial tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dari berbagai
persoalan yang memiliki hubungan, yang saling mempengaruhi satu dan lainnya.
Dalam menentukan apakah suatu masalah merupakan
problem sosial atau tidak, sosiologi menggunakan beberapa pokok persoalan
sebagai ukuran, yaitu :[5]
1. Tidak adanya
kesesuaian antara ukuran/nilai-nilai sosial dan kenyataan/tindakan sosial.
Dalam kasus bullying ada ketidaksesuaian nilai yang berkaitan dengan tindak
kekerasan, pelecehan dan penindasan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada
berdasarkan UU perlindungan anak.
2. Sumber-sumber
permasalahan berasal dari gejala hubungan antar manusia. Dalam kasus bullying, melibatkan hubungan antar
sesama murid, adik kelas dan kakak kelas, atau yunior dan senior, orangtua
murid, guru dsb.
3. Pihak-pihak
yang menentukan, apakah suatu kepincangan merupakan gejala sosial atau tidak.
Berbagai pihak memberi pandangan terhadap masalah bullying, mulai dari pemerhati pendidikan, lembaga perlindungan
anak, hingga presiden.
4.
Manifest
social problems dan latent
social problems. Manifest merupakan masalah sosial yang timbul karena
ada kepincangan nilai dan norma yang senyatanya ada, sedangkan latent, meski masalah itu menimbulkan kepincangan
nilai dan norma, tetapi masalah tersebut belum tampak atau belum diakui oleh
masyarakat.
5.
Perhatian masyarakat sebagai permasalahan sosial. Ada
masyarakat yang memperhatikan kasus bullying
, namun ada pula yang tidak memperhatikan. Sosiolog dalam hal ini memiliki
patokan atau standar nilai dan norma sosial yang seharusnya tejadi dalam
perilaku sosial.
Penyelesaian kasus bullying
selama ini berakhir dengan perdamaian, meski awalnya melibatkan polisi.
Menurut Arist dari Komnas Perlindungan Anak, pihak kepolisian punya hak untuk
mendamaikan sebelum dibawa ke jalur pengadilan. Kalaupun pihak kepolisian tidak
mampu, bisa memanggil tokoh masyarakat. Bila tidak ada kata sepakat dari
orangtua keduabelah pihak, maka ditempuh jalur pengadilan (detik.com).
Melihat Bullying dari Perspektif Sosiologi.
Kasus bullying
melibatkan kelompok anak yang memiliki power
terhadap anak lainnya yang lebih powerless.
Oleh karena itu konsep yang digunakan adalah “kelompok”. Istilah kelompok
diartikan sebagai sejumlah manusia dengan norma, nilai dan harapan yang sama
yang saling berinteraksi secara teratur. Anggota kelompok berbagi perasaan
saling memilki.
Kelompok
Primer dan Kelompok Sekunder: [6]
Charles Horton Cooley memberi istilah kelompok primer untuk merujuk pada
kelompok kecil yang dicirikan oleh intimitas, asosiasi tatap muka, dan kerja
sama. Misalnya kelompok Geng. Kelompok
primer memainkan peran vital, baik dalam proses sosialisasi maupun pembangunan
peran dan status. Kelompok Sekunder tidak dicirikan oleh ikatan persahabatan
yang erat, seperti kelas kuliah atau angkatan. Kelompok ini lebih bersifat
formal impersonal, tidak ada kedekatan.
Dalam kasus Bullying ada status kakak kelas atau dalam istilah
anak-anak sekolah, kelas Dewa (untuk kelas 3 SMA). Mereka dapat dikategorikan
sebagai kelompok primer. Satus kelas dewa ini “disepakati” bersama, sehingga murid baru yang statusnya
sebagai adik kelas menerima peran
dirinya yang “siap” disuruh-suruh atau
diperintah oleh seniornya. Dari sini
terjadi penindasan dan aksi kekerasan, terutama bila ada ketidakpatuhan dari
kelompok junior. Kelompok Sekunder tidak
dicirikan oleh ikatan persahabatan yang erat, seperti kelas, atau angkatan. Mereka teman satu angkatan,
teman satu sekolah atau satu kampus yang tidak akrab.
Kelompok Dalam dan Kelompok Luar:[7]
Dikemukakan oleh William Graham Sumner. Kelompok Dalam dapat didefinisikan
sebagai kelompok atau kategori apapun dimana orang merasa nyaman berada
didalamnya. Terdiri dari siapa saja yang dianggap “kita” atau “kami’. Anggota
kelompok dalam biasanya merasa berbeda dan unggul. Perilaku yang pas untuk
Kelompok Dalam secara bersamaaan dilihat
sebagai perilaku yang tidak pantas bagi Kelompok Luar. Keberadaan dari sebuah Kelompok Dalam
menyiratkan bahwa ada sebuah kelompok luar yang dilihat sebagai “mereka”, yakni
kategori dimana orang yang tidak merasa termasuk didalamnya.
Dalam kasus bullying, Kelompok Dalam adalah kakak
kelas yang memiliki rasa lebih unggul atau berbeda dengan adik-adik kelas. Mereka merasa lebih “jagoan”
atau hebat. Namun tidak semua bisa tergabung dalam Kelompok Dalam, meski sesama
kelas 3 hanya beberapa orang yang bisa masuk. Keberadaanya sebagai bagian dari
“kami” atau “kita” sangat kuat. Ada nilai-nilai yang mereka sepakati bersama,
nilai-nilai ini antara lain adalah
senior, hebat atau jago. Keberadaan Kelompok Dalam ini membuat mereka merasa
“bebas” melakukan bulyying terhadap teman-temannya yang berada diluar Kelompok
Dalam, bahkan bisa juga terhadap teman-teman satu angkatannya.
Intervensi yang dapat dilakukan
Kasus Bulying harus dihentikan, untuk itu
diperlukan keterlibatan, dari pihak pemerintah dalam hal ini Kemendiknas, pihak
sekolah: kepala sekolah, guru maupun
orangtua murid dan murid. Untuk mencermati hal ini dapat dilihat
berdasarkan Struktur, Kultur dan Proses.[8]
Struktur : Kementerian Pendidikan Nasional
harus mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan Masa Orientasi
Siswa/Mahasiswa baru (MOS), yang tidak boleh ada unsur kekerasan. Bila terjadi,
maka sekolah atau kampus akan terkena sangsi. Pihak Sekolah/kampus harus
terlibat aktif dalam perencanaan kegiatan siswa yang berkaitan dengan MOS.
Dibuat peraturan yang lengkap dengan petunjuk teknis pelaksanaan.
Kultur : Nilai, norma atau kepercayaan (value, norms, belief) yang berlaku
didalam sekolah/kampus yang berkaitan dengan keberadaan Kelompok Primer atau
Kelompok Dalam, harus disalurkan dalam kegiatan lain yang lebih positif. Core
Shared Value yang membangun rasa solidaritas dan kebersamaan yang dimiliki
oleh kelompok primer atau kelompok dalam harus tersebar keseluruh murid. Untuk
itu dibuat kegiatan yang membangun rasa kebersamanaan (misalnya out bond,
pentas seni atau training motivasi/spiritual), sehingga semua murid “melebur”
bersama. Kegiatan belajar mengajar harus disisipkan dengan materi yang sarat dengan nilai kemanusiaan, dapat
diberikan setiap guru mengajar dalam bentuk hiddden
curriculum.
Proses : Dalam melaksanakan kegiatan ajar
mengajar, Pihak sekolah harus sensitif melihat dengan siapa dan bagaimana murid-muridnya
berteman. Kontrol sosial sangat penting baik bagi guru dalam mengawasi
murid-murid disekolah juga bagi orangtua dalam melihat pergaulan anak-anaknya.
Interaksi antara murid dengan murid, guru/kepala sekolah dengan murid,
persatuan orang tua murid, komite sekolah harus terjalin. Interaksi aktif tidak
harus dalam bentuk formal, dapat dilakukan dalam situasi sehari-hari, bersifat
informal (saling tegur sapa yang membangun kegembiraan dan keceriaan).
Berharap
semoga tidak terjadi lagi kasus bullying dimasa depan.
----
Sumber :
4. Elly M Setiadi. Usman Kolip. Pengantar Sosiologi.
Kencana 2011
5. Richard T Schaefer. Sociology Matters. Mc Graw-Hill
4th ed. 2008.
[4]
http://news.detik.com/read/2012/07/29/141619/1977653/10/komnas-pa-tahun-2011-bullying-di-sekolah-139-kasus-tahun-ini-36-kasus
[5]
Elly M Setiadi. Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Kencana 2011. Hal 929
[6]
Schaefer,Richard T. Sociology Matters.
Mc Graw-Hill 4th ed. 2008. Hal 77
[7]
Ibid. Hal 78
[8]
Materi Kuliah yang senantiasa diajarkan dalam kuliah-kuliah Prof. Paulus
Wirutomo