Jumat, 25 November 2011

Karl Marx : "I've Told U.. "

 
Karl Marx, yang lahir di Jerman (1818-1883), banyak dikenal sebagai seorang intelektual yang memiliki gagasan radikal, membangkitkan semangat revolusi untuk perjuangan kelas. Namun sosok sesungguhnya terkesan sangat sosial. “Kapital”  merupakan karyanya yang sangat terkenal, sebuah kritik ekonomi politik yang mempersembahkan acuan yang lengkap dan rinci mengenai berbagai hal tentang ekonomi dari sudut pandang sosial politis. Marx mengkritisi kaplitalisme yang terjadi dikala itu, dimana ada ketimpangan antara kelas kapitalis dengan kelas buruh atau pekerja. Fenomena sosial ini dicermati oleh Marx yang hidup di abad 19. Dunia saat itu, terutama di Eropa sedang mengalami gejolak, dengan munculnya revolusi industri yang mengakibatkan pemberontakan kaum buruh.    
    

     Kala itu demi  meraih surplus value, para pemilik modal melakukan penghematan dengan cara  mengeksploitasi tenaga kerja, bahkan dengan mempekerjakan anak-anak dengan kondisi  kerja yang sangat memprihatinkan. Ilustrasi ini dilihat dari gambaran kondisi kerja di sebuah tambang batu bara. Pada tahun 1860, rata-rata kurang lebih 15 orang terbunuh setiap minggunya di tambang batu bara di Inggris. Dalam kurun waktu 1852 hingga 1862 total telah terbunuh sebanyak  8466 orang. Ternyata jumlah ini terlalu kecil, karena banyak kecelakaan dan kematian yang sama sekali tidak dilaporkan. Kecenderungan ini menandakan eksploitasi kapitalis. Pengorbanan para pekerja itu sebagian besar disebabkan keserakahan yang busuk dari pemilik batu bara, dimana mereka hanya membuat satu terowongan, sehingga kurang ada ventilasi dan jalan keluar untuk menyelamatkan diri bila terowongan terhalang atau putus. (Capital, 1992, hlm 57) Kepekaan Marx tehadap nasib pekerja saat itu terlihat ketika dia begitu memprihatinkan kenyataan bahwa tidak saja di pertambangan, melainkan di pabrik-pabrik banyak yang mempekerjakan anak-anak, karena bayaran mereka lebih murah tanpa harus memikirkan keselamatan, kesehatan dan kenyamanan. 

     Namun, cita-cita Marx untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas mengalami kegagalan, karena sesungguhnya tidak akan pernah ada masyarakat tanpa kelas. Cita-cita itu bersifat utopi. Negara-negara barat yang menyadari hal ini merubah kebijakan negaranya untuk memberikan kesejahteraan yang memadai kepada para pekerja. Sistem jaminan sosial diterapkan. Para pekerja memiliki jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan dan dana pensiun. Sehingga perjuangan kelas itu mereda dengan diterapkannya sistem jaminan sosial dan menjadikan  negaranya sebgai negara sejahtera atau “welfare state”.
         
 Kini abad silam itu sudah berlalu. Kapitalisme sudah mengglobal. Hampir tidak ada negara yang tidak menerapkan sistem ekonmi kapitalisme. Ketimpangan yang dirasakan hampir dua abad silam, dirasakan pula saat ini, meski wujudnya sedikit berbeda.  Kapitalisme kini telah merambah ke segala penjuru dunia, bahkan hingga ke Cina. Negara yang menganut pemahaman komunisme itu mulai “membuka diri”. Sedangkan negara yang paling menganut kapitalisme saat ini adalah Amerika Serikat, yang mengandalkan kekuatan ekomominya berdasarkan mekanisme pasar bebas. Namun yang terjadi saat ini adalah krisis finansial yang meresahkan rakyat Amerika. Angka pengangguran semakin meningkat. Pusat keuangan dan pasar modal yang berpusat di Wall Street New York, sempat diduduki oleh para demonstran, mereka menamakan dirinya kelompok “Occupy Wall Street”. Aksi serupa ini juga diikuti di London, Inggris. Kelompok demostran ini menduduki pusat saham di London, mereka menamakan dirinya Occupy LSC (London Stock Exchange). Diperkirakan sebanyak 2000-3000 orang melancarkan protes mengecam keserakahan kaum korporat dan kebijakan ekonomi Pemerintah Inggris.
(http://international.okezone.com/read/2011/10/17/414/516422/kaum-anti-kapitalis-inggris-lakukan-protes).

Aksi pendudukan makin meluas, di Roma, Geneva, Miami, Montenegro, Paris, Sarajevo, Serbia, Vienna dan Zurich mereka berunjuk rasa sambil mengenakan topeng dan meneriakkan slogan-slogan anti kapitalisme. (Kompas, Senin 17 Oktober 2011). Seperti apa yang diramalkan oleh Marx dalam kata pengantarnya yang dikutip diawal, bahwa: “Inilah tanda-tanda zaman. Mungkin saja esok akan terjadi keajaiban. Mereka menunjukkan bahwa didalamnya terdapat kelas-kelas berkuasa, maka sudah mulai terbayang bahwa masyarakat bukanlah kristal yang solid tapi suatu organisme yang mampu berubah dan terus menerus dalam proses perubahan”. 

Bahwa kenyataannya sistem kapitalisme ini membuat ketidakadilan yang telanjang di mata publik. “Kerugian di sosialisasi dan keuntungan diprivatisasi”, demikian diungkapkan oleh ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz.  Aksi perlawanan ketimpangan kini merambah kemana-mana dari “wall Street”, jantung kapitalisme dunia, hingga ke London dan kota-kota di Eropa lainnya bahkan Kanada. “Kami adalah kaum 99%, dan kami jauh tertinggal dari kelompok 1 % lainnya : kaum Borjuis Amerika”, begitu kata yang melakukan aksi di distrik finansial, Wall Street.  Aksi serupa juga terjadi di Kanada yang dimotori para aktivis Adbuster Media Foundatian. Fenomena ketidakpuasan ini juga dapat  mengacam banyak Negara termasuk Indonesia, meski tingkat ketimpangan pendapatan Indonesia, diukur berdasarkan koefisien Gini memang relatif lebih rendah tapi ini bukan berarti tak bermasalah, bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya melahirkan dan memperkaya orang kaya dan yang miskin masih tetap miskin. (disarikan dari Tempo, edisi 24-30 Oktober 2011, hal 24)

( hmm sepertinya benar ..  yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin  bertambah kesmiskinannya.. )

Jakarta, 17 November 2011.

To all my friends, especially  Sociolovers
sekedar catatan oret-oretan.. he..he
-meita-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar