Jumat, 18 Januari 2013

Kasus Bullying di Lembaga Pendidikan Berdasarkan Perspektif Sosiologi






Hampir setiap tahun terutama pada saat tahun ajaran baru,  terdengar kasus tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Tindakan memperlakukan seorang anak menjadi bahan ejekan, cemohan, bahkan tindakan fisik yang dilakukan oleh sesama teman atau kakak kelas, sering di istilahkan dengan Bullying. Kasus terakhir bullying yang ramai dibicarakan adalah kasus yang terjadi di SMA Don Bosco, Pondok Indah Jakarta Selatan.

Usai Masa Orientasi Siswa, petugas Polres Metro Jakarta Selatan mendapatkan laporan dugaan aksi kekerasan atau bullying yang dialami siswa kelas 1 SMA Don Bosco Pondok Indah Jakarta. Salah seorang korban  diduga mengalami memar dan luka bakar terkena puntung rokok yang sengaja dibakar oleh kakak kelasnya. Selain itu lima orang lainnya, pelajar  kelas 1 SMA Don Bosco juga menjadi korban kekerasan para kakak kelasnya.[1]

Tidak hanya di Indonesia, kasus Bullyng juga menjadi keprihatian di Amerika. Berikut ini adalah hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat mengenai kasus Bulying : [2]

 Peneliti di Amerika Serikat menemukan anak-anak yang memiliki alergi terhadap makanan tertentu atau kelebihan berat badan cenderung menjadi korban penindasan atau bullying teman-temannya.  Mereka menemukan bahwa target bullying yang mengalami penindasan merasa lebih tertekan, cemas dan memiliki kualitas hidup yang rendah daripada mereka yang tidak menajdi target. Bullying menjadi perhatian diantara para orang tua, dokter, dan pihak sekolah sejak penelitian dan pemberitaan menunjukkan adanya kaitan antara bullying, termasuk penindasan melalui internet "cyberbullying", dengan depresi bahkan bunuh diri. "Ada perubahan, dimana selama ini korban hanya menjadi bahan lelucon kini menjadi penindasan " kata Dr. Mark Schuster, Kepala Pediatrik Umum di Rumah Sakit Anak Boston dan profesor di Harvard Medical School.

Studi terdahulu menyebutkan antara satu dari sepuluh dan satu dari tiga anak dan remaja mengalami penindasan, tapi angka itu bervariasi , bergantung pada lokasi dan demografi. Dua studi baru mengenai bullying dimuat di Jurnal Pediatrics (Pediatrics Journal, 24 Desember 2012). Dalam penelitiannya, Dr. Eyal Shemesh dari Mount Sinai Medical Center di New York dan rekan-rekannya memeriksa 251 anak yang pernah mengunjungi klinik alergi, juga orang tua mereka. anak-anak yang didiagosa alergi itu berusia delapan hingga 17 tahun.
45 persen dari mereka pernah ditindas atau dilecehkan tanpa sebab yang jelas, sedangkan 32 persen dilaporkan ditindas karena alrgi terhadap sesuatu. "Temuan kami ini sepenuhnya konsisten dengan apa yang kita temui pada anak penyandang cacat," kata Shemesh, seperti yang dikutip dari Reuters. Alergi makanan, katanya, "adalah kelemahan yang mudah dieksploitasi, jadi tentu akan dieksploitasi."Anak-anak yang berpartisipasi dalam studi itu mayoritas berkulit putih dan berasal dari keluarga yang beruntung, yang menurut Anda tidak akan dijadikan target, kata Shemesh. Jadi, bullying mungkin lebih sering terjadi pada mereka yang kurang beruntung yang juga punya alergi makanan. Tapi, alergi makanan tidak menjadi satu-satunya alasan penindasan oleh rekan sebaya. Dalam studi lain, tim peneliti dari Yale University di News Haven, Connecticut, menemukan nyaris dua pertiga dari 361 remaja yang ikut di kamp penurunan berat badan ditindas karena berat badan mereka. Kemungkinan itu meningkat dengan berat badan, anak-anak yang berbobot paling berat berpeluang 100 persen menjadi korban penindasan, kata Rebecca Puhl dan rekan-rekannya. Pelecehan verbal menjadi bentuk penindasan yang paling sering terjadi. Selain itu, lebih dari setengah anak yang ditindas dilaporkan diejek melaui sms dan e-mail.

Bullying bukan hanya terjadi di sekolah saja, melainkan juga di kampus-kampus. Masih segar dalam ingatan ketika seorang mahasiswa ISPDN meninggal dunia karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh para seniornya di kampus. Demikian juga ketika seorang mahasiswa ITB   tewas karena tindak kekerasan  ketika masa orientasi mahasiswa baru.  Berbagai kasus bullying dilingkungan sekolah atau kampus membuat prihatin para orangtua, guru termasuk para siswa atau mahasiswa.

Dalam suatu kesempatan,  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai bahwa tindak kekerasan atau "bullying" di sekolah dalam masa orientasi sebagai suatu sikap yang telah keluar dari nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan pendidikan. Presiden menghimbau agar masa orientasi berjalan dengan baik tanpa kekerasan. "Saya pernah menegur dengan keras dan memberikan tindakan disiplin ketika terjadi aksi-aksi kekerasan di IPDN Jatinangor," kata Presiden.  Presiden  menilai tidak masuk akal sebuah sekolah yang mempersiapkan pejabat pemerintah memiliki metode penuh kekerasan. "Bayangkan untuk mempersiapkan pejabat pemerintahan, metodenya penuh dengan kekerasan, sampai ada yang meninggal, ada yang cacat, ada yang dipulangkan karena sakit. Betapa sedihnya orang tua mereka ada kasus-kasus seperti itu.[3]

Komnas Perlindungan Anak (PA) setiap tahun mendata kasus bullying, sampai saat ini kasus terbanyak tahun 2011, yakni  ada 139 kasus bullying di lingkungan sekolah.  Sedangkan untuk tahun 2012 terdapat  36 kasus. Menurut Arist Merdeka Sirait dari Komnas Perlindungan Anak,  banyaknya kasus bullying di sekolah karena adanya pengajakan yang dilakukan oleh senior terhadap junior agar tunduk terhadap perintah.
"Maksud bullying karena di dalamnya terjadi pengajakan, artinya digunakan kekuasaan mayoritas terhadap minoritas. Dan bila terdapat tindak kekerasan atau penindasan, itu semua termasuk dalam pelanggaran undang-undang perlindungan anak. [4]

Bullying sebagai masalah sosial

Tidak semua proses sosial yang ada pada masyarakat berjalan dengan normal, ada gejala-gejala yang dianggap tidak normal oleh masyarakat sehingga dapat mengganggu tatanan sosial yang ada. Keadaan ini merupakan masalah sosial yang berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Suatu persoalan sosial tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dari berbagai persoalan yang memiliki hubungan, yang saling mempengaruhi satu dan lainnya.

Dalam menentukan apakah suatu masalah merupakan problem sosial atau tidak, sosiologi menggunakan beberapa pokok persoalan sebagai ukuran, yaitu :[5]
1.      Tidak adanya kesesuaian antara ukuran/nilai-nilai sosial dan kenyataan/tindakan sosial. Dalam kasus bullying ada ketidaksesuaian nilai yang berkaitan dengan tindak kekerasan, pelecehan dan penindasan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada berdasarkan UU perlindungan anak.
2.      Sumber-sumber permasalahan berasal dari gejala hubungan antar manusia. Dalam kasus bullying, melibatkan hubungan antar sesama murid, adik kelas dan kakak kelas, atau yunior dan senior, orangtua murid, guru dsb.
3.      Pihak-pihak yang menentukan, apakah suatu kepincangan merupakan gejala sosial atau tidak. Berbagai pihak memberi pandangan terhadap masalah bullying, mulai dari pemerhati pendidikan, lembaga perlindungan anak, hingga presiden.
4.      Manifest social problems dan latent social problems. Manifest  merupakan masalah sosial yang timbul karena ada kepincangan nilai dan norma yang senyatanya ada, sedangkan latent,  meski masalah itu menimbulkan kepincangan nilai dan norma, tetapi masalah tersebut belum tampak atau belum diakui oleh masyarakat.
5.      Perhatian masyarakat sebagai permasalahan sosial. Ada masyarakat yang memperhatikan kasus bullying , namun ada pula yang tidak memperhatikan. Sosiolog dalam hal ini memiliki patokan atau standar nilai dan norma sosial yang seharusnya tejadi dalam perilaku sosial. 

Penyelesaian kasus bullying selama ini berakhir dengan perdamaian, meski awalnya melibatkan polisi. Menurut Arist dari Komnas Perlindungan Anak, pihak kepolisian punya hak untuk mendamaikan sebelum dibawa ke jalur pengadilan. Kalaupun pihak kepolisian tidak mampu, bisa memanggil tokoh masyarakat. Bila tidak ada kata sepakat dari orangtua keduabelah pihak, maka ditempuh jalur pengadilan (detik.com).

Melihat Bullying dari Perspektif Sosiologi.

Kasus bullying melibatkan kelompok anak yang memiliki power terhadap anak lainnya yang lebih powerless. Oleh karena itu konsep yang digunakan adalah “kelompok”. Istilah kelompok diartikan sebagai sejumlah manusia dengan norma, nilai dan harapan yang sama yang saling berinteraksi secara teratur. Anggota kelompok berbagi perasaan saling memilki.
Kelompok Primer dan Kelompok Sekunder: [6] Charles Horton Cooley memberi istilah kelompok primer untuk merujuk pada kelompok kecil yang dicirikan oleh intimitas, asosiasi tatap muka, dan kerja sama. Misalnya kelompok Geng.  Kelompok primer memainkan peran vital, baik dalam proses sosialisasi maupun pembangunan peran dan status. Kelompok Sekunder tidak dicirikan oleh ikatan persahabatan yang erat, seperti kelas kuliah atau angkatan. Kelompok ini lebih bersifat formal impersonal, tidak ada kedekatan.

Dalam kasus Bullying  ada status kakak kelas atau dalam istilah anak-anak sekolah, kelas Dewa (untuk kelas 3 SMA). Mereka dapat dikategorikan sebagai kelompok primer. Satus kelas dewa ini  “disepakati”  bersama, sehingga murid baru yang statusnya sebagai adik kelas  menerima peran dirinya yang  “siap” disuruh-suruh atau diperintah oleh seniornya.  Dari sini terjadi penindasan dan aksi kekerasan, terutama bila ada ketidakpatuhan dari kelompok  junior. Kelompok Sekunder tidak dicirikan oleh ikatan persahabatan yang erat, seperti kelas,  atau angkatan. Mereka teman satu angkatan, teman satu sekolah atau satu kampus yang tidak akrab.

Kelompok Dalam dan Kelompok Luar:[7] Dikemukakan oleh William Graham Sumner. Kelompok Dalam dapat didefinisikan sebagai kelompok atau kategori apapun dimana orang merasa nyaman berada didalamnya. Terdiri dari siapa saja yang dianggap “kita” atau “kami’. Anggota kelompok dalam biasanya merasa berbeda dan unggul. Perilaku yang pas untuk Kelompok Dalam  secara bersamaaan dilihat sebagai perilaku yang tidak pantas bagi Kelompok  Luar. Keberadaan dari sebuah Kelompok Dalam menyiratkan bahwa ada sebuah kelompok luar yang dilihat sebagai “mereka”, yakni kategori dimana orang yang tidak merasa termasuk didalamnya.
Dalam kasus bullying, Kelompok Dalam adalah kakak kelas yang memiliki rasa lebih unggul atau berbeda  dengan adik-adik kelas. Mereka merasa lebih “jagoan” atau hebat. Namun tidak semua bisa tergabung dalam Kelompok Dalam, meski sesama kelas 3 hanya beberapa orang yang bisa masuk. Keberadaanya sebagai bagian dari “kami” atau “kita” sangat kuat. Ada nilai-nilai yang mereka sepakati bersama, nilai-nilai ini antara lain  adalah senior, hebat atau jago. Keberadaan Kelompok Dalam ini membuat mereka merasa “bebas” melakukan bulyying terhadap teman-temannya yang berada diluar Kelompok Dalam, bahkan bisa juga terhadap teman-teman satu angkatannya.
Intervensi yang dapat dilakukan
Kasus Bulying harus dihentikan, untuk itu diperlukan keterlibatan, dari pihak pemerintah dalam hal ini Kemendiknas, pihak sekolah: kepala sekolah, guru maupun  orangtua murid dan murid. Untuk mencermati hal ini dapat dilihat berdasarkan Struktur, Kultur dan Proses.[8]
Struktur : Kementerian Pendidikan Nasional harus mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan Masa Orientasi Siswa/Mahasiswa baru (MOS), yang tidak boleh ada unsur kekerasan. Bila terjadi, maka sekolah atau kampus akan terkena sangsi. Pihak Sekolah/kampus harus terlibat aktif dalam perencanaan kegiatan siswa yang berkaitan dengan MOS. Dibuat peraturan yang lengkap dengan petunjuk teknis pelaksanaan.
Kultur : Nilai, norma atau kepercayaan (value, norms, belief) yang berlaku didalam sekolah/kampus yang berkaitan dengan keberadaan Kelompok Primer atau Kelompok Dalam, harus disalurkan dalam kegiatan lain yang lebih positif.  Core Shared Value yang membangun rasa solidaritas dan kebersamaan yang dimiliki oleh kelompok primer atau kelompok dalam harus tersebar keseluruh murid. Untuk itu dibuat kegiatan yang membangun rasa kebersamanaan (misalnya out bond, pentas seni atau training motivasi/spiritual), sehingga semua murid “melebur” bersama. Kegiatan belajar mengajar harus disisipkan dengan materi  yang sarat dengan nilai kemanusiaan, dapat diberikan setiap guru mengajar dalam bentuk hiddden curriculum.
Proses : Dalam melaksanakan kegiatan ajar mengajar, Pihak sekolah harus sensitif melihat dengan siapa dan bagaimana murid-muridnya berteman. Kontrol sosial sangat penting baik bagi guru dalam mengawasi murid-murid disekolah juga bagi orangtua dalam melihat pergaulan anak-anaknya. Interaksi antara murid dengan murid, guru/kepala sekolah dengan murid, persatuan orang tua murid, komite sekolah harus terjalin. Interaksi aktif tidak harus dalam bentuk formal, dapat dilakukan dalam situasi sehari-hari, bersifat informal (saling tegur sapa yang membangun kegembiraan dan keceriaan).
Berharap semoga tidak terjadi lagi kasus bullying dimasa depan.
----
Sumber :




4.       Elly M Setiadi. Usman Kolip. Pengantar Sosiologi. Kencana 2011

5.       Richard T Schaefer. Sociology Matters. Mc Graw-Hill 4th ed. 2008.

Pembangunan Sosial Jakarta Berdasarkan Perspektif Sosiologi


Pembangunan Sosial Jakarta
Berdasarkan Perspektif Sosiologi



Makna Pembangunan Sosial
Pembangunan seringkali diartikan pertumbuhan yang bermakna material. Dan senantiasa dihubungkan dengan ekonomi atau pertumbuhan (growth oriented). Namun sebenarnya pembangunan harus memberikan hasil yang dapat dirasakan oleh semua sehingga  tidak merugikan orang atau pihak lain, karena berhasil membangun harkat martabat manusia. Pembangunan yang berorientasi  pada pertumbuhan ekonomi semata mengabaikan hakekat manusia yang direduksi menjadi obyek atau materi, bukan menjadi subyek dari pembangunan. Seharusnya manusia sebagai orientasi pembangunan, sehingga dinamakan pembangunan yang berorientasi pada manusia. Manusia diberikan kesempatan untuk mengekspresikan kepentingan dan kebutuhannya yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan yang bersifat sosial dengan tujuan utama adalah Human Development. Hal ini merupakan paradigma pembangunan yang disebut sebagai pembangunan yang berpusat pada manusia (people centred development).

 Ciri pembangunan yang berpusat pada manusia adalah manusia sebagai tujuan akhir dari aktivitas pembangunan dan bukan hanya sebagai alat. Sehingga apapun yang dihasilkan dari pembangunan yang bersifat fisik, harus menghasilkan pembangunan manusia (human development), yang dicapai melaui alat ukur, salah satunya yaitu Human Development Index yang mengukur lama hidup, pengetahuan dan standar hidup yang layak. Terdiri dari : angka harapan hidup, angka melek huruf, daya beli, rata-rata lama bersekolah, pemerataan pendapatan dan ketimpangan jender.[1]

 Berbagai ukuran dibuat untuk menilai hasil dari pembangunan yang berorientasi pada manusia, antara lain Human Happiness Index, Human Poverty Index atau Better Life Index. Yang intinya adalah untuk mengukur hasil pembangunan yang dapat memberikan secercah harapan manusia untuk mengubah nasibnya, baik secara meteri maupun rohaniah untuk menjadi lebih baik.
Baru-baru ini dirilis hasil penelitian dari lembaga riset Galllup mengenai negara-negara dengan penduduk beremosi paling positif sedunia yang berhasil mewawancarai hampir 150.000 responden di 148 negara di dunia. Untuk melihat penduduk dari negara mana yang memiliki emosi paling positif. Hasilnya didominasi oleh warga yang berasal dari Amerika Latin. Warga Panama merupakan warga yang tertinggi emosi positifnya, sedangkan Singapura dengan segala kelimpahan materi, justru tercatat sebagai orang paling tidak bahagia di dunia. Emosi positif itu diperoleh karena mereka bahagia dapat berkumpul dengan keluarga, senang-senang bersama, berdoa bersama. Sedangkan Warga Singapura merasakan hidupnya banyak tekanan untuk tampil sesuai harapan (orang lain) dan mematuhi semua norma yang berlaku, sampai-sampai mengesampingkan kebahagiaan pribadi. Ekspresi mereka merupakan realitas yang ada yang berhasil dikuantifikasi.
Beberapa negara maju kini mulai menerapkan acuan baru untuk menilai keberhasilan pemerintah mensejahterakan rakyatnya. Mereka menamakan “ekonomi kebahagiaan” yang menambahkan faktor persepsi masyarakat diluar sejumlah standar kuantitatif, seperti usia harapan hidup, pendapatan perkapita dan tingkat kelulusan sekolah. Seperti survei program kesejahteraan rakyat di Inggris yang diluncurkan oleh Perdana Menteri Inggris, David Cameron. Salah satu pertanyaan dalam survei itu adalah “seberapa puaskah anda dengan hidup anda saat ini?[2]  Berdasarkan hal ini, maka pembangunan dapat dilihat sebagai perluasan pilihan bagi manusia. Oleh sebab itu, orang harus memiliki kesempatan memperoleh waktu luang, aktif dalam kehidupan budaya, sosial dan politik. Semuanya harus seimbang.

Dengan kata lain, human development adalah Development of the People, yakni pembangunan hakekat dan martabat manusia seperti pendidikan, kesehatan, agama, Development for the People yaitu kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, terutama lapangan kerja dan kesempatan ikut dalam pembangunan terutama hak-hak politik.[3] Pembangunan yang berpusat pada rakyat diharapkan akan menciptakan keseimbangan antara pembangunan aspek ekonomi dengan aspek sosial budaya. Pengertian ini bukan sekedar pembangunan sektor sosial budaya semata seperti sektor pendidikan, sektor kesehatan atau sektor agama tetapi ada karakteristik nilai yang mendasari pembangunan.  Sebagai contoh, pembangunan kesehatan, artinya bukan berapa banyak rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang tersedia, melainkan bagaimana budaya sehat masyarakat atau bagaimana masyarakat turut berpartisipasi dalam menanggulangi penyakit. Demikian juga dengan pembangunan pendidikan, bukan hanya dilihat dari dari bantuan operasional sekolah atau pembangunan gedung sekolah, melainkan berapa banyak sekolah menghasilkan lulusan yang berkualitas? Dan berapa banyak lulusannya menciptakan lapangan pekerjaan?  Dan sebagainya. Intinya adalah ada nilai kemandirian, keadilan dan kerukunan.  

Tujuan pembangunan sosial budaya menurut batasan yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Sasaran umum yang akan dicapai antara lain meningkatnya ketahanan sosial dan budaya, meningkatnya kedudukan dan peranan perempuan, meningkatnya partisipasi aktif pemuda, serta meningkatnya pembudayaan dan prestasi olahraga.[4]

Pembangunan Sosial di Jakarta
Berdasarkan Visi pembangunan sosial Jakarta, yakni : Rencana Pembangunan jangka panjang Jakarta adalah: “Menjadikan Jakarta sederajat dengan kota-kota besar lain di dunia dan dihuni oleh penduduk yang sejahtera”. Ada dua makna penting dalam perumusan ini, yaitu: (1) Sederajat dengan kota-kota besar lain di dunia. Ini berarti kota Jakarta harus mampu memenuhi standar kota dunia baik dari segi fisik maupun peradaban. Dalam hal ini Jakarta harus selalu menyejajarkan diri dengan kota-kota dunia termasuk dalam usaha mencari pola peradaban kota yang lebih ideal dimasa depan. (2) Penduduk yang sejahtera. Ini menunjukkan kesadaran bahwa kemakmuran fisik dan ekonomi semata belum cukup. Cita-cita kota yang tertinggi adalah kesejahteraan, yaitu suatu kondisi di mana ada keseimbangan ideal antara aspek lahiriah dan batiniah.[5]
Pembangunan Mal di Jakarta. Pembangunan di Jakarta selama beberapa tahun terakhir lebih didominasi pada pembangunan pusat belanja atau mal yang jumlahnya semakin bertambah banyak dan pertumbuhannya seperti tak terkendalikan. Banyak kawasan yang semula tidak direncanakan menjadi kawasan bisnis harus beralih fungsi menjadi kawasan komersil. Menurut Planolog Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mal yang ada di Jakarta sudah melebihi batas ideal. Hal ini membuat Jakarta menjadi kota dengan mal terbanyak di dunia. Jumlahnya pusat belanja yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih dan telah melebihi batas ideal dari jumlah penduduknya. Seharusnya ada skala untuk mengatur agar jumlah mal tidak tumbuh dengan sangat pesat meski atas nama globalisasi dan perdagangan internasional [6]. Masyarakat Jakarta kerap menjadikan mal sebagai tempat untuk menghilangkan rasa stres sehingga sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian penduduk kota Jakarta untuk tempat hiburan bagi diri dan keluarga. Hal ini membuat pengembang terus berencana mewujudkan keinginannya untuk membangun pusat belanja yang memiliki banyak fungsi. Tidak sekedar belanja, ada sarana olahraga, hiburan, dan banyak kebutuhan lain yang memenuhi segala kebutuhan warga.
 Lahan terbuka hijau yang berfungsi sebagai taman kota semakin lama semakin berkurang, sehingga kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air dan ruang terbuka hijau berubah menjadi kawasan bisnis. Penyebab utama invasi kawasan hijau menjadi kawasan komersil, bersumber dari penegakan tata ruang wilayah di DKI Jakarta yang sangat longgar. Data dari Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta menyebutkan bahwa menyusutnya daerah resapan air, baik berupa situ maupun ruang terbuka hijau, oleh aktivitas pembangunan telah menyebabkan dari 2.000 juta per meter kubik air hujan yang turun di Jakarta tiap tahun, hanya 26,6 persen yang terserap dalam tanah. Sementara itu, sisanya, 73,4 persen, menjadi air larian (run off) yang berpotensi menimbulkan banjir di perkotaan [7]
Pengambilan air tanah secara besar-besaran ditambah beban pembangunan yang tak terkendali di  Jakarta telah menyebabkan penurunan permukaan tanah  dalam setiap tahunnya. Sehingga potensi banjir di Jakarta akan semakin besar seiring dengan bertambahnya pusat perbelanjaan baru di kota ini. Disamping itu, penambahan kawasan komersial baru semakin menambah kemacetan lalu lintas di Jakarta. Karena pengunjung dari pusat perbelanjaan itu sebagian besar adalah konsumen berkendaraan pribadi. Meningkatnya kemacetan lalu lintas ini bukan hanya akan mengurangi waktu produktif warga Jakarta dan memperburuk polusi udara yang ditimbulkan asap kendaraan bermotor. Banjir, macet dan polusi udara merupakan masalah yang terjadi akbibat pembangunan yang tak memperhatikan tata ruang.
Bukan hanya masalah lingkungan, tetapi berbagai masalah sosial lainnya saling berkaitan. Pertumbuhan mal tanpa diikuti sarana dan fasilitas untuk penduduk kalangan tidak mampu akan membuat semakin terciptanya kesenjangan sosial. Mereka kelompok yang mengalami Eksklusi sosial, tersingkirkan dari pembangunan. Mereka tidak mampu  berbelanja di mal, bahkan untuk masuk mereka tidak berani. Dengan pakaian kumal, dan alas kaki ‘butut’ mengunjungi mal membuatnya dicurigai oleh petugas keamanan gedung. Akhirnya mereka tidak berani.  Kehilangan akses untuk turut menikmati fasilitas adalah suatu keadaan yang dinamakan deprivasi sosial.  Penduduk miskin merupakan kelompok yang terksklusi dan mengalami deprivasi.
Pembangunan mal di Jakarta tidak memperhatikan kelompok orang-orang yang mengalami eksklusi dan deprivasi sosial.   Taman kota sebagai fasilitas umum jumlahnya sangat sedikit, dan lokasinya mungkin terlalu jauh dari tempat tinggal mereka yang hidup di sudut-sudut kumuh kota Jakarta. Jadilah mereka bermain di gang sempit, atau di pinggir jalan. Bahkan anak-anak mereka terbiasa hidup sebagai anak-anak jalanan. Pembangunan di Jakarta selama beberapa periode hampir tidak pernah berorientasi pada pembangunan sosial budaya. Sebagai contoh, jumlah balai rakyat yang ada di Jakarta. Berapa banyak pertumbuhannya? Sejak jaman Gubernur Ali Sadikin, tidak ada penambahan gedung Balai Rakyat. Padahal balai rakyat sebagai sarana youth center bagi anak anak dalam menyalurkan bakatnya baik seni, oleh raga dan aktivitas positif lainnya.
Kawasan kumuh tidak pernah tersentuh, dibalik gedung-gedung megah, dibelakang kompleks perumahan, di bantaran kali dan dipinggir rel kereta tidak pernah mendapat perhatian. Sehingga dapat memicu terjadi tindak kriminalitas, tawuran dan perdagangan narkoba dsb. Kesemua ini adalah permasalahan sosial yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau mereka bukan warga DKI, apakah solusinya mereka harus digusur? Dan bila digusur, apakah bisa dilakukan dengan baik? Karena pastinya ada konflik pertentangan dan bahkan timbul aksi kekerasan.
Rancangan Pembangunan Sosial Jakarta
Bila melihat visi pembangunan Jakarta seperti yang dikemukan sebelumnya yakni visi pertama menjadikan Jakarta sederajat dengan kota-kota besar lain di dunia dan dihuni oleh penduduk yang sejahtera maka terlihat bahwa pembangunan yang diutamakan adalah pembangunan fisik. Lalu apakah penduduknya sejahtera? Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat sejauh mana pembangunan Jakarta dan keterkaitannya dengan kesejahteraan penduduk. Namun sejatinya pembangun fisik harus diikuti oleh pembangunan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan sosial yang dimaksud disini adalah pembangunan yang menyentuh aspek kehidupan sosial budaya (Socio-Cultural Life). Input uang, output bukan uang. Pembangun ini antara lain meliputi pembangunan Kesehatan, Pendidikan dan Agama. Sebagai contoh, untuk pembangunan kesehatan, hasilnya terlihat dari penduduk yang memahami arti pentingnya kesehatan dan memiliki budaya hidup sehat. Pembangunan pendidikan menghasilkan penduduk yang kreatif dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan,  atau pembangunan agama menghasilkan orang-orang shaleh.
Struktur Sosial
Pembangunan Sosial harus dapat membangun masyarakatnya melalui pembangunan sosial budaya. Berdasarkan contoh pembangunan mal di Jakarta dan berkurangnya lahan hijau (taman) untuk penduduk, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yakni Struktur Sosial, Kultur dan Proses Sosial.[8] Struktur Sosial adalah pola relasi (dalam hubungannnya dengan relasi kekuasaan) yang bersifat koersif, imperatif dan memiliki dominasi kekuasaan. Kekuasaan struktur sosial berwujud legal-formal yang diinstitusionalisasikan. Kekuasaan ini dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui undang-undang yang mengatur tata ruang kota. Rancangan undang-undang tata ruang DKI Jakarta mengatur proporsi bangunan dan lahan terbuka yang seharus seimbang dan proporsional. Undang-undang memiliki kekuatan yang dapat memaksa dan medesak semua pihak agar patuh pada peraturan yang telah ditetapkan. Namun, kenyataannya pemerintah provinsi lebih mementingkan pembangunan ekonomi dan l ebih mengikuti  desakan pelaku ekonomi (pengusaha)  untuk membangun mal di Jakarta sehingga jumlahnya sudah tak terkendali. Dengan pertumbuhan fisik berupa pendirian mal yang begitu pesat, tampaknya legal-formal berupa undang-undang Tata Ruang pemerintah DKI tidak memiliki power yang kuat untuk mendesak pihak-pihak yang berkepentingan. Peraturan tersebut tidak terinstitusionalisasi, begitu longgar dan fleksibel. Harus ada ketegasan dari Pemrov DKI untuk menerapkan kebijakan tata ruang yang memiliki keberpihakan kepada rakyat (human centered).
Kultur
Pembangunan juga harus memperhatikan Kultur, yang didalam sistem sosial berupa nilai, norma, kepercayaan atau kebiasaan yan sudah mentradisi dan terinternalisasi dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ada kultur orang Indonesia yang sebenarnya sudah mulai dilupakan, yakni gotong royong, misalnya menjaga keamanan dan ketertiban bersama, bila ada yang susah atau berduka, saling memberi bantuan. Koentjoroningrat mengartikan gotong royong sebagai kerja sama diantara anggota-anggota suatu komuniti. [9] Nilai-nilai ini mulai luntur seiring dengan pertumbuhan fisik pembangunan kota. Sikap tenggang rasa, solidaritas atau “tepo seliro” juga perlahan mulai ditinggalkan. Kesibukan dan ‘kerasnya’ hidup di Jakarta menjadikan saling tidak peduli sehingga melemahnya ikatan sosial. Padahal nilai-nilai ini dapat membuat integrasi sosial di antara penduduk semakin kuat. Bila integrasi sosial melemah, maka akan memunculkan konflik sehingga sering memicu tawuran  atau tindak kekerasan. Sejatinya pembangunan harus memperhatikan kohesi masyarakat.
Bila di suatu tempat banyak terdapat anak-anak putus sekolah atau sering terjadi tawuran maka salah satu alternatif penyelesaiannya adalah dengan membangun fasilitias yang dapat memberikan kepercayaan dan kemandiran pada penduduk. Pembangunan sanggar, pembentukan komunitas seni, penyediaan sarana olah raga dan memfsilitasi berbagai aktivitas positif lainnya harus dibuat termasuk pendirian taman disekitar pemukiman untuk tempat berkumpul dan saling bertegur sapa. Taman berfungsi untuk meningkatkan rasa kebersamaan diantara penduduk, terutama yang tinggal di kawasan padat penduduk. Randal Collins seorang sosiolog ternama mengatakan bahwa pertanyaan mendasar sosiologi bukanlah mengapa masyarakat terbentuk, tetapi setelah masyarakat terbentuk, apa yang membuat orang-orang tetap terikat didalamnya. Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya konsep intergrasi sosial[10]. Pembangunan sarana dan fasilitias yang dapat menciptakan rasa kebersamaan  dapat meningkatkan integrasi sosial.
Proses Sosial
Proses Sosial merupakan interaksi dinamis hari demi hari yang bersifat informal antar anggota masyarakat. Individu maupun kelompok dapat secara bebas mengekspresikan aspirasinya secara dinamis dan kreatif. Kemudian arena ini dapat menjadi lebih eksis dan negotiate dalam membuat suatu perubahan, sehingga dapat terwujud tatanan sosial yang baru. Pembangunan proses sosial berarti memperluas kesempatan orang-orang untuk memperoleh public space dan dan public sphere sesuai dengan hak asazi manusia untuk  kebebasan berekspresi.[11] Bila dalam kultur seperti yang dikemukakan diatas, bahwa pembangunan dari aspek kultur membutuhkan sarana untuk berkumpul untuk mewujudkan integrasi sosial, maka didalamnya terdapat proses sosial, saling interaksi dan diskusi untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan. Ketiga aspek pembangunan, baik struktur, kultur maupun proses tidak terpisah, melainkan saling terkait  satu sama lain, saling mendukung dan melekat.
Pembangunan Jakarta dapat dilihat dari Perspektif Struktural Fungsional bahwa masyarakat dapat dianalogikan sebagai organisme biologis. Analogi ini dilatar belakangi oleh pandangan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling terkait dalam satu pola keteraturan dan memiliki fungsi yang khas serta saling tergantung secara fungsional satu sama lain. Setiap unsur berfungsi bukan demi kepentingannya sendiri tetapi demi keberlangsungan hidup dari sistem (survival of the system)[12]. Perspektif fungsionalisme ini memberikan penjelasan bagaimana kohesinya suatu masyarakat yang membentuk satu pola yang saling tergantung satu sama lain. Keterikatan ini harus selalu terjaga agar tercipta keseimbangan. Untuk itu dibutuhkan nilai, norma dan moral sebagai bagian dari kultur untuk membangun dan memelihara kohesi.
Perspektif fungsionalisme didasarkan pada asumsi bahwa bahwa masyarakat bersifat stabil sesuai sistem tatanan.  Kestabilan sistem ini dikarakteristikan oleh konsensus bersama sebagai anggota masyarakat berdasarkan nilai-nilai, kepercayaan dan perilaku yang diharapkan.[13] Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai bagian dari struktur  mengeluarkan undang-undang atau peraturan sebagai legal-formal yang harus disepakati untuk terciptanya keteraturan. Rancangan Undang-undang Tata Ruang DKI Jakarta merupakan ketentuan hukum yang mengatur peruntukan lahan yang akan dibangun. Bila ketentuan ini dilanggar maka akan mengubah tatanan sosial yang ada. Berbagai masalah terjadi, seperti banjir, kemacetan serta berbagai masalah sosial yang memicu keretakan, seperti konflik, tawuran, tindak kejahatan dan sebagainya. Permasalahan didalam struktur sosial menyebabkan terjadinya Anomie, seperti yang dikemukakan oleh Weber, yakni suatu kondisi dimana pengawasan sosial menjadi tidak efektif karena kehilangan nilai yang disepakati bersama.[14] Nilai, norma dan moral yang disepakati bersama sebagai unsur yang ada dalam kultur (antara lain gotong royong, solidaritas, tenggang rasa, nilai kejujuran, nilai tanggung jawab dll) tidak berfungsi dengan baik. Adanya penyimpangan terhadap undang-undang tata ruang kurang mendapat tanggapan melalui proses sosial yang baik. Interaksi didalam masyarakat dan power relation antara pemerintah dengan warga kurang berjalan sesuai fungsinya. Ada hak-hak yang terabaikan dan hal tersebut berlangsung terus sehingga menimbulkan ketidakteraturan dalam pembangunan. Berharap agar gubernur yang baru terpilih, Joko Widodo dapat membenahi pembangunan sosial budaya sesuai dengan visi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, agar Jakarta sederajat dengan kota-kota lain di dunia dan (juga) penduduknya hidup sejahtera.
Sumber  :
1.  Paulus Wirutomo. Pembangunan Sosial Budaya. Diktat Mata Kuliah Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan.

2.      Kompas, Minggu 23 Desember 2012. Hal 10.



5.      Viva News.com 20 Juli 2010

6.      BPLHD DKI Jakarta, 2007

7.      Koentjaraningrat. Masalah-masalah Pembangunan. LP3ES
8.       Paulus Wirutomo Dkk. Sistem Sosial Indonesia. Lab Sosio-UI Press 2012
9.      Paulus Wirutomo. Social Development Policies on Informal Sector. Diktat Kuliah Kebijakan Sosial
10.  Diana Kendall. Sociology in Our Times.Thomson Wadsworth. 2008



[1] Wirutomo, Paulus. Pembangunan Sosial Budaya. Diktat Mata Kuliah Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan. Hal.4.
[2] Kompas, Minggu 23 Desember 2012. Hal 10.
[3] Wirutomo,Paulus. Ibid.
 [6] Viva News.com 20 Juli 2010
[7] BPLHD DKI Jakarta, 2007
[8] Struktur Sosial, Kultur dan Proses Sosial, merupakan materi kuliah dalam “Perspektif Sosiologi dalam Pembangunan” oleh Palus Wirutomo.
[9] Koentjaraningrat. Masalah-masalah Pembangunan. LP3ES hal 130
[10] Wirutomo, Paulus dkk. Sistem Sosial Indonesia. UI Press 2012. Hal 1.
[11] Wirutomo, Paulus. Social Development Policies on Informal Sector. Diktat Kuliah Kebijakan Sosial. Hal     96.
[12] Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Op cit. Hal 10.
[13] Kendall, Diana. Sociology in Our Times.Thomson Wadsworth. Hal 23.
[14] Ibid. Hal 17.

Ekslusi Sosial dalam Pendidikan di Indonesia

Januari 2013
MK telah menetapkan untuk mengabulkan permohonan uji materi atas Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur soal Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Dampak dari keputusan itu adalah dihilangkannya RSBI dalam sistem pendidikan di Indonesia. Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI dan SBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSBI-SBI dan non RSBI-SBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam tiap mata pelajaran di sekolah RSBI-SBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. 

(http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/13/13302554/Mendikbud.Penghapusan.RSBI.Butuh.Waktu?utm_source=WP&utm_medium=Ktpidx&utm_campaign=Mk%20Batalkan%20Status%20Rsbi)



Paper Eksklusi Sosial
26 Desember 2012

1. Kebijakan Pendidikan di Indonesia.

           Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dikatakan tentang cita-cita negara bahwa untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
          Berdarkan hal tersebut, mencerdaskan kehidupan bangsa merupaka suatu tujuan yang harus dilaksanakan melalui pendidikan. Pendidikan dapat diperoleh di bangku sekolah melalui pendidikan formal yang berjenjang, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (atau madrasah setingkat SD, SLTP maupun SLTA, juga Sekolah Menengah Kejuruan) dan Perguruan Tinggi. Sedangkan Pendidikan Non Formal diperoleh melalui lembaga pendidikan seperti kursus, seminar dsb. Dan satu lagi, pendidikan informal yang diperoleh dari lingkungan, mulai dari keluarga, lingkungan sekitar rumah dan masyarakat.
          Namun yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pendidikan formal yang memiliki payung hukum dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal  31, ayat (1) Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Ayat (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional meningkatkan keimanan dan ketaqwaan  serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur undang-undang. Ayat (4) Negara mempriorotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapat dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah  untuk memenuhi kebnutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
           Dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal dan ayat-ayat di atas, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah sebagai penyelenggara wajib meyelenggarakan pendidikan yang dapat diikuti oleh seluruh warga negara. Hal ini sejalan dengan  Hak Asasi Manusia, pasal 28 B ayat 1 bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
      Berkaitan dengan hak asazi manusia seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan kebutuhan dasarnya. Pendidikan merupakan hak sosial yang harus terpenuhi sebagai warga negara. Dalam padangan mengenai Human Right Act, Scotland melihat hal ini merupakan sistem hukum yang tidak saja mengeni hak positif tetapi juga merupakan suatu edukasi publik dalam kerangka nilai-nilai etis seperti harga diri individu, kesamaan dan kesempatan untuk semua. Nilai-nilai dasar ini tidak datang dengan sendirinya melainkan perlu dinyatakan dan ditegaskan sehingga membuat setiap orang memahami siapa dirinya dan mendapat perlakuan dengan cara-cara yang sama. [1]
      Berkaitan dengan hak, maka Marshal dalam Citizenship and Social Class membagi hak warga negarah menjadi tiga bagian, yakni pertama, hak sipil yang berhubungan dengan kebutuhan individu untuk kemerdekaan dan kebebasan mengemukakan pendapat, pemikiran dan keyakinan yang merupakan bagian dari ranah keadilan. Kedua, hak politik yakni hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik, memilih dan dipilih, dikaitkan dengan institusi parlemen atau dewan pemerintahan setempat. Ketiga, hak sosial merupakan hak untuk meraih kehidupan yang beradap merujuk pada standar kehidupan masyarakat yang berlaku. [2]
      Dengan demikian, pendidikan merupakan hak sosial bagi setiap warga dan pemerintah berkewajiban meyelenggarakan pendidikan yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa memandang suku, agama dan ras. Intinya, pendidikan untuk semua. Kebijakan pendidikan harus bersifat inklusif.
      Dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat pasal tentang Wajib Belajar, yakni pasal 34. Bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

2. Ekslusi Pendidikan : Wajib Belajar dan Ujian Nasional

      Kebijakan Wajib belajar yang semula hanya sampai tingkat SMP atau wajib belajar 9 tahun, kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun serta kurikulum baru pada tahun 2013. Pada tahun 2020, Kemendikbud menargetkan semua warga Indonesia  berpendidikan minimal SMA. Berkaitan  dengan hal ini
maka pemerintah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan untuk siswa kurang mampu.[3]Melalui program 'Wajib Belajar 9 Tahun', BOS, dan bantuan untuk siswa kurang mampu, tahun 2013 akan kita mulai program 'Wajib Belajar 12 Tahun'. Rencananya, tahun 2020 itu APK (Angka Partisipasi Kasar) sekolah menengah 97 persen, sekarang baru 78 persen. Tahun 2020 itu minimal anak-anak kita lulusan SMA atau SMK," kata Mendikbud M Nuh”.
      Upaya pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan gratis hingga tahap SMA merupakan langkah yang sangat baik. Namun bagaimana dengan penyelenggaraan wajib belajar  9 tahun yang selama ini sudah berjalan? apakah sudah sesuai dengan tujuan kebijakan pendidikan? bahwa pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, apakah dapat di ikuti oleh semua anak dengan kesempatan dan kualitas yang (kurang lebih) sama?
      Intinya adalah Education for all. Mungkin benar bahwa pendidikan sudah gratis, bahkan dari wajib belajar 6 tahun hingga 9 tahun. Namun apakah kondisi sistem pendidikan sudah baik secara keseluruhan? Pendidikan menyangkut fasilitas sekolah, guru dan infrasturktur di daerah yang memberi akses atau kemudahan bagi guru dan murid untuk ke sekolah. Berkaitan dengan kondisi fisik sekolah, betapa banyak gedung sekolah yang rusak. Bahkan 60% gedung SD di Jawa Barat rusak. dan 67% Gedung SD di Sukabumi rusak parah. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa Barat tahun 2004/2005, ada 118.292 gedung SD diseluruh Kabupaten /kota Propinsi. Dari sejumlah itu, hanya 44.418 sekolah yang dalam kondisi baik. Sisanya 35.190 SD rusak ringan dan 37.621 SD rusak berat.[4] Jumlah ruang kelas yang rusak di Provinsi Jawa Barat 2004/2005, SD sejumlah 84.678 ruang, SMP 5239 ruang, SMA 533 ruang dan SMK 574 ruang.[5]
      Data-data tersebut hanya sebagian kecil saja, di salah satu provinsi di Pulau Jawa. Bagaimana dengan kondisi didaerah lain, terutama diluar Pulau Jawa, mungkin bisa lebih parah lagi kondisi kerusakan dan lebih besar jumlah bangunan atau ruang yang rusak. Seringkali media baik cetak maupun elektronik menggambarkan beberapa murid sekolah yang harus bersusah payah menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki, menyeberangi sungai, melewati jembatan yang rusak untuk sampai ke sekolah. Bukan hanya itu saja, kondisi guru juga memprihatinkan, dalam hal kesejahteraan, banyak guru yang bekerja sambilan untuk menambah penghasilan. Ada yang bekerja sebagai pengojek dan penyadap karet, [6]  Dan hampir 90% guru SD di Indonesia mengagunkan  Surat Keputusan (SK) sebagai guru ke bank untuk memperoleh pinjaman. “gaji guru terutama guru SD yang sangat rendah tidak bisa mengimbangi kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga jalan satu-satunya yang mengutang ke bank”, ujar Surya di UPI Bandung.[7] Berkenaan dengan gaji, tentu saja banyak perbedaan, misalnya gaji guru yang PNS dengan yang honorer, atau gaji guru swasta. Namun gambaran rendahnya gaji guru untuk menunjukkan bahwa dengan latar belakang kondisi kesejahteraan yang berbeda, bisa saja berpengaruh pada cara mengajar di sekolah. Mungkin harus ada penelitian lebih lanjut tentang hal tersebut.
      Melihat kondisi latar belakang sistem pendidikan  yang berbeda-beda di berbagai daerah di tanah air, tentu saja mempengaruhi kualitas ajar-mengajar. Betapa tidak, kondisi geografis yang jauh dan sarana transportasi yang kurang memadai serta waktu tempuh yang lama, tentunya membuat lelah murid dan guru di sekolah. Sungguh ironi bila harus dibandingkan kondisi sekolah di kota-kota besar dengan sarana dan fasilitas yang lengkap serta infrastruktur yang memadai.
     Ekslusi pendidikan terlihat disini, bahwa antara murid yang berasal dari daerah dan kondisi sosial ekonomi orangtua yang tidak mampu, membuat anak terekslusi. Mereka tidak dapat menikmati pendidikan selayaknya. Menggunakan sepatu, tas dan seragam bersih, naik mobil atau angkutan umum atau bahkan belajar di ruang kelas yang nyaman. Kualitas bangunan sekolah yang berbeda seakan menjadikan anak murid daerah (miskin) merasa tertinggal, kondisi ini merupakan deprivasi sosial. Kurangnya akses untuk mendapat sesuatu yang memang sudah seharusnya diperoleh karena bagian dari hak pemenuhan kebutuhan dasar..
      Ekslusi tampak sangat jelas bila dikaitkan dengan Ujian Nasional (tingkat SLTP dan SLTA). Kebijakan ini seakan menutup mata terhadap kesenjangan mutu pelayanan sekolah di pelosok tanah air. Dan seringpula mengakibatkan kecurangan-kecurangan (sampai akhirnya guru turut berbuat curang demi mendongkrak kelulusan murid-muridnya). Semua tenaga dan pikiran dicurahkan hanya untuk mengejar angka kelulusan Ujian Nasional (UN). Sekolah yang berhasil mencapai angka UN tinggi tentu akan mendapat peringkat yang tinggi. Ekslusi tidak saja terjadi pada anak murid, tetapi terjadi pada sekolah yang minim fasilitas berhadapan dengan sekolah dengan fasilitas lengkap di perkotaan. Sungguh tidak adil bila angka kelulusan berdasarkan UN yang didasarkan pada nilai standar, padahal sarana dan prasarana setiap daerah berbeda-beda. Ujian Nasional terkesan hanya untuk membuat standardisasi. Bila ditelaah bagaimana mungkin standar tunggal diberlalukan, bila latar belakang sosial ekonomi anak berbeda. Seorang anak SMP di desa terpencil di Kupang yang seumur-umur belum pernah menggunakan komputer harus bersaing dengan anak sekolah dari Menteng, Jakarta Pusat yang sudah terbiasa mengakses internet untuk mendapatkan data dan ilmu pengetahuan tambahan. Disinilah tejadi ekslusi sosial, ada urban bias dimana orientasi pendidikan lebih ke kota.
       Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh masih tetap menyelenggarakan Ujian Nasional meski banyak pertentangan. Sebenarnya Mahkamah Agung pada keputusan Bulan November 2009 melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional yang diajukan pemerintah. Sehingga sebenarnya pemerintah melakukan tindakan ilegal bila masih tetap melaksanakan Ujian Nasional. Dalam keputusan tersebut, pemerintah baru boleh  melaksanakan UN bila telah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap dan merata diseluruh daerah. [8]
“UN 2013 tetap dijalankan dengan sejumlah perubahan dilakukan, diantaranya diberikannya 20 paket variasi soal UN 2013, hal ini berbeda dengan UN tahun 2012 yang hanya diberikan lima variasi soal. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, saat memberikan keterangan pers di Gedung A Kemdikbud, Jakarta, Kamis (11/10/12), menegaskan bahwa UN secara legal yuridis pelaksanaannya berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah. Kemudian dari sisi akademik sampai bentuk soal pilihan ganda juga ada dasarnya. “Insya Allah tahun depan UN tetap dilakukan, tetapi ada beberapa perubahan’.[9]     
      Ujian Nasional juga terkesan hanya sebagai proyek tahunan semata, sesungguhnya yang terpenting adalah pemenuhan pendidikan yang adil dan berkualitas sehingga membuat anak mampu meningkatkan derajat kualitas kehidupannya dimasa depan. Seorang anak yang memiliki pendidikan yang baik, tentunya akan memperoleh human capital  atau modal kemampuan dalam diri yang tentunya dapat  mencapai kedudukan (pekerjaan) yang lebih baik. Status dan peran orang tua biasanya diwariskan ke anak, namun bila anak memiliki human capital yang baik yang diperoleh dari pendidikan yang berkualitas, tentunya akan meningkatkan status anak dan orangtua dalam masyarakat. Hal ini yang dimaksud dengan mobilitas sosial. Dimana status sosial  meningkat yang diperoleh dari pendidikan, pekerjaan penghasilan. Sebagai contoh, seorang anak tukang becak mampu bersekolah hingga menjadi menjadi sarjana. Sebagai seorang lulusan perguruan tinggi dia dapat  memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang baik, sehingga kesejahteraannya meningkat. Sebaliknya  bila seorang anak sulit mendapatkan pendidikan yang baik, maka kemiskinan orangtua diwariskan ke anak dan seterusnya.

3. Pendidikan sebagai bagian dari elemen Ekslusi Sosial

      Pendidikan sangat erat kaitannya dengan mobilitas sosial. David Byrne mengatakan “our focus on education will be closely related to what is generally called ‘social mobility’ but might  better be understood as the ways in which formal education processes generate a mix of ‘human capital’ and ‘cultural capital’ which are key control parameters determining the character of trajectories of individual lives”.[10] Human capital dan Cultural Capital merupakan  kunci  parameter dalam menentukan “nasib” kehidupan seseorang. Pemikiran Teori  Human Capital didasarkan atas penanaman perilaku yang memberikan prirotas pada pilihan-pilihan yang disukai (preferences) diantara keterbatasan dan pilihan-pilihan atas berbagai kesempatan. [11] Hal inilah yang membuat orang memusatkan pentingnya pendidikan.  Cultural Capital  adalah keadaan seseorang yang memiliki disposisi yang baik,  kompetensi,  preferences yang diraih melalui proses sosialisasi dan hasilnya berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi.[12]
          Kebijakan pendidikan mengenai wajib belajar merupakan tanggungjawab pemerintah, sehingga semua anak-anak dapat bersekolah tanpa kecuali.  Bila hal ini terselenggara dengan baik, maka kebijakan ini bersifat inklusif. Namun berkenaan dengan Ujian Nasional, kebijakan ini cenderung tidak adil. Ada kelompok yang mengalami eksklusi sosial, karena adanya ketidakmerataan mutu pendidikan (antara sekolah di kota dan pelosok pedesaan). Yang dimaksud dengan Eksklusi Sosial adalah : a multi-dimensional process, in which various forms of exclusion are combined; participation in decision making and political process, access to employment and material resources, and integration into common cultural process.[13] Yakni suatu proses multidimensi, dari berbagai bentuk eksklusi yang dipadukan; proses berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan berpolitik, akses bagi pekerja dan sumber daya material, serta integrasi kedalam proses kultur yang ada.
      Implikasi eksklusi sosial dalam kebijakan pendidikan selain mengakibatkan kekurangan human capital, juga  mengakibatkan kekurangan social capital atau modal sosial yang sangat diperlukan untuk membangun bangsa. Tenaga kerja yang berkualitas tentu sangat dibutuhkan dalam pasar dan dunia industri agar dapat memperoleh economy capital.  Proses ini merupakan eksklusi yang secara sistematis terjadi akibat  kebijakan pemerintah. Peran struktur yang belum dapat memberikan pendidikan berkualitas secara adil membuat individu tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Kultur yang berupa nilai-nilai yang ditanamkan melalui penerapan Ujian Nasional belum membawa perbaikan, bahkan kultur persaingan antar sekolah untuk mengejar rangking sekolah unggulan menghasilkan iklim pendidikan yang hanya mementingkan target angka kelulusan, sehingga budaya mengajar dan mendidik beralih menjadi pembahasan dan pelatihan soal-soal ujian nasional. Anak tidak lagi dibiasakan membaca buku, tetapi lebih dibiasakan mengerjakan soal-soal yang terdapat pada buku lembaran soal. Ujian Nasional mengingkari keberagaman anak. Disamping perbedaan sosial ekonomi, anak memiliki minat, bakat dan mimpi yang berbeda-beda. Bila dipaksakan akan “melukai’ anak, karena penilaian berdasarkan ujian akan membuat anak-anak merasa tersingkirkan karena dianggap tidak pandai bila nilainya buruk.
          Berkenaan dengan wajib belajar, kebijakan pemerintah untuk menerapkan wajib belajar 9 tahun secara gratis melalui program Bantuan Operasional Sekolah belum dapat dinikmati oleh sebagian anak-anak. Jumlah anak putus sekolah tingkat sekolah dasar masih tinggi. Data
pada Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 sediktinya 483.000 anak usia SD tidak lagi meneruskan pendidikan. Mereka ada yang berhenti sebelum kelas 6 dan ada juga yang tidak melanjutkan ke tingkat SMP.[14]  Berdasarkan data tersebut, wajib belajar belum dapat menjaring sebagian anak-anak Indonesia untuk bersekolah. Ada kendala yang mungkin tidak terkait langsung dengan pembayaran uang sekolah. Tetapi misalnya ada pungutan-pungutan lain diluar uang sekolah, tak mampu membeli buku, sepatu,tas, dll, juga terkendala keharusannya mencari nafkah dalam membantu orang tua di sawah atau ladang atau dilautan mencari ikan. Maka anak masih mengalami eksklusi dalam memperoleh pendidikan.
      Bila kebijakan wajib belajar sudah terstruktur dengan baik sampai ke pelosok pedesaan, maka hak-hak dasar anak untuk sekolah dapat  terpenuhi, ditambah dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan lainnya diluar permasalahan uang SPP. Anak-anak yang tidak sekolah, tereksklusi oleh lingkungannya yang memang belum menerapkan kultur tentang arti pentingnya sekolah. Penanaman Kultur, dalam hal membudayakan anak bersekolah harus sebagai cultural capital yang ditanamkan kepada orangtua dan masyarakat  bahwa belajar atau menuntut ilmu adalah hak setiap anak, sehingga  lingkungan sekitarnya harus mendukung, misalnya pada saat jam sekolah anak tidak diperkenankan berkeliaran atau bekerja. Disamping itu masyarakat sekitar harus memperhatikan dan melaporkan kepada pihak berkepentingan (dinas pendidikan setempat) apabila ada anak yang tidak sekolah. Bila masyarakat sudah mempunyai cultural capital tentang arti pentingnya pendidikan, maka akan terbentuk social capital dimana setiap anak dapat bersekolah bahkan hingga perguruan tinggi sehingga menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas, yang akhirnya dapat memberikan sumbangan ekonomi, atau economy capital. People are not poor because they are deficient in human capital, they are deficient in human capital, because they are poor”.[15]
      Berkaitan dengan hal ini ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni akses untuk mendapatkan pendidikan, partisipasi jumlah anak yang mendapatkan pendidikan (adil dan berkualitas), serta pengawasan bagi anak-anak  agar tidak putus sekolah. Sehingga pendidikan tidak saja berfungsi sebagai transmisi pengetahuan dan ketrampilan, melainkan juga berfungsi sebagai sarana untuk mobilitas sosial dan meritocracy (penghargaan berdasarkan prestasi). “People who lack a good education are vulnerable to poverty, and they would certainly benefit from a more equitable educational system”.[16]

4. Pendidikan di Indonesia dalam Paradigma Ekslusi Sosial

     Konsep Eksklusi Sosial berdasarkan aspek ekonomi dan sosial dai kemiskinan yang memanfaatkan aaspek sepeti hak berpolitik dan berkewaranegaraan dalam kerangka hubungan antar individu dengan negara seperti layaknya hubugan antara masyarakat dan individu. Pendekatan eksklusi sosial berusaha untuk memahami hubungan antara kemiskinn, pekerjaan produktif dan integrasi sosial sehingga dapat digunakan untuk memahami berbaai kebijakan. Menurut Hillary Silver,  ada tiga pendekatan eksklusi sosial yang berkaitan dengan kewarganegaraan dan integrasi sosial, yakni Solidaritas, Spesialisasi dan Monopoli. bahwa konsep eksklusi di konseptualisasikan berdasarkan cara-cara yang berbeda:[17]
a. Paradigma Solidaritas penekanannya pada adanya nilai utama bersama (core of shared values), suatu “moral komunitas” dalam  tatanan sosial yang dikonstruksikan, dan adanya proses-proses asimilasi individu kedalam komunitas serta kemampuan untuk dapat mengekspresikan keanggotaan mereka untuk menunjukkan bagaimana pentingnya partisipasi aktif.
b. Paradigma Spesialisasi berasal dari pemikiran liberal bahwa masyarakat dibentuk dari individu-individu yang memiliki batasan hak dan kewajiban. Dan mereka memiliki perbedaan minat dan kemampuan. Struktur masyarakat yang dibangun berdasarkan pembagian tenaga kerja dan pertukaran dalam lingkup baik ekonomi dan sosial.
c. Paradigma Monopoli. Dalam masyarakat tampak ada konflik inheren dengan kelompok lain yang mengendalikan sumber-sumber dan berupaya melindungi diri melawan domain dari luar  yang membangun lingkup batasan dan akses yang terbatas untuk mereka saja. 
      Dalam ekslusi sosial pendidikan, yang terdapat didalamnya hak dan kewajiban, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan basic right atau hak dasar warga yang harus dipenuhi oleh negara. Pendidikan dan Citizenship ini merupakan gambaran bagaimana bekerjanya suatu negara dalam mensejahtaterakan rakyatnya. Namun, terdapat proses dimana ada sekelompok anak-anak yang secara sistematis dieksklusikan dari proses pembangunan pendidikan berdasarkan ketidakmampuan ekonomi. Kebijakan Wajib belajar belum dapat menyerap sepenuhnya partisipasi anak untuk bersekolah. Kendala seperti pungutan dan biaya diluar SPP dapat membenani murid, sehingga putus sekolah. Disamping itu, kebijakan Ujian Negara sebagai contoh bagaimana anak di daerah pelosok pedesaan yang minim sarana dan fasilitas  dieksklusikan berdasarkan standar nilai ujian  yang bias urban.
      Pendekatan solidaritas merupakan paradigma dapat digunakan dalam mengatasi eksklusi pendidikan di Indonesia yang menempatkan pada cara dalam lingkup budaya dan moral dimana ada nilai utama bersama (core of shared values) yakni wajib belajar sebagai  suatu “moral komunitas” dalam  tatanan sosial yang dikonstruksikan. Solidaritas harus dibangun, melalui tatanan sosial yang disepakati bersama, melebihi kepentingan individu, kelompok atau kelas. Bersifat eksternal, moral dan normatif.[18]
      Pemerintah berupaya memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah agar semua warga dapat sekolah. Harus ada proses-proses asimilasi individu kedalam komunitas, dalam hal ini “pemaksaan” agar anak dapat bersekolah. Masyarakat harus turut berperan dalam mensukseskan program tersebut. Komunitas aktif memberi kritik dan saran serta menekan pemerintah agar program wajib belajar dapat terselenggara dengan baik. Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya partisipasi aktif.
      Paradigma Monopoli yang berdasarkan pandangan bahwa tatanan sosial sebagai unsur pemaksaan yang diberlakukan melalui seperangkat hubungan kekuasaan yang hirarkis. Weber menggunakan istilah “closure” atau penutupan untuk menunjukkan suatu proses dari subordinasi dimana satu kelompok memonopoli keuntungan dengan menutup kesempatan pada kelompok luar yang dimaknai sebagai inferior atau tidak memenuhi syarat. [19]
      Penggunaan paradigma monopoli ini digunakan untuk memahami kebijakan pemerintah atau Kementerian Pendidikan Nasional dalam menyelenggarakan ujian nasional yang dibuat atas keinginan pemerintah sebagai proyek tahunan tanpa mendengarkan kepentingan masyarkat. Meski Mahkamah Agung pada keputusan Bulan November 2009 melarang pemerintah melaksanakan Ujian Nasional untuk murid SMP dan SMA, namun masih tetap dilaksankan. Sehingga sebenarnya pemerintah melakukan tindakan ilegal bila masih tetap melaksanakan Ujian Nasional. Bila pemerintah kurang mendengar aspirasi rakyat terutama yang berkaitan dengan ujian nasional, maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya menjadi media yang berfungsi sebagai mobilitas sosial.




-meita-


Sumber  :

1.      Scotland in “Sosial Policy&Society” 3:2. hal 113-121 by Nigel Johnsosn, 2004. Cambridge University Press.

  1. TH. Marshall. Citizenship and Social Class dala States and Society, ed David held. Basil Blackwell The Open University. 1983.


4.      Kompas, 6 Desember 2005.

5.      Litbang Kompas.

  1. Kompas, 26 Jauari 2008

  1. Republika 22 November 2005

8.      Bambang Wisudo. Pendidikan Untuk Semua dalam Jurnal Perempuan.

  1. http://www.ujian-nasional.info/2012/11/un-2013-tetap-dilaksanakan.html

10.  Byrne, David. Social Exclusion. Open University Press. Mc Graw-Hill Education. 2005.

  1. http://dir.groups.yahoo.com/group/Kasih-Dharma-Peduli/message/571

  1. Social Exclusion : Rhetoric, Reality, Responses. Ed by Gerry Rodgers, Charles Gore dan Jose B Figueredo. ILO-UNDP 1995

  1. Royce, Edward. Peverty & Power. Rowman& Littlefield Publisher



[1] Scotland in “Sosial Policy&Society” 3:2. hal 113-121 by Nigel Johnsosn, 2004. Cambridge University Press.
[2] TH. Marshall. Citizenship and Social Class dala States and Society, ed David held. Basil Blackwell The Open University. 1983. hal 249.
[3] http://gemaislam.com/berita/indonesia-news-menuitem/796-tahun-depan-wajib-belajar-di-indonesia-menjadi-12-tahun.
[4] Kompas, 6 Desember 2005.
[5] Litbang Kompas.
[6] Kompas, 26 Jauari 2008
[7] Republika 22 November 2005.
[8] Bambang Wisudo. Pendidikan Untuk Semua dalam Jurnal Perempuan. Hal 30.
[9] http://www.ujian-nasional.info/2012/11/un-2013-tetap-dilaksanakan.html
[10] Byrne, David. Social Exclusion. Open University Press. Mc Graw-Hill Education. 2005. hal 133

[11] Royce, Edward. Peverty & Power. Rowman& Littlefield Publisher.hal 73.

[12] Ibid. Hal 77

[13] Byrne, David, op cit  hal 2.

[14] http://dir.groups.yahoo.com/group/Kasih-Dharma-Peduli/message/571

[15] Royce, Edward. Op cit. Hal 75
[16] Ibid. Hal 233.
[17] Silver H. Social Solidarity and Exclusion: Three paradigms. Dalam Social Exclusion : Rhetoric, Reality, Responses. Ed by Gerry Rodgers, Charles Gore dan Jose B Figueredo. ILO-UNDP 1995. hal 7.
[18] Ibid hal 66.
[19] Ibid hal 69