Kamis, 21 Juni 2012

Melihat Negara Gagal dari "the Looking-glass Self".


 

Hasil riset  The Fund for Peace bekerja sama dengan Majalah Foreign Policy tentang failed state index atau indeks negara gagal menempatkan Indonesia di posisi ke 63, yakni posisi “dalam peringatan” (warning). Riset atas 178 negara itu di publikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, pada Senin 18 Juni 2012. (Media Indonesia hal 1). Bila dilihat dari display map yang terdapat pada website Foreign Policy. Keadaan negara dikategorikan berdasarkan warnanya, bila merah, berarti kritis, oranye dalam bahaya, kuning berada diambang batas, hijau muda berarti stabil dan hijau tua berarti sangat stabil. Warna apa yang diberikan untuk Indonesia dalam peta dunia tersebut? Ternyata berwarna oranye yang berarti negara dalam keadaan bahaya.

Apa yang menjadi indikator penilaian negara gagal? Indikator untuk negara gagal antara lain negara yang pertumbuhan penduduk dan arus buruh migrannya tinggi, kesejangan ekonomi semakin melebar, cadangan pangan menipis serta kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi. Kalau dibandingkan negara tetangga seperti Timor Leste, Papua Neugini, Filipina, Myamar, Laos dan Kamboja, memang posisi Indonesia lebih baik peringkatnya. Tapi apalah artinya peringkat lebih baik itu, kalau ternyata negara tetangga kita lainnya, seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan bahkan Vietnam peringkatnya jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.

Peringkat negara gagal yang diumumkan beberapa waktu lalu tersebut, merupakan gambaran tampilan buruknya suatu negara. Ibarat kita bercermin, tentu ada yang tampak dikaca berpenampilan gagah, cantik, biasa, bahkan ada yang berpenampilan buruk. Bila ada pepatah, “buruk rupa cermin dibelah”. Apakah kita lantas harus menyalahkan cerminnya karena penampilan buruknya wajah negara kita? Apakah kita harus menyalahkan hasil surveynya? Apakah salah negara lain yang menilai? Jadi, salah siapa? Tentu diri kita yang bisa menjawab, bagaimana mungkin negara yang kaya akan sumber daya alamnya tetapi rakyatnya miskin? Kemana larinya kekayaan kita? Tanah, air dan semua yang terkandung didalamnya seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi apakah rakyat Indonesia sejahtera? Ternyata jurang yang kaya dan yang miskin semakin melebar. Bila ada pengacara terkenal yang membelikan mobil seharga miliaran rupiah sebagai hadiah ulang tahun anaknya (lalu di ekspos di televisi), lalu ternyata dilain pihak ada anak yang harus mengais rejeki di jalanan untuk membantu orangtuanya bahkan untuk menghidupi dirinya sendirinya. Ini yang dimaksud cermin kegagalan suatu negara. Terdapat jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin.

“The Looking-glass Self” karya Charles H Cooley (1922), mengembangkan konsep diri seorang individu berdasarkan bagaimana dia membayangkan mengenai citra diri yang diperoleh dari orang lain, terutama significant others. Bila diri dianalaogikan sebagai negara, maka rakyat melihat negaranya  sebagaimana orang lain melihat  negara kita.  Maka kita dianggap sebagai negara gagal, maka memang seperti itulah keadaan diri (negara) kita.
       Cooley's term "looking glass self" means that people see themselves as others see  them, as if reflected in a mirror. According to this concept, in order to develop and shape behavior, interactions with others must exist. People gain their identity and form their habits by looking at themselves through the perception of society and other people they interact with. This concept of self, created by others, is unique to human beings. It begins at an early age and continues throughout the entirety of a person's lifespan. A person will never stop modifying their "self" unless they become removed from society and cease social interactions
       Bagaimana negara meraih identitas dirinya dapat dilihat berdasarkan perilaku, kebiasaan, interaksi yang membentuk citra dirinya.  Tentu dalam scope negara para pelaku dan penyelenggara negara mempunyai peranan penting dalam membentuk citra negara. Rakyat sebagai bagian dari komponen negara “hanya” mengikuti aturan dan kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara. Tentunya rakyat juga harus membantu membentuk citra dirinya sebagai rakyat yang baik dan bertanggungjawab dalam membangun harkat diri sebagai bangsa (tidak tawuran, pertikaian, amuk masa atau konflik lainnya). Namun hal ini sulit terwujud jika ketimpangan semakin menjadi. Karena yang mempunyai kuasa adalah pemegang kekuasaan, maka rakyat disini hanya bisa nrimo. Pengelola negara yang mengatur dan mengendalikan negara yang bisa berbuat banyak. Jadi, bila negara kita dibilang gagal, mungkin dapat diambil sebagai masukan hasil dari feedback orang lain (hasil survey). Bila ingin maju dan menghilangkan citra tersebut, tentunya kita harus menerima umpan balik tersebut dan membuat perbaikan. Negara harus dikelola lebih baik.  Seperti kata Cooley, “seseorang tidak akan pernah berhenti memperbaiki dirinya sendiri  kecuali mereka dipindahkan dari masyarakatnya dan berhenti berinteraksi sosial..” Berarti perbaikan agar menjadi negara yang  berhasil memang harus dan perlu, kecuali harus pindah ke planet yang lain..


Jakarta, 21 Juni 2012
Meita 


Senin, 18 Juni 2012

Hubungan Agen- Struktur


Integrasi Agen-Struktur :[1] 
         Menurut Margaret Archer, masalah agen-struktur dapat dilihat sebagai masalah fundamental dalam teori sosiologi modern. Ditingkat superfisial masalah mikro-makro dari agen-struktur seringkali dibicarakan. Konsep agency (agen) pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau aktor manusia individual. Namun konsep inipun dapat merujuk kepada kolektivitas (makro) yang bertindak. Jadi, baik agen maupun strukutur dapat mengacu kepada fenomena tingkat mikro atau makro, atau kepada kedua-duanya. “Burns memandang pengertian agen manusia meliputi Individu  maupun kelompok terorganisir, organisasi, dan bangsa, Touraine memandang kelas sosial sebagai aktor. Bila kita menerima kolektiitas seperti itu sebagai agen, maka kita dapat menyamakan agen dengan fenomena tingkat mikro. Lagi pula meskipun konsep struktur biasanya mengacu pada struktur sosial berskala besar, konsep inipun dapat mengacu pada struktur mikro seperti orang yang terlibat pada interaksi individual”.[2]        
Teori Strukturasi (Ritzer dan Goodman hal 507)
          Tokoh yang paling terkenal dalam upaya mengintegrasikan agen-struktur dengan teori strukturasi adalah Giddens. Berikut pandangan Giddens mengenai strukturasi :
1.      Riset sosial atau sejarah yang menyangkut penghubungan tindakan seringkali disinonimkan dengan agen dan struktur
2.      Teori strukturasi merupakan hasil ramuan dari berbagai masukan :
a.       Berorientasi individual atau agen (interaksionisme siombolik)
b.      Berorientasi masyarakat atau struktur (fungsionalisme struktural)
Namun kedua hal tersebut ditolaknya karena harus berdasarkan praktik (interaksi) sosial berulang yang menghubungkan agen-struktur.
3.      Memusatkan perhatian pada proses dialektika dimana praktek sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan.
4.      Struktur didefinisikan sebagai properti yang memungkinkan praktek sosial serupa yang apat dijelaskan untuk eksis disepanjang ruang dan waktu dan yang membuatnya menjadi bentuk sistemik.
5.      Struktur adalah apa yang membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang membentuk dan menetukan kehidupan sosial itu.
6.      Struktur selalu membatasi maupun memungkinkan tindakan. Struktur sering memberikan kemungkinan bagi agen untuk melakukan sesuatu yang sebaliknya tak akan mampu mereka kerjakan,
Giddens merumuskan : “Bidang mendasar ilmu sosial menurut teori strukturasi bukanlah pengalaman aktor individual atau bentuk-bentuk kesatuan tertentu, melainkan praktik sosial yang diatur melintasi ruang dan waktu.
Bernstein : Tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan hubungan dialektika dan saling pengaruh mempengaruhi antara agen dan struktur. Tidak dapat terpisah satu sama lain, ibarat dua sisi satu mata uang logam.
Held dan Thompson : Struktur diciptakan ulang didalam dan melalui rangkai praktik sosial berulang-ulang yang terorganisir oleh praktek sosial itu sendiri.
Elemen-elemen Teori Strukturasi : (Ritzer dan Goodman hal 509)
          Dalam upaya mencari perasaan aman, aktor merasionalkan kehidupan mereka. Rasionalisasi disini adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tidak hanya memberikan perasaan aman bagi aktor tetapi juga memungkin mereka menghadapi kehidupan sosial secara efesien.
         Ada kesadaran yang sifatnya Diskursif, yakni memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan dalam kata-kata. Dan kesadaran Praktis yang melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar, tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan.  Tipe kesadaran praktis inilah yang sangat penting bagi teori strukturasi dengan lebih memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan aktor ketimbang apa yang dikatakannya.
          Keagenan. Berdasarkan kesadaran praktis ini, ada sesuatu yang harus dilakukan agen :
Menyangkut kejadian yang dilakukan oleh seorang individu, yang berarti adanya peran individu. Tidak akan ada struktur bila individu tidak mencampurinya. Bagi Giddens ada kekuasaan yang besar dalam agen, bahkan memiliki kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial. Agen tidak akan berarti apa-apa tanpa kekuasaan.
mengapa hubungan antara keagenan (agency) dengan struktur (structure) menjadi salah satu permasalahan teoritis didalam pemikiran teori-teori sosiologi
           Ada tiga tokoh selain Giddens yang banyak membahas tentan Agen-Struktur, yakni Archer yang mencermati hubungan keagenan dengan kultur yang mengelurakan konsep morphogenesis yang menyatakan bahwa ada ciri-ciri yang dapat dipisahkan dari tindakan dan interaksi yang menghasilkannya. Perspektif ini mengamati proses ini sepanjang waktu, memperhatikan rentetan dan siklus perubahan struktural tanpa akhir, perubahan tindakan dan interaksi serta perluasan struktural.
          Bourdieu yang memusatkan perhatian pada hubungan antara habitus dan lingkungan. Ada hubungan dialekta antara struktur objektif dan fenomena subjektif. Konsep yang dikemukakan oleh Bourdieu adalah Habitus (kebiasaan ) yang merupakan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Dan terakhir Habermas yang membahas tentang kehidupan-dunia dan sistem kolonisasi kehidupan-dunia oleh sistem.

Hubungan keagenan (agency) dengan struktur (structure): salah satu permasalahan teoritis didalam pemikiran teori-teori sosiologi
           Dalam teori sosiologi, ada perdebatan yang serius mengenai agen dan struktur.  Terutama teori strukturasi Giddens. Menurut Archer, ada dualitas “bagian” dan “individu” yang akan mempengaruhi mereka satu sama lain dan tak akan dapat dijelaskan. Seperti sebuah mata uang koin, sehingga menurutnya masalah  struktur dan keagenan justru mengaburkan keduanya. Sehingga Archer mengemukakan konsep Kultur dan Agensi. Yang memusatkan perhatian pada morphogenesis. Interaksi dan tindakan agen memunculkan struktur yang juga bereaksi dan berubah seiring tindakan dan interaksi para agennya. Dan perubahan itu senantiasa akan menciptakan perluasan struktural. Struktur adalah bidang material fenomena material dan kepentingan, sedang kultur meliputi fenomena non material  dan gagasan. Keduanya relatif otonom.  
          Penelitian beberapa tokoh tentang transisi dari sekolah ke bekerja telah berupaya mencari bukti empiris teori strukturasi. Kesimpulannya adalah bahwa struktur dan keagenan ternyata tak saling berkaitan sepeerti yang dikemukakan Giddens. Sehingga struktur dan tindakan secara empiris saling tergantung dan saling terlibat. Tetapi sebagian otonom dan merupakan bidang wewenang yang dapat dipisahkan.
          Landasasan teoritis Giddens dianggap kurang memadai untuk membuat analisis kritis tentang masyarakat modern. Giddens menolak metateori seperti positivisme dan teori-teori fungsional struktural sehingga ia tidak mampu mengambil gagasan yang bermanfaat dari metateori dan teori-teori itu.

Contoh dalam teori sosiologi yang dapat dijadikan contoh sebagai salah satu cara untuk menjawab permasalahan

          Satu contoh yang dapat digunakan untuk menjawab permasalahan Agen-Struktur adalah Habitus yang dikemukakan oleh Piere Bourdieu. Bahwa dalam menerapkan konsep habitus dan lingkungan, Bourdieu tidak hannyaberupaya membangun sistem teori abstrak, ia menghubungkan dengan serentetan pemikiran empiris dan dengan cara demikian terhindar dari perangkap intelektual murni. Penerapan pendekatan teoritisnya  tentang Distingsi yang meneliti preferensi estetis antara kelompok berlainan dalam sebuah masyarakat secara meyeluruh.




Contoh kajian :
          Menurut Bourdieou, kultur dapat menjadi sasaran ilmiah yang masuk akal, dalam hal ini yang saya ambil adalah komunitas penggemar Drama Korea. Yang menurut data berdasarkan jejaring sosial, ada 14.606 followers di twitter, dan 34.611 fans di facebook. Komunitas ini senantiasa berkumpul dan anggotanya bisa berbagi informasi tentang drama Korea.[3] Bila dilihat dari pandangan Bourdiue, ada lingkungan dan habitus didalam komunitas drama Korea ini. Habitus, karena mereka memiliki kebisaan yang sama, yakni menonton film drama Korea, dan selera mereka juga sama.
          Para penggemar drama Korea begitu fanatik, dan mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan episode demi episode untuk menonton DVDnya. Atau bahkan mendonlodnya di komputer kantor bila ada episode yang baru keluar. Mereka juga mempunyai tokoh idolanya. Seakan mereka terhipnotis denga kebudayaan Korea melalui film dramanya.
          Ada perasaan, pemahaman dan kesadaran yang terinternalisasi dalam komunitas tersebut yang berada dalam dunia mereka.  Distingsi disini yang dilihat adalah selera keindahan antara berbagai kelas sosial. Melalui penerapan habitus dan selessa, terjadi penggolongan objek dan sekaligus mereka menggolongkan diri mereka sendiri dalam satu komunitas. Ada hubungan timbal balik diantara mereka, terdapat hubungan erat antara posisi sosial dan kecenderungan agen yang menempati posisi itu. Ada hubungan dialektika antara sifat produk kultural atau selera. Perubahan barang-barang kultural dapat menimbulkan perubahan selera, tetapi perubahan selera juga ada kemungkinan mengakibatkan perubahan produk kultural. (sebagai contoh, film drama Korea tidak mungkin mengganti pemeran utama dengan artis dari Malaysia atau negara lain, hal ini akan mengubah selera mereka. Bila selera mereka berubah, maka dapat mengurangi distribusi film drama Korea ke Indonesia). Struktur lingkungan tak hanya memelihara hasrat konsumen atas produk kultural, tetapi juga menentukan apa yang akan diciptakan produsen untuk memuaskan selera konsumen.

 Daftar Pustaka :

1.    1.  George Ritzer – Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004.

2.     2.  George Ritzer. Modern Sociological Theory. Mc Graw Hill. 2008

3.      Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000. 

4.      4. Chris Barker. Cultural Studies . Kreasi Wacana 2004. 

5. 5..Bagong Suyanto  dan M Khusna Amal (ed) Aditya Media 2010. Teori Strukturalisme. Dalam  Anatomi dan  Perkembangan Ilmu Sosial

6.  6.   Majalah Femina 12-18 Mei 2012




[1] George Ritzer dan Goodman. Op cit hal 504
[2] Ibid.  506
[3] Majalah Femina 12-18 Mei 2012. Hal 74

Teori Strukturalisme dan Post Strukturalisme


Strukutralisme
          Bahasan dalam topik ini berkaitan denan kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern dengan diawali strukturalisme hingga post-strukturalisme dan akhirnya dikenal sebagai teori post-modern. Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan sutruktur sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukutalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya. [1]
          Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur sosial dan struktur bahasa. Seperti dalam teori sebelumnya, Etnometodolgi yang memusatkan pada teori percakapan dan komunikasi secara umum, makas struturalisme lebih kepada bermacam-macam gerak isyarat. F. De Saussure yang merupakan tokoh strukturalisme memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adalanya parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri.[2]
          Strukturalisme muncul di tahun 1960an berbasis karya Ferdinand de Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa obyek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur. Harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar dimana mereka berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia.[3]
          Telah dikemukakan sebelumnya bahwa strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning, harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial
Post-Strukturalisme
         Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).[4]
         Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.[5]

          Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern. [6]
          Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari diskursus atau wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan jaringan diskursus. [7]
Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis
          Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.

          Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar. Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar. 
          Bila dilihat dari sudut pandang  pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu  memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).


[1] Chris Barker. Op cit hal 17
[2] Ritzer dan Goodman. Op cit. Hal 604
[3] Sindung Haryanto: Teori Strukturalisme. Dalam  Anatomi dan  Perkembangan Ilmu Sosial.  Bagong Suyanto   
    dan M Khusna Amal (ed) Aditya Media 2010.Hal
[4] Ritzer dan Goodman op cit. Hal  607-608
[5] Chris Barker.op cit. Hal  20
[6] Suhrnadji: Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault. Dalam Dalam  Anatomi dan  Perkembangan Ilmu
   Sosial. Op cit. Hal 373
[7] Ibid. Hal  377-378

Sumber :

    1.  George Ritzer – Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004.

2.     2.  George Ritzer. Modern Sociological Theory. Mc Graw Hill. 2008

3.      Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000. 

4.      4. Chris Barker. Cultural Studies . Kreasi Wacana 2004. 

5. 5..Bagong Suyanto  dan M Khusna Amal (ed) Aditya Media 2010. Teori Strukturalisme. Dalam  Anatomi dan  Perkembangan Ilmu Sosial


Teori Modernisme dan Post Modernisme



Teori-teori Modernisme.[1]
          Teori modernitas, dalam sosiologi klasik dimiliki oleh para teoritisi Marx, Weber, Durkheim dan Simmel yang melihat kemunculan dan pengaruh modernitas. Meski keempatnya melihat keuntungan dengan adanya modernitas, namun mereka juga mengutamakan kritis yang dihadapi dalam kehidupan modern.
          Marx melihat bahwa modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis. Ia mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke masyarakat kapitalis. Selanjutnya, karyanya ditujukan untuk mengkritik  sistem ekonomi kapitalis yang terdapat kekurangannya, seperti alienasi dan eksploitasi. Weber melihat masalah kehidupan modern menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas. Manusia semakin terpenjara dalam sangkar besi sehingga tidak mampu mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling mendasar. Durkheim melihat modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan mulai melemahnya kesadaran kolektif. Sedangkan Simmel dapat dikatakan senagai sosiolog modernis, karena pembahasannya yang melihat dua sisi berhubungan, yakni kota dan uang. Dalam Philosophy of Money , Simmel dapat mengungkapkan apa yang tersembunyi dan apa yang ditekankan dalam masyarakat modern, apa pengaruh uang, dan apa akbiat kerugian dari uang di masyarakat modern.
          Keempat sosiolog itu meninggal menjelang tahun 1920. Kini teori modernis tetap dikaji dalam bahasan kontemporer oleh sosiolog, antara lain Anthony Giddens, George Ritzer, Jurgen Habermas dan Zygmunt Bauman. Ada beberapa konsep yang dikemukakan dalam Teori Modernis : [2]
1. Modernitas Jugernaut. Dikemukakan oleh Giddens yang menggambarkan bahwa kehidupan modern seperti sebuah Juggernaut (panser raksasa). Bahwa masyarakat sangat dinamis, bisa melaju hingga taraf terntu, namun juga terancam lepas kendali dan hancur lebur. Bayangan tentang panser raksasa ini berkaitan dengan sesuatu yang bergerak  melaui rentang waktu dan ruang fisik. Hal ini untuk menunjukkan dominannya sistem dalam mempengaruhi kemampuan kita untuk mengubah kehidupan. Seperti yang dikemukakan oleh Craib berkaitan dengan pemikiran Giddens yang terkesan tidak ada kaitan antara penekanan peran keagenan dalam pemikiran teoritis murni, “point of the dominance of system tendencies against our ability to change the world”.[3]
          Modernitas dan Kosekuensinya. Modernitas memiliki konsekuensi mendasar yang terdiri  dari empat hal, yakni : (1) Kapitalisme yang ditandai oleh produksi komoditi (2) Industrialisme yang melibatkan penggunaan sumber daya alam dan mesin untuk memproduksi barang. (3) Kemampuan mengawasi yang mengacu pada aktivitas warga negara secara individual. (4) Kekuatan militer atau pengendalian atas alat-alat kekerasan.

          Penekanan Giddens terhadap konsep ruang dan waktu sangat penting dalam modernitas yang disebabkan oleh tumbuhnya organisasi rasional seperti birokrasi dan kemampuannya menghubungkan otoritas lokal. Sejarah membentuk masa kini. Kedinamisan itu bersumber dari keterlepasan (dissembedding). Mekanisme keterlepasan ditandai dengan makna simbolik, uang, dimana kita dapat bertransaksi dengan orang lain, tanpa terikat jarak dan waktu. Hal ini dapat diambil contoh, dengan proses transfer di bank, kita dapat mengirim uang tidak perlu datang ke bank, melainkan melalui mesin ATM, bahkan dapat dilakukan melalui internet atau sms banking. Keterlepasan yang kedua, ditandai dengan sistem kecakapan teknis atu keahlian profesional yang mengorganisir bidang material dan lingkungan sosial dimana kita hidup kini. Dapat diambil contoh, pembuatan mobil yang dapat dibuat melalui proses ban berjalan dan industri yang sudah terorganisir dengan baik. Sehingga untuk membuatnya tidak perlu dibuat satu demi satu mulai dari ban, kap, pintu, mesin dan sebagainya. Melainkan sudah ada pemasoknya tersendiri. Sehingga dapat selesai begitu cepat. Profesi Arsitek, kini mendesain gambar, tidak diatas meja gambar dan kertas yang penuh kerumitan, tetapi cukup merencanakan disain dan konstruksi di depan komputer, serta sudah ada contoh disain yang lebih spesifik. Namun semua ini dibutuhkan kepercayaan yang baik. Simbol dan sistem keahlian dapat berlangsung bila masyarakat mempercayainya sebagai faktor yang memudahkan seseorang untuk melakukan tindakan. Sebagai contoh, agar transaksi keuangan  berlangsung dengan baik kita harus mempercayai sistem perbankan yang ada.

          Modernitas dan identitas. Giddens lebih memusatkan perhatian pada aspek mikro modernitas, terutama pada diri (modernity and self identity). Bahwa diri (self) berkaitan secara dialektis dengan institusi masyarakat modern, sebagian besar perhatiannya dicurahkan pada bagian-bagian makro. Meski memusatkan perhatian pada masalah mikro namun kita tidak dapat mengabaikan hubungan dialektika yang lebih luas. “Diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam lingkungan global. “transformation in self-identity and globalisation.. are the two poles of the dialectic of the local and the global in condition of high modernity. Changes in intimate aspects of personal life.. are directly tied to the establishment of social connections of wide scope .. for the first time in human history, “self’ and “society” are interrelated in a global milieu”.[4]
          Sebagai ilustrasi dapat digambarkan bahwa hal yang ada pada diri, bahkan tubuh tertarik kedalam lingkungan global melalui organisasi yang membuat seseorang sedemikian rupa berupaya melakukan tindakan yang dinilai oleh masyarakat sebagai sesuatu keharusan. Ada faktor yang menundukkan agar kita mengikuti aturan yang telah ditentukan masyarakat, berkaitan dengan identitas diri. Sebagai contoh, perempuan cantik diidentikkan seperti Barbie, boneka terkenal buatan Amerika yang memiliki tubuh tinggi, langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya. Citra cantik ini dibentuk oleh industri kosmetik dan industri perawatan kecantikan, selain itu ditopang oleh industri periklanan, sehingga muncul kriteria yang menjadi standar agar seorang wanita mendapatkan identitas cantik. Cantik itu berarti harus ke salon, meluruskan rambut, melangsingkan tubuh dengan ramuan produksi kosmetik, berkulit putih dengan menggunakan body lotion tertentu dan lain-lain.
2. McDonaldisasi dan Alat Konsumsi Baru
     Sumber teoritis permasalahan ini adalah karya Weber tentang rasionalitas, dengan memperhatikan fakta bahwa restoran cepat saji (fast food) mencerminkan kehidupan masa kini, yakni rasionalitas formal. Bila Weber melihat birokrasi sebagai rasionalitas formal, maka Ritzer melihat restoran cepat saji sebagai  contoh yang lebih baik dari rasionalitas formal yang merupakan komponen kunci dari kehidupan modern.  Ritzer juga meneliti kartu kredit yang dapat digunakan untuk transaksi pembelian dan penjualan. Alat-alat konsumsi baru, seperti mall, supermarket, saluran tv kabel, dsb sebagai bagian dari komponen kehidupan modern.            
3. Modernitas dam Holocaust.
         Paradigma modern menurut Bauman adalah Holocaust, yakni penghancuran sistematis orang Yahudi oleh Nazi. Hal ini dipandang sebagai paradigma modern rasionalitas birokrasi. Bauman melihat bahwa birokrasi sebagai alat netral yang dapat digerakkan ke setiap arah. Birokrasi lebih menyerupai dadu, meski dapat digunakan untuk tujuan kekejaman maupun kemanusiaan. Namun birokrasi lebih besar kemungkinannya untuk menyokong proses yang tidak berperikemanusiaan.
4. Modernitas: Proyek yang belum selesai.
Habermas melihat modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern. Ada penjajahan kehidupan dunia oleh sistem. Salah satu yang dibahas Habermas adalah makin bertambahnya masalah negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern. Masalah ini diselesaikan di tingkat sistem dengan menambah sub sistem baru. Menurutnya masalah itu tak akan terselesaikan dengan cara seperti itu, namun harus diselesaikan dalam rangka hubungan antara sistem dengan kehidupan dunia.
5. Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan
Dalam karyanya The Information Age : Economy, Society and Culture, Manuel Castells  yang menggambarkan kemunculan masyarakat, kultur dan ekonomi yang baru dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, komputer dsb) Revolusi ini memunculkan apa yang disebut oleh Castells dengan “kapitalisme informasional” yang melahirkan gerakan masyarakat operasional yang berdasarkan pada diri dan identitas.
Teori Globalisasi
          Teori ini muncul sebagai akibat serangkaian perkembangan internal teori sosial khususnya terhadap perspektif moderniasasi. Diantara karakteristik dari teori ini adalah bias wetern-nya yang disesuai dengan perkembangan di barat dan bahwa ide diluar dunia barat tak punya pilihan kecuali menyesuaikan diri dengan ide barat. Sesungguhnya setiap bangsa dan kehidupan miliaran oran diseluruh dunia sedang ditransformasikan oleh globalisasi. Sering kita mendengar istilah gloobalisasi yang dikatikan dengan pedagangan, yakni World Trade Organization (WTO) atau IMF. Bahwa setiap orang didunia ini merasakan sedang menghadapi suatu persolan besar secara bersama-sama, yakni isu globalisasi.
Teori  Post-Modernisme
          Post-modernisme adalah suatu pemikiran baru yang menggantikan pemikiran modern. Dalam pendapat yang lain, dikatakan bahwa post-modernisme adalah pengembangan dari modernitas. Bila modernisme ditandai dengan rasionalitas, absolutisme, universalitas dan homogenitas melalui produksi ilmu pengetahuan sebagai jalan menuju kemajuan, maka menurut post modernisme, teknologi sebagai media untuk kebebasan dan humanisasi tidak mampu menjelaskan realitas, seperti halnya fakta modern mengenai pembunuhan warga yahudi oleh Nazi, Jerman. [5]
          Mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern, meliputi periode historis baru, produk kultural baru dan tipe baru dalam penyusunan tentang teori kehidupan sosial. Konsep pertama, berkaitan dengan keyakinan yang tersebar luas bahwa era modern telah berakhir dan memasuki periode historis yang baru. Konsep kedua berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan bahwa produk post-modern cenderung menggantikan produk modern. Konsep ketiga adalah kemunculan teori sosial post-modern dan perbedaannya dengan teori sosial modern.
          Pemikir post-modern menolak gagasan tentang narasi besar atau metannarrative. Hal ini dikemukakan oleh pemikir utama post-modern, yakni Lyotard. Bila ilmu modern disamakan Lyotard dengan metanarrative, maka ilmu post-modern menolak narasi umum tersebut.  Ilmu pengetahuan post-modern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, tetapi memperhalus kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan untuk bertoleransi atas pendirian yang tak mau dibandingkan. [6]

          Secara Epistemologi, post-modernisme menolak atas kebenaran sebagai objek abadi yang tetap. Bagi Lyotard (1984), Rorty (1989) memiliki kesamaan dengan Foucoult dalam ide bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, melainkan bersifat spesifik menurut ruang dan waktu.[7]  Berkaitan dengan hal ini, dalam pandangan post-modernisme, bahwa pengetahuan tidak ada yang bersifat menyeluruh yang mampu menjelaskan karakter ‘objektif’ dunia. Sedangkan modernisme menganggap kebenaran yang diawali periode pencerahan  yang bermuara pada satu pengetahuan yang bersifat universal.
        


             Post-modernitas mengacu pada periode historis yang umumnya dilihat menyusul era modern dan mengacu pada produl kultural (dibidang kesenian, film, arsritektur, dan sebagainya) yang berbeda dari produk kultural modern. Juga mengacu pada cara berpikir yang berbeda dari teori sosial modern.[8] Ada beberapa perbedaan antara Teori Modernis dengan Teori Post Modernis, dan ini lebih banyak dikemukakan oleh Habermas dalam Habermas versus Post Modernis. (Ritzer 2004 : 581-582)
                  Teori Modernis
                    Teori Post-Modernis
Kapitalisme, industrialisme, kemampuan mengawasi aktivitas warga secara individual dan kekuatan militer
Periode historis baru, produk kulural baru dan tipe baru tentang teori kehidupan sosial
Menganut gagasan tentang metanarasi
Menolak gagasan tentang metanarasi
Menerima pandangan  konsep seperti kapitalisme. (Giddens)
Tidak mungkin menciptakan pengetahuan sistematis
Berpegang pada tujuan pencerahan (habermas)
Mengorbankan pencerahan
Tidak mungkin membuat analisa kritis, karena tidak akan memahami kata-kata kesusateraan mereka (Holub)
Dianggap sebagai karya pemikir kesusateraan. Argumennya mengorbankan seluruh kekuatan logika (Holub)
Pembaca tidak dapat memahami apa pemikiran post-modernis itu (Habermas)
Dijiwai oleh sentimen normatif, namun sentimen itu disembunyikan dari para pembaca
Memahami dan menggambarkan fenomena yang terjadi pada masyarakat modern
Gagal membedakan fenomena dan praktik yang terjadi dalam masyarakat modern
Dalam kehidupan dunia, lahir gagasan teoritis
Mengabaikan praktek kehidupan dunia
Perubahan terjadi ynag dilandasi dinamika ekonomi.
Biasanya berkaitan dengan perubahan radikal (Jameson)

Ilustrasi Empiris Teori Modernis dikatikan dengan Post-Modernis
          Ada konsekuensi real dalam kehidupan modernis, yang tidak pernah terpikirkan oleh para teoritis sebelumnya. Informasionalisme dan masyarakat jaringan begitu mendominasi disaat ini. Modernis melihat bahwa hal itu menguntungkan secara real. Sebagai contoh kasus  penyanyi Justin Bibier dan Briptu Norman yang pernah tampil di YouTube mengatasi hambatan kapital untuk menjadi terkenal, ketika mereka mendonlod video atau rekaman gambar yang memperlihatkan penampilannya ketika menyanyi. Video itu dilihat oleh jutaan orang, dan seketika mereka menjadi terkenal. Secara ekonomi, seharusnya dibutuhkan kapital yang besar untuk menjadi terkenal, tetapi di era informasi ini hal itu bukanlah sesuatu hal yang merintangi seseorang untuk terkenal, bila memang mereka memiliki potensi yang menarik untuk dilihat oleh orang-orang yang mengakses internet.
           Demikian pula dengan kasus Prita yang mengalami permasalahan ketika dia mengadukan keluhannya lewat email dan dianggap mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit international yang merupakan rumah sakit tempat Prita berobat. Keluhan Prita di jejaring sosial Facebook  menggema keseluruh tanah air, sehingga mengakibatkan dirinya berurusan dengan pengadilan. Namun kenyataan ini justru menimbukan simpati oleh banyak kalangan ditanah air, sehingga terjadi gerakan pengumpulan koin untuk Prita yang berhasil memperoleh jumlah yang cukup besar, yakni sekitar Rp 800 juta yang akan digunakan untuk menebus perkaranya dipengadilan berdasarkan tuntutan pihak rumah sakit yang memperkarakan Prita.
         Post-modernis melihat bahwa hal itu bukan suatu kebenaran yang universal, adanya solidaritas pada kasus Prita, bukan karena timbulnya kesadaran dalam masyarakat untuk membela orang yang ‘dizalimi’, mereka berpartisipasi hanya sekedar ikut-ikutan saja. Demikian juga dengan Justin Bibier dan Briptu Norman, post-modernis menganggap dalam diri mereka tidak ada prestasi, hanya sekedar gaya dan mengikuti tren untuk mengunduh rekaman videonya ke situs tertentu.
          Kasus lainnya, ketika Demo Buruh besar-besaran untuk menuntut kenaikan upah, dimana ribuan buruh turun kejalan berdasarkan pemberitahuan lewat situs jejaring sosial atau SMS, bila para modernis melihat efektifitas informasi yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi membuat timbulnya kesadaran kelas bagi para buruh, ada kebenaran relatif terhadap ilmu dan teknologi, sedangkan post-modernis menganggapnya bahwa tidak ada kesadaran kelas yang muncul, para buruh hanya datang dan sekedar ikut serta, tidak ada keterkaitan dengan tuntunan yang berhubungan dengan Organisasi Buruh Internasional  (ILO) dalam rangka Hari Buruh sedunia.


[1] George Ritzer – Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004. Hal 550
[2] Ibid. Hal 552-577
[3] George Ritzer, Modern Sociological Theory, 7th ed, Mc Graw Hill. hal 425
[4] Ibid. Hal 429
[5]  Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000. 
[6] Ritzer and Goodman. Op cit. Hal 631
[7] Chris Barker. Cultural Studies . Kreasi Wacana 2004. Hal 155
[8] George Ritzer-Douglas J Goodman. Opcit. Hal 632

sumber :

    1.  George Ritzer – Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Kencana 2004.

2.     2.  George Ritzer. Modern Sociological Theory. Mc Graw Hill. 2008

3.      Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar 2000. 

4.      4. Chris Barker. Cultural Studies . Kreasi Wacana 2004. 

5. 5..Bagong Suyanto  dan M Khusna Amal (ed) Aditya Media 2010. Teori Strukturalisme. Dalam  Anatomi dan  Perkembangan Ilmu Sosial